Sore itu
Sore itu, cuaca sedikit redup oleh tutupan awan yang tampak compang-camping dari jendela kamarku. Semilir angin masuk melalui ruang udara yang terbuka. Segera aku katupkan ruang udara itu. Sangat tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini, ragaku seakan enggan untuk melakukan hal yang berguna. Ia berontak, memaki, kemudian memohon untuk tetap duduk sambil pasrah menikmati apa yang ada. Samar-samar masih terasa angin dingin menyapa dan tercium bau tanah basah. Ragaku masih memohon untuk tidak bergerak.
Sore itu, di bulan Desember, dimana seharusnya keriaan dan kesukacitaan bergandengan tangan, berubah seakan tidak ada orang lain di dunia ini. Aku tepekur, duduk, diam, sambil sesekali merapikan selimut untuk menutupi bagian tubuhku yang telanjang.
Sore itu, sudah lebih dari enam puluh menit aku merenung tanpa memikirkan apapun. Aku menerawang, memandang, dan terus melirik, menatap berputar seputar ruangan. Ruangan kecil itu seakan tak kuasa menjadi objek atas ketidakwarasanku.
Sore itu, dunia seakan berhenti. Seketika aku makin diam. Tak bergerak. Apakah benar adanya? atau hanya sebuah delusional emosi.
Sore itu, yang sebenarnya aku sedang berkelana dalam alam lain. Pikiranku mengembara mengikuti hilangnya kewarasanku.