450 kilometer, 13 jam, dan hampir mati karenanya
Ini mungkin salah satu kekonyolan yang aku lakukan. Sabtu pagi, aku berkemas cepat, hari sudah agak siang, sudah menjadi kebiasaanku, selalu bangun diatas jam 8 kala libur. Setelah mengisi tangki bensin dan sarapan kilat aku berangkat menuju Ujung Genteng.
Perjalanan dimulai dengan ditemani indahnya Gunung Salak di depan. Aku memacu motor dengan kecepatan 40 – 60 km per jam. Rute Cibinong – Bogor tampak biasa, aku sudah hafal dengan jalanannya dan memang secara umum baik. Menyusuri Jalan Pos aku berbelok ke kanan di perempatan Plaza Jambu Dua menyusuri jalanan yang dahulu kala sewaktu Bogor masih dengan sebutan Buitenzorg adalah hutan karet. Saat ini jalan tersebut masih menyisakan Pabrik Ban Goodyear, yang memang dulunya dibangun untuk memasok sadapan karet di sekitar daerah tersebut. Hal ini tidak terjadi saat ini, Goodyear mendatangkan bahan baku dari daerah lain. Hal baik yang masih terjaga adalah rimbunan pohon di sepanjang jalan yang mengerucut di Air Mancur Jalan Sudirman Bogor.
Pertemuan Jalan Sudirman dengan Jalan Jalak Harupat adalah sebuah Istana Megah dimana Sir Thomas Stamford Raffles pernah tinggal. Isteri tercintanya meninggal disini. Sangat disayangkan, melihat kondisi Bogor saat ini yang sudah sangat berbeda dengan awal dibangunnya Buitenzorg. Bogor hanya menyisakan Jalan Jalak Harupat sebagai jalan bebas kendaraan bermotor pada hari minggu antara jam 6 sampai 9 pagi. Masih banyak jalur dan ruas lain yang seharusnya ikut meramaikan kondisi diatas.
Setelah melewati Jalan Suryakencana dan melihat beberapa peninggalan bangunan Bogor Lama, aku sampai di Jalan Raya Tajur. Jalan yang masih beralas beton keras, bukan aspal ini sangat tidak enak dilalui, harus ekstra fokus dan hati-hati karena bergelombang, dan banyaknya polah pengendara lain yang tidak baik. Jalur ini juga sangat tidak teratur, tidak ada median jalan sehingga para pengendara berhak mengklaim jalur seenaknya. Hal ini makin diperparah di Ciawi. Benar-benar harus hati-hati, banyak sekali mobil pengangkut air minum kemasan dan peti kemas. Aku sempat memaki seorang sopir angkot karena dengan seenaknya nyelonong, hal ini mengakibatkan aku diapit angkot tersebut dan mobil tronton, jantungku berdetak kencang saat melihat jarak sebelah kananku hanya menyisakan beberapa senti dari roda si tronton.
Jalur antara Ciawi sampai Caringin sangat buruk, bergelombang dan banyak lubang menganga, hal ini makin memperburuk suasana melihat jalurnya sempit dan penuh dengan kendaraan super besar yang menyiutkan nyali. Aku tidak habis pikir saat beberapa motor menyalip tronton super besar padahal di arah berlawanan ada bus dengan kecepatan yang bisa dibilang cukup berani untuk jalur padat begini. Lebih parah lagi, hampir semua angkot dan mobil model L300 menyalip lewat bahu jalan, bukan bahu jalan sebenarnya karena tidak beraspal, bahkan di kala musim hujan begini banyak menyisakan kubangan besar dan licin. Aku hanya manggut-manggut sambil mendengarkan musik di telingaku mengikuti mobil di belakang tronton.
Jalan menjadi sedikit enak dilalui selepas Caringin. Apakah ini karena pengaruh kepadatan yang bisa dibilang sudah tidak ada, atau karena tiba-tiba angkot tidak tampak di depan mata? Entahlah, akhirnya aku bisa memacu motor diatas 60 km per jam.
Tangan kanan sudah agak kaku, dan badan rasanya sudah kelu. Akhirnya aku beristirahat sebentar sambil meregangkan otot di sebuah pom bensin sebelum masuk Sukabumi. Jam menunjukan angka 11.
Memasuki kota Sukabumi aku menjadi buta arah. Aku terus memacu motorku ke depan sampai aku menyadari kalau bus yang aku lewati maupun berpapasan denganku menunjukan Jurusan Sukabumi – Bandung. Saat melewati tonggak kilometer ke-14 akhirnya aku bertanya kepada seorang pengemudi motor yang kebetulan sedang beristirahat. Bodohnya aku, ini adalah jalur menuju Cianjur dan Bandung, dan bodohnya lagi, aku sudah menghabiskan setengah perjalanan sia-sia menuju Cianjur karena jarak Sukabumi – Cianjur hanya 31 km. Akhirnya aku berbalik arah dan memacu kecepatan lebih kencang sampai akhirnya aku menemukan sebuah papan penunjuk jalur alternatif menuju Pelabuhan Ratu. Jalur alternatif ini bisa dibilang tidak bagus, bergelombang, dan banyak cerukan. Khas aspal Indonesia, sangat mudah terkelupas, adakah jalanan di Indonesia yang mulus sepanjang tahun?
Selepas pertigaan yang berujung pada jalur ramai, aku menyadari kembali kalau aku salah jalan. Saat bertanya, memang benar, aku menuju Kota Sukabumi. Setelah berbalik arah dan kembali memacu kecepatan, aku menemukan jalur sempit tetapi mulus. Beberapa kemacetan terjadi, penyebabnya adalah angkot yang ngetem di depan pabrik, sepertinya saat bubaran pabrik, dimana-mana sama kelakuan angkot. Gak ada sopan-sopannya!
Setelah hampir 20 km aku menuju selatan, aku menemukan pertigaan bertuliskan Surade. Namun, setelah berbelok aku merasa kalau aku salah jalan, tiba-tiba aku masuk ke sebuah perkebunan milik PTPN. Aku masih yakinkan kalau aku dijalur yang benar, aku sudah melewati 120 km dari Cibinong sampai dengan daerah antah berantah ini. Beberapa saat kemudian aku menemukan sebuah papan penunjuk, Surade 104 km, Ujung Genteng 125 km, OMG! Ya Tuhanku! Benarkah jarak yang tertera pada papan penunjuk itu? Itu artinya aku baru setengah jalan? Aku pikir jarak Ujung Genteng dari Sukabumi antara 50 – 60 km, ternyata aku salah besar.
Perjalanan sepertinya menarik, sepanjang jalan kanan dan kiri penuh dengan hutan tanaman industri, dan beberapa tempat istirahat sama seperti di daerahku Wonosobo, setiap ada hutan ada tempat istirahat dan sebuah warung makan. Akhirnya aku menyerah. Ditengah hutan ini aku menemukan sebuah musholla kecil, aku berhenti untuk sholat sambil makan snack dan minum air putih yang aku bawa. Musholla ini ternyata milik Pusat Pengendali Lanud Atang Sanjaya Bogor.
Akhirnya setelah melewati hutan, pemandangan berganti menjadi perkebunan teh. Namanya kalau tidak salah adalah Perkebunan Tugu. Perkebunan teh ini sedikit berbeda, agak jarang dan sepertinya tidak sebagus perkebunan teh lain yang pernah aku jumpai. Jalur menjadi berkelak-kelok dan memusingkan. Sejak kecil aku selalu mabuk darat kalau melewati jalanan berkelak-kelok seperti ini. Banyak sekali terdapat tikungan tajam, tetapi jangan khawatir, jalanannya bagus.
Pemandangan berganti menjadi hutan rakyat, yang berarti banyak permukiman penduduk di sekitarnya. Aku mulai khawatir melihat jarum penunjuk bensin. Kalau sepanjang jalan hanya hutan dan hutan dimana aku harus mengisi bensin?
Sepanjang jalan tidak dijumpai pom bensin, yang ada masyarakat yang menjual bensin eceran. Akhirnya aku mengisi bensin sampai penuh untuk berjaga-jaga. Pemandangan menjadi biasa, hutan rakyat dan beberapa rumah dengan jarak yang berjauhan, dan pengelupasan jalan, bahkan dibeberapa titik terdapat lubang yang cukup berbahaya.
Setelah melewati sebuah kota kecamatan bernama Lengkong, jalanan menjadi biasa, sangat biasa, tidak ada pemandangan yang bagus lagi. Sebenarnya aku sudah sangat kelelahan, jam menunjukan angka 3, dan aku belum melihat papan penunjuk lagi. Setelah jalanan rata aku melihat sebuah papan penunjuk bertuliskan Surade 15 km. Aku mendapat energi baru. Temanku memberitahu kalau Surade ke Ujung Genteng hanya 10 km. Aku memacu motor dengan kecepatan baru.
Sesampainya di Surade aku sedikit terkejut, kupikir Surade adalah sebuah kota kecamatan yang ramai, ternyata hanya kota kecamatan yang tidak berbeda jauh dengan yang kulewati sebelumnya. Aku terus memacu motor dengan satu tujuan, begitu sampai di Ujung Genteng aku akan turun dan langsung berguling diatas pasir pantai.
Perjalanan dari Surade ke Ujung Genteng sangat bagus, pepohonan kelapa di kiri kanan dan beberapa petani sedang mengambil sarinya. Dari jalanan ini aku banyak melihat penduduk lokal yang naik motor dengan penumpang 3 orang, sangat berbahaya tentunya, apalagi mereka rata-rata diselingi senda gurau.
Akhirnya aku sampai di Ujung Genteng, aku lihat arloji dan waktu menunjukan jam 4 sore. Itu artinya aku sudah mengendarai motor selama 7 jam! Segera saja aku lepas semua jaket dan tas, aku berguling di pasir yang tidak putih dan sambil menghirup napas aku beristirahat sejenak. Beberapa anak melihatku aneh, mungkin mereka pikir aku bukan hanya aneh, tapi juga nyleneh. Di tengah teriknya sinar matahari sore, aku berguling-guling bagai orang gila.
Setelah sejenak menggilakan diri aku kemudian menyusuri jalanan dan beberapa kali berbincang dengan penduduk lokal. Tujuanku kesini untuk mencari penginapan. Minggu depan kami, aku dan beberapa teman akan mengadakan acara disini, acara yang diselenggarakan setelah UAS. Berhubung penginapan yang terpampang di website sudah penuh akhirnya aku memutuskan menuju lokasi.
Ada beberapa penginapan yang aku masuki, hasilnya nihil. Akhirnya dengan gaya sok-kenal-sok-dekat aku meminta bantuan seorang bapak untuk mencarikan rumah penduduk yang bisa di pakai. Langsung nemu. Tanpa ba-bi-bu. Empat ratus ribu satu malam, dan bebas pakai.
Di perjalanan pulang menuju rumah bapak yang mengantarkanku, sang bapak bertanya, “Kasep (jadi tersanjung dipanggil begitu), ini sudah hampir malam, pulangnya kamana?” Khas dengan logat sunda. Akhirnya dengan berbohong aku bilang kalau aku menginap di Surade. Waktu menunjukan angka 5 dan dengan bergegas aku kembali memacu motor. Pulang. Ke Cibinong.
Perjalanan pulang dibawa dengan banyak perasaan. Pertama, senang dan lega, akhirnya mendapat penginapan. Kedua, takut, karena aku mau pulang mengendarai motor dengan kondisi kelelahan, dan medan yang dilalui cukup tidak bersahabat. Ketiga, capeeek. Keempat, ngantukkk. Stop! Apakah itu bisa disebut perasaan?
Sampai di Lengkong aku masih ditemani sinar matahari biarpun ia sudah kembang-kempis. Motor aku pacu diatas 80 km per jam. Saat gelap menyapa aku sudah berada di kawasan perkebunan teh dan sepanjang perjalanan aku hanya membaca Al Faatihah dan Yasin, sesekali mengucap Allahu Akbar! Efektif sekali karena perhatianku menjadi teralih, bunyi-bunyi seperti burung hantu dan beberapa bunyi lain menjadi tak terdengar. Perkebunan teh sebenarnya syahdu saat di lewati malam dengan sedikit bulan menggantung diatas, hanya saja karena kondisi kelelahan dan ngantuk, hal itu menjadi tidak berguna, tidak ada alas an untuk menikmati suasana. Perkebunan teh masih bisa dibilang cemen, karena sebentar lagi selepas ini aku akan melewati perkebunan karet milik PTPN yang setelah dilewati ternyata kondisinya gelap gulita, selama hampir 30 menit aku tidak menjumpai kendaraan, ucapan Allahu Akbar makin sering aku lontarkan. Nyambung gak ya?
Sesampainya di pertigaan yang ada penunjuk jalan Surade, jam menunjukan angka 8.25, sungguh cepat aku memacu motor di kala malam. Beberapa lobang di jalan aku terobos. Tujuanku supaya cepat melewati hutan dan perkebunan menuju peradaban kembali.
Aku sampai di Kota Sukabumi jam 9 malam, dan langsung memesan Nasi Goreng. Menginjakan kaki disini serasa beda getarannya, perasaanku kembali ke 5 tahun lalu saat masih bersama seseorang. Seseorang yang memberi bekas pada hatiku. Suka yang berlebih, dan luka yang dalam. Sambil makan nasi goreng waktu aku gunakan untuk beristirahat dan berhubung ini adalah malam minggu, pemuda-pemudi banyak yang berlalu lalang sambil bercengkerama dan bermesra-mesra. Ah, perasaanku kembali ke 5 tahun lalu itu.
Perjalanan setelah Kota Sukabumi agak padat, banyak sekali mobil dan truk besar. Dengan penglihatan yang tidak oke diwaktu malam, hal ini terjadi apabila banyak lampu, aku susah konsentrasi dan selalu merasa tidak bisa melihat apa-apa lagi kalau lampu sorot di depan terlampau besar. Aku mending melewati jalanan gelap tanpa ada lampu lain yang menyilaukan daripada kondisi begini.
Hal yang tidak akan kuingat seumur hidup adalah saat aku melewati daerah setelah Pabrik Pocari Sweat, saat turunan tiba-tiba mobil dari arah berlawanan menyalakan lampu yang sangat besar, aku tidak bisa melihat apa-apa di depan, beberapa lubang pada jalanan di depan luput dari penglihatanku, otomatis motorku bergoyang beberapa kali, seakan melayang, dan tanganku lepas dari setir, pahaku kena setang motor, dan kulihat di depanku sebuah truk tronton besar, jalanan licin, aku pasrah, tiba-tiba tanganku sudah ada di setang motor lagi dan dengan jantung dag-dig-dug tak karuan aku melihat motorku sudah ada di marka pembatas jalan dengan diapit 2 truk tronton dengan jarak minim, aku sadar saat tronton dari arah berlawanan membunyikan klakson yang super dahsyat. Terima kasih Gusti Allah, aku masih hidup.
Setelah itu motor aku pacu dengan kecepatan minim, 20 – 30 km per jam. Jantungku belum juga berhenti berdegup kencang, dan pahaku sakit sekali. Tangan dan badanku menggigil.
Sepanjang jalan menuju Cibinong aku lalui dengan ekstra hati-hati dan ekstra pelan, pelan seperti siput. Aku sampai di rumah jam 12 malam. Aku melihat hape dan jam 10 ibuku menelepon. Seketika aku mandi dan bersujud mengucap terima kasih padaNya.
Aku bangun ke-esokan harinya dan langsung menghubungi ibu, beliau semalam tidak bisa tidur, ingat padaku. Waktu beliau nelpon aku, sepertinya saat aku sedang mengalami keadaan melayang dari motor hendak menubruk tronton. Oh Ibu, alangkah peka perasaanmu. Aku tidak menceritakan pengalaman tersebut. Aku hanya bilang kecapean.
Pengalaman ini tidak akan aku lupakan. Aku gila sudah menempuh jarak 450 kilo, 13 jam dan hampir mati karenanya.
0 Response to "450 kilometer, 13 jam, dan hampir mati karenanya"
Posting Komentar