|
Causeway Bay Area |
Bagaimana menjadi pekerja migran di Hong Kong? "Senin sampai sabtu kita jadi babu, minggu kita jadi Ratu Sehari" demikian salah seorang tenaga migran Indonesia berceloteh dengan riangnya sambil menikmati sambel yang sepertinya cukup pedas sampai membuat buliran keringat di muka cemongnya. Minggu ini bertepatan dengan Idul Adha, Victoria Park berubah menjadi lautan warna putih mbak-mbak menunaikan sholat Ied.
Bagi pekerja migran Indonesia, Victoria Park merupakan area wajib kunjung di hari libur yang kebanyakan jatuh pada hari minggu. Sama seperti Statue Square di Central bagi pekerja migran Philippina. Setiap hari minggu mereka akan berkumpul, sesuai dengan daerah asalnya, kenalannya, atau kerabatnya. Mereka sering membawa masakan sendiri dari rumah yang merupakan masakan tanah air. Apalagi kalau salah satu pekerja migran tersebut habis pulang dari tanah air membawa makanan khas, yang ada jadi arena rebutan. Kalaupun mereka tidak masak masakan tanah air, di jalanan sepanjang Victoria Park akan sangat mudah di jumpai kedai makanan yang menyediakan masakan Indonesia.
Area Victoria Park di hari minggu berubah layaknya kawasan Monas. Mbak-mbak berkumpul sambil menikmati hidangan yang mereka bawa, celotehan ringan dan riang keluar dari mulut mereka, saling teriak senang dan tertawa. Hari minggu itu juga menjadi arena bagi mereka yang baru mendapatkan gaji untuk saling mentraktir, mengadakan pesta kecil serta membelikan hadiah bagi yang berulang tahun, membeli gadget terbaru dan saling memamerkannya. Tak jarang kita dengar celotehan khas sambil tertawa atau menangis saat mereka menelepon kerabat di tanah air.
|
Indonesian Domestic Helpers |
Hari minggu itu saya janjian dengan teman-teman sekampung, saat bertemu bungah rasanya, ketemu dengan teman sewaktu sekolah dahulu namun dengan kondisi yang berbeda. Hari itu mereka di undang untuk berkumpul di rumah salah satu teman untuk merayakan Idul Adha, namun dengan berat hati saya menolak dengan alasan sempitnya waktu.
Bersama dengan Eni dan Widhi, saya kemudian di ajak makan di kedai yang menyediakan Korean Cuisine. Sebelumnya saya di ajak berkeliling taman dari sudut ke sudut, kebetulan ada bazzar tanah air juga yang menyediakan aneka hal yang berhubungan dengan tanah air. Disini juga saya di tunjukkan lokasi berkumpulnya para Pasangan Lesbian yang luar biasa banyaknya.
Sebagai informasi, Pasangan Lesbian ini biasanya muncul dengan gaya a la Harajuku, bagi yang "pria" akan bergaya dengan rambut pendek semir pirang atau warna ngejreng lainnya, celana jins belel dan sepatu keds dengan jalan layaknya lelaki, bahu diangkat dan langkah kaki yang panjang. Sedangkan bagi "wanita" tidak jauh berbeda dengan perempuan pada umumnya hanya saja mereka memakai baju dominan hitam dan dandanan gothic. Mereka dengan santai akan saling rangkul sambil berjalan atau bahkan berciuman di bawah pohon.
Informasi lain mengatakan bahwa banyak dari mereka sudah menikah dan dirayakan dengan mewah juga. Kebebasan Hong Kong sepertinya memberikan angin segar bagi mereka. Bahkan ada yang bilang, disini di Hong Kong bisa di bagi menjadi tiga, yang pertama adalah Pasangan Lesbian, yang kedua pacaran dengan orang Pakistan, dan yang ketiga tetap ndeso karena tidak laku. Memang semua itu adalah sebuah pilihan. Benar tidaknya siapa yang tahu. Menjadi pekerja migran di Hong Kong memang mendapat jaminan penuh dari pemerintahnya.
|
Widhi, Saya, dan Eni di Minggu Pagi di Victoria Park |
Setelah selesai berkeliling taman dan melewati ribuan pekerja migran yang saling berdesak-desakan di jalanan sekitar Causeway Bay, sampai juga kami di sebuah kedai makan yang menyediakan makanan korea. Bagi Eni dan Widhi, dan tentu saja pekerja migran lainnya, hari minggu atau hari libur lainnya mereka habiskan dengan menyenangkan diri sendiri, seperti yang dibilang di atas, menjadi Ratu Sehari. Mereka luangkan waktunya sehari penuh dengan berkumpul bersama bertemu dengan yang lainnya, makan di tempat yang tidak biasa, menghabiskan waktu ke salon, membeli pernak-pernik di pasar sampai kepada berwisata layaknya turis.
Mendengarkan cerita suka duka mereka rasanya saya harus bersyukur. Bagaimana pun hidup di negeri sendiri lebih menyenangkan. Sama seperti teman-teman seperjuangan saya yang penempatan di luar jawa, walaupun alamnya elok, lingkungannya berbeda, namun tidaklah enak kalau sampai di habiskan bertahun-tahun.
*) Judul layaknya film Lola Amaria