Melankoli Kabut Sutera Ungu
Baru semalam aku menontonnya. Film lawas ini diputar ulang dalam rangka menyambut ulang tahun Jenny Rachman. Bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Kuningan, selama dua hari sejak kemarin, film-film jempolan yang di bintangi oleh Jenny Rachman akan diputar ulang. Sebagai informasi, film ini memperoleh 5 Piala Citra di tahun 1980, wah, aku sendiri belum lahir pada waktu itu. Jenny Rachman meraih Piala Citra untuk kedua kali dalam film tersebut. Selain oleh Jenny Rachman, film ini juga dibintangi oleh idola kawula muda saat itu, Roy Marten, dan disutradarai oleh Sjuman Djaya. Saat film diputar semalam, berhubung temanya ulang tahun, maka selain pemain utama hadir, teman-teman, kerabat, dan handai taulan juga ikut menyaksikan acara tersebut. Justru, acara yang juga dibuka untuk umum dan gratis ini tidak banyak dimanfaatkan oleh orang lain, aku lihat hanya segelintir orang saja yang tidak termasuk kategori yang aku sebutkan diatas, termasuk aku.
Filmnya sendiri bercerita tentang keluarga muda yang sedang dalam masa indah-indahnya, Mira dan Hermanto. Jelas saja film ini mendapatkan rating 17 tahun ke-atas, soalnya ada adegan mandi dan beberapa yang sensual. Untuk tahun tersebut aku yakin luar biasa. Apalagi ada adegan lebay oleh Jenny Rachman saat sedang nonton layar tancep, meliuk-liuk bak ular, menggoda sekali.
Kembali ke alur cerita. Hermanto mendapatkan kecelakaan pesawat sehingga meninggal dunia, Mira pun mengurung diri. Apalagi pandangan orang terhadap janda pada waktu itu, masih lah sangat tidak manusiawi, sedikit saja bercakap dengan lelaki, langsung digunjingkan, begitu dan seterusnya. Hal itu membuat Mira makin menutup diri. Hermanto yang diperankan oleh Roy Marten baru lama aku kenali karena ia memakai kumis. Hingga saat adik dari Hermanto pulang dari Jerman, situasi berubah. Mungkin karena mirip, anak-anak Mira memanggilnya Papa. Papa Dimas. Mira dan Dimas terlibat situasi saling cinta tetapi susah untuk menyatukannya. Endingnya jelas saja Dimas akan menikah dengan Mira.
Secara umum, film ini buatku sedikit wah, pada jaman itu, ada adegan bertelepon, dan layar terbagi dua, hebat sekali. Akting para pemainnya memang ada yang bagus banget, dan ada yang biasa saja. Saat sang pembawa acara di awal acara berkata kalau kakak iparnya menangis saat menyaksikan film ini, aku sudah ancang-ancang untuk mengambil tisu di tas. Tetapi sampai akhir film, aku tidak menemukan adegan sentimentil yang membuatku menitikkan air mata. Mungkin karena aku tidak mengikuti sekali jalan cerita dan melarutkan dalam alur cerita tersebut. Selama pertunjukan aku banyak melihat sisi lain dalam film tersebut, seperti keadaan Jakarta pada tahun itu, jenis mobil, pergaulan anak muda, dan situasi lainnya.
Kalau di US sana ada bioskop yang khusus memutar film lama, kenapa di Indonesia belum ya? Lumayan juga dengan acara ini, jadi lebih tahu dan mengenal perfilman nasional.
0 Response to "Melankoli Kabut Sutera Ungu"
Posting Komentar