Terlena di Ubud, tersaput kabut di Penelokan
Dalam balutan kaos dan celana pendek saya mengemudi matic sewaan dari Kuta menuju Danau Batur. Perjalanan dimulai saat matahari tepat di ubun-ubun dan mengarah ke timur laut sesuai dengan peta. Jalanan Denpasar yang padat merayap menyambut saya dengan ramah, perilaku pengemudi yang lebih teratur di bandingkan Jabodetabek membuat keadaan menjadi lebih baik, tidak ada bunyi klakson apalagi teriakan memaki. Jalanan yang lurus, licin, rapi, dan teratur membawa saya di daerah Sukowati dimana saya melewati jejeran bus pariwisata, hal baik yang menanda adanya kegiatan di dalamnya yang pasti riuh, saya hanya tersenyum dan memacu matic lebih kencang dari sebelumnya, sebelum tergoda untuk singgah.
Selepas Sukowati yang riuh rendah, angin membawa saya menuju ke Ubud, perjalanan kali ini sangat menggairahkan, sepanjang jalan kita akan disapa oleh ratusan Pura, Galeri, dan kawasan persawahan maupun hutan rakyat. Sejuknya udara begitu menghipnotis saya, dan tanpa sadar rintik hujan turun ikut menyapa, mengucapkan selamat datang. Sesekali saya bersua dengan wisatawan yang memiliki caranya sendiri untuk menikmati keindahan Bali, bersepeda, bercerita, berdecak kagum, dan merenung.
Terasiring, Ubud |
Ubud yang damai begitu melenakan, lansekap terasiring dari teras cafe semakin memberikan nuansa alam yang unik dan serba ada. Riuhnya pengunjung sembari menikmati hidangan begitu terinspirasi oleh eloknya perpaduan warna hijau dedaunan dan tanah kecokelatan, belum nampak pemandangan indah kuning dan hijau padi-padian, ditambah lagi objek petani lengkap dengan caping dan keranjang berisi rumput begitu menggoda pengunjung untuk mengabadikannya dengan berbagai gaya.
Ubud memang damai, rasanya tak rela untuk pergi meninggalkannya. Bahkan kelamnya langit pun masih belum bisa membuat saya rela pergi meninggalkannya.
Saat rintik hujan semakin besar, saya pacu naik matic sewaan menuju ke sebuah lansekap lain. Saya begitu takjub dengan apa yang disajikan alam kali ini, bahkan ular pun tak mampu menyadarkan saya bagaimana begitu cantiknya lansekap ini. Bukti yang menggelitik adalah saya begitu fokus pada sebuah pertigaan, gunung cantik berwarna kehitaman dengan siluet danau di dasarnya di selimuti oleh kabut yang turun perlahan, saya sampai di kejar oleh sekelompok petugas karcis, saya tidak melihatnya.
Lansekap Penelokan |
Pesona Penelokan ini sungguh tiada tara, saya teringat kampung halaman saya di Wonosobo. Tebalnya kabut semakin membuat mistis alam. Saya duduk merenung dan memandang semua pesona di depan mata. Lama saya tepekur di bibir jurang dan semakin merapatkan semua kulit. Kalau boleh menganalogikan, dalam suasana seperti saya berada disana, duduk sendiri mengevaluasi diri ditemani secangkir teh manis hangat, rasanya seakan lupa akan permasalahan dunia.
0 Response to "Terlena di Ubud, tersaput kabut di Penelokan"
Posting Komentar