"Traveling- It leaves you speechless, then turns you into a storyteller" - Ibn Battuta
Dalam temaram senja saya berjalan mendaki setapak demi
setapak. Dengan rupa merah sesekali diselingi undakan dan selokan licin,
jalanan ini menuju puncak Gunung Prau. Saya bersama sekelompok teman yang
menamakan Petualang 24 dengan tegap menatap cakrawala yang bergerak kelam.
Sudah berapa kali saya mengaduh, menahan nafas yang
memburu, dan menyeka peluh. Perjalanan ini bukannya tanpa akhir, dalam balutan
adzan dan pujian dari ribuan masjid dan surau di bawah, saya terus bergerak
merangsek naik ke atas mengabaikan dengungan serangga kecil, batu kerikil, dan
beban di punggung demi rimbunan bunga daisy
liar dan perayaan Petualang 24 ke-2.
Senja kali ini memang beda, kungkungan cuaca yang semakin
dingin tidak berarti begitu sudut mata menatap ujung cakrawala menyajikan semburat
jingga-kemerahan. Kesan mistis dan sendiri terobati saat terlihat titik-titik
kecil beraneka warna cerah punggung rekan seperjalanan.
Saya ingat saat menatap hamparan peta Wonosobo di
belakang meja kerja bapak sewaktu kecil. Gunung Prau hanya berupa segitiga
kecil berwarna hitam di sudut utara, berbatasan dengan Temanggung, Kendal, dan
Batang. Setiap pergi ke Dieng tak lupa saya selalu mencari lokasi dimana letak
gunung itu berada, hasilnya nihil, yang ada perbukitan. Apakah gunung itu
hilang?
Saat satu kenangan muncul, ribuan kenangan lain melesat
bak anak panah. Seperti kenangan bahwa saya tidak suka ke Dieng karena bau
sedap dan jalan nanjak berlikunya yang membuat saya mabok. Kenangan saat
kencing di celana dan ngumpet di rimbunan petak teh belakang gudang tempat
bulik saya bekerja sebagai pemetik teh, dan kenangan nggak mau bersalaman
dengan bocah berambut gimbal, berkudis dan ingusan, sampai di kejar banyak-soang.
Semua muncul tak terkendali dengan sunggingan senyum di setiap akhirnya.
Dan kenangan itu kembali tenggelam dalam riuhnya
sorak-sorai canda-tawa dan gegap-gempita saat kaki-kaki lelah menapak puncak
dan akhirnya berakhir dalam balutan tipis kantong tidur penghalau dingin.
Sahabat saya berujar, “kalau
mau menikmati salah satu keagungan Tuhan, cobalah tengok saat matahari terbit
dari puncak gunung, sungguh tiada terkira”, dan pagi ini saya kembali
membuktikan ujarnya. Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, diiringi
arakan awan, ditemani citra megah Sindoro Sumbing di sisi selatan, dan barisan
bukti serupa bukit teletubbies, serupa
negeri di atas awan. Allahu Akbar!!!, Allah Maha Besar!!!
Seiring hilangnya embun dan parodi pagi, keakraban di
satukan, keceriaan di megahkan, dan kebanggaan di tahtakan, itulah inti
perayaan Petualang 24 ke-2. Dari hampa menjadi sapa, dan dari senyum menjadi tawa.
Semilir angin saat perjalanan pulang, di hamparan padang
bunga daisy liar, ratusan langkah
mengayun ringan, sesekali siul, decakan kagum dan jepretan kamera memberikan nuansanya.
Saya sungguh menikmati momen ini, damai seperti sedang masuk ke dalam cerita
anak-anak di pegunungan alpen, Heidi. Atau sembunyi-sembunyi saat memasuki sebuah
taman rahasia di balik kastil megah Misselthwaite Manor di Yorkshire tempat
bermain Mary Lennox dan Dickon dalam buku Secret Garden. Atau yang paling
ektrem, membayangkan Maria dan Kapten von Trapp dalam The Sound of Music.
Namun, apapun bentuk kenangan itu, maksud perjalanan itu,
pencarian itu, semua kembali pada satu jiwa yang tenang.