Aku mendapatkan kutipan ini dari film Sang Pemompi-nya Riri Riza, dimana film tersebut juga di dedikasikan oleh para sineasnya untuk para ayah nomor satu di dunia. Aku nonton film ini baru beberapa hari yang lalu. Secara umum sekuel ini kurang menggigit di bandingkan dengan Laskar Pelangi, hanya saja beberapa scene-nya lebih menguras emosi. Aku bukan hanya menitikkan air mata, tetapi sampai benar-benar menangis saat menonton film ini.
Ayah memang lebih sedikit disebutkan dalam berbagai ulasan, baik lagu, artikel, cerita, dan karya sastra lain dibandingkan dengan sosok ibu. Sebelum ini mungkin hanya lagu Dance with My Father-nya Luther Vandross yang menjadi acuan buatku untuk mengenang ayah tercinta. Sampai pada film ini dimana dalam lakon tersebut ditunjukkan bagaimana sosok seorang ayah yang datang ke sekolah sang anak dengan bersepeda, bermandi peluh, dan memakai baju safari satu-satunya yang dianggap paling bagus diantara yang lainnya, bahkan untuk bertemu bupati, beliau tidak memakai baju tersebut. Sangat jelas disini bagaimana sosok ayah yang sangat ingin tampil sempurna demi anaknya.
Bagaimana denganku?
Aku sendiri tidak begitu dekat dengan ayahku, atau bapak, aku menyebutnya. Beliau adalah umumnya seorang ayah, dan laki-laki dari suku jawa yang tidak mudah untuk menyampaikan rasa sayang kepada orang-orang terdekatnya, walaupun itu ada dalam hatinya. Beliau seorang yang kaku, yang sepanjang hidupnya dijalani dengan pendirian dan watak yang keras. Dari sekian sifat bapakku, yang kalau dihitung banyak sekali nilai kurangnya, beliau lebih di cintai para cucunya di banding simbah putrinya. Dari situ aku bisa menilai bahwa beliau itu orang yang baik, lembut, bahkan penyayang. Hanya mungkin orang dewasa tidak melihatnya.
Bapakku punya nama kecil Misdi, beliau lahir dari sepasang suami-istri Kaswari. Beliau anak paling bontot dari 3 (tiga) bersaudara. Saudara tertuanya meninggal sebelum aku sempat mengenalnya, Ghozali namanya. Kemudian ada Kastomo. Beliau masih hidup sampai sekarang, yang kalau orang lain menilainya kurang waras. Bapakku menikah 2 (dua) kali. Pernikahan pertama saat masih berumur 20 atau 21 tahun, usia yang pada waktu itu sudah menjadi hal yang biasa. Dari pernikahan pertamanya beliau di karuniai seorang putra yang diberi nama Edi, aku lupa nama lengkapnya. Ya, ia adalah saudara tiriku, saudara paling tua. Pernikahan pertamanya tidak berjalan baik, yang berujung pada perceraian. Pernikahan kedua dengan ibuku, saat itu beliau berumur 25an, aku kurang tahu persis. Dengan ibuku, beliau diberi 7 (tujuh) keturunan, dengan hanya aku yang berjenis kelamin laki-laki. Ke-lima kakak dan satu adikku adalah perempuan. Setelah menikah, beliau mempunyai nama lain yaitu Suprapto, nama yang aku sukai sampai sekarang. Bukan hanya itu, beliau juga punya nama lain saat setelah menunaikan ibadah haji tahun 1977, Haji Abdullah. Hanya saja kalau orang lain bertanya siapa nama bapakmu? aku selalu menjawab, Suprapto.
Semasa hidupanya beliau pernah bekerja sebagai pedangang perantara, atau bahasa di daerahku adang-adang di pasar, membeli bahan hasil pertanian rakyat untuk kemudian di jual kembali ke kota. Kopi dan cengkih adalah salah satunya. Hal tersebut masih dilakukan saat beliau akhirnya menjadi seorang Kepala Desa. Bahkan beliau sempat menjadi Gelondong, semacam ketua para Kepala Desa di kecamatan. Beliau menjadi Kepala Desa selama 34 (tiga puluh empat) tahun, semacam orde baru segala ya. Beliau habis masa jabatannya tahun 1999. Dan awal-awal selesai sebagai Kepala Desa, beliau mempunyai semacam post-power-syndrome, yang kalau dilihat memang pasti terjadi, dan aku mahfum dengan itu.
Hubunganku dengan beliau naik turun. Tidak ada emosi berarti diantaranya. Aku ingat waktu kecil masih kelas 3 (tiga) sekolah dasar, aku diajak ke Banyumas, dan saat itu puasa, karena aku tidak membatalkan puasaku akhirnya beliau membelikanku majalah anak yang aku ingat sekali hal tersebut menjadi semacam batu loncatan buatku untuk mengenal agama islam selanjutnya. Lain hal lagi saat aku ngekos di Purwokerto, beliau selalu mengantarkanku sampai di tempat pemberhentian bus, dengan ngasih oleh-oleh sampai bertumpuk-tumpuk. Keuangan beliau saat itu sedang tidak dalam kondisi baik, bisnis barang kuno-nya sedikit terhambat karena banyaknya piutang. Hanya hasil bumi yang bisa ia berikan buat bekalku menuntut ilmu. Sedikit kembali ke masa kanak-kanak lagi, dimana untuk pertama kalinya beliau mengajak aku ke Jakarta, dan lagi-lagi itu terjadi saat bulan puasa. Aku ingat bagaimana beliau menyelundupkanku di terminal pulogadung lewat jendela supaya aku tidak berdesak-desakan dan untuk mengokupansi tempat duduk yang masih ada, pada saat orang lain berebut di pintu depan dan belakang. Diantara saudaraku yang lain, hanya aku yang sering diajak bepergian, mungkin karena aku anak laki-laki. Aku sudah banyak bepergian ke banyak kota sejak kecil, hal tersebut yang pada akhirnya memberi kesan buatku untuk tidak takut bepergian sendiri. Hal terakhir yang aku ingat adalah saat aku akan mendaftar ulang di STAN, dimana bapakku bersikeras untuk mengantarkanku. Saat naik kopaja 613, aku ditanya macam-macam sama preman di kopaja, yang aku sendiri tidak tahu mereka adalah preman, kalau bapakku tidak mendekat ke tempat dudukku dan berbicara panjang lebar. Aku merasa diselamatkan dari sarang penyamun yang berbahaya itu.
Dari banyak kenangan berkesan diatas tetap saja ada hal yang membuat aku jengkel. Saat aku mendapat pengumuman penempatan pertama, pada saat waktu pemilu aku bersikeras tidak mau mencoblos, dengan dalih aku seorang PNS, yang ditimpali beliau dengan kata sedikit kasar, yang sampai saat ini kalau hal tersebut aku ingat pasti membuat hati ini menciut. Memang saat kecil aku sering menolak ajakannya saat ke kebun, atau saat harus membantu pekerjaan beliau, aku lebih suka di kamar membaca buku.
Sekilas aku melihat apa yang aku capai saat ini bapakku tidak pernah memberikanku ucapan terima kasih, atau paling tidak merasa bangga dengan apa yang ada di diriku. Tetapi aku salah. Banyak orang setelah beliau berpulang, baru aku tahu, ternyata beliau begitu membanggakan aku, seorang yang selalu merasa kecil di hadapannya, dan selalu salah. Beliau selalu membanggakanku dan malahan terkesan menyombongkanku di hadapan orang lain. Sejak kecil aku memang jarang berdiam lama di rumah, di kampung halamanku. Tetapi orang-orang tetap mengenalku, dan menghormatiku, akhirnya aku menyimpulkan kalau hal tersebut mungkin karena bapakku.
Banyak hal yang akhirnya membuatku menangis kalau sampai mengenang hal tersebut, ayahku, bapakku, yang kaku, sebenarnya sangat menyayangiku. Beberapa kali aku kangen dengannya. Aku selalu menangis, mungkin sudah banyak yang aku tuliskan di banyak tulisanku sebelumnya, hal yang menye-menye. Intinya, ayahku, bapakku adalah ayah nomor satu di dunia. Kenangan masa terakhir saat beliau sakit sudah cukup mengingatkanku akan hal tersebut. Bagaimana waktu itu beliau melarang orang-orang saat aku di suruh untuk memanggil paman bibi dan yang lainnya, beliau bilang, "jangan joko, biar dia disini sama aku", aku trenyuh, dan hanya bisa sesenggukan di pojokan.