Sepi, tiba merasa

Dua hari ini tiba-tiba aku merasa sepi, kesepian luar dalam, hati rasa miris. Sepi diri kalau Titi DJ berujar. Perasaan ini entah kenapa muncul kembali, mungkin karena aku sudah mencapai titik kulminasi lagi atas keseharianku yang cukup monoton. Oke, begini, bangun biasanya antara jam 6, masih santai dan langsung langkah seribu begitu jam ada di angka 7, bawa motor tanpa aturan dan sampai kantor antara 7.28 - 7.32, sebuah angka keramat yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap pendapatan bulanan.

Sampai kantor bersih-bersih muka, biasanya ini terjadi kalau tidak sempat dilakukan di rumah, eitts! jangan berpikiran aneh. Bikin secangkir teh dan sarapan, entah bawa bekal atau beli di kantin. Saat ini aku lebih sering bawa bekal, disamping membantu dalam program pengetatan ikat pinggang, juga lebih sehat dan higienis.

Kerja, kerja, dan kerja. Biasanya yang mengganggu adalah musik, aku suka sekali milih daftar lagu dan menggantinya, belum lagi ukuran suaranya yang aku pikir kawan satu ruangan sudah hapal, maaf ya kawan. Di sela-sela kerja pasti ada sesuatu yang bikin ribut, seperti gtalk dan sejenisnya, fesbuk dan sejenisnya, oleh itu lah kadang-kadang kalau pekerjaan sudah menumpuk, hal semacam itu tidak aku nyalakan. Kalau buntu, brenti sejenak, dan baca koran sambil nyemil makanan yang ada. Makanan ini pastinya hasil ngembat di ruang bendahara yang sepertinya tidak pernah ada kamus kehabisan stok.

Ah, kembali ke kesepianku yang melanda dan menderaku. Aku semacam mahluk anti-social, autis, dan rasis di manapun berada. Sejenak kita lihat.

Di kantor : aku hanya sesekali mengajak ngobrol kawan kantor, dan itupun dengan seleksi ketat. Lebih banyak waktu aku habiskan di depan layar, dunia maya, dan pekerjaan. Pak Setyo pernah bilang "get real man, you're in the real world, not in a cyber all the time", honestly, those words shocking me, but then I realize that maybe he's just right, maybe I am too lousy dealing with other in real world but monitor.

Di kos : biasanya melewatkan waktu lebih lama di kantor setelah jam kantor selesai, biarpun hanya sekedar mendengarkan musik; baca koran; atau memang kerja beneran. Sampai kos biasanya antara jam 7 malam. Sesekali memang pulang tepat waktu, itu biasanya kalau sedang semangat untuk nyuci baju, atau menyetrika. Dua hal yang memang sangat aku tidak suka, walaupun sudah dibantu dengan teknologi, rasanya masih saja malas. Hal yang rutin dan pasti itu-itu saja aku lakukan yaitu nonton film dari DVD atau VCD; baca buku atau koran; sesekali nonton TV, itupun tayangan MTV atau V channel. Buang uang saja memang sepertinya aku, langganan TV berbayar tapi sesekali saja dilihat. Memang awal kenapa memutuskan untuk berlangganan supaya bisa nonton Metro TV; aku muak dengan stasiun TV lain yang hanya sinetron dan gossip. Begitulah, waktu bergaul dengan para tetangga pun menjadi tidak ada, sesekali ada Recky, kamar paling depan yang biasanya main ke tempatku, itu pun untuk meminjam DVD.

Di kampus : Well, sepertinya aku mempunyai dunia lain disini. A brand new me. Tidak autis; more critize; more mature atau lebih tepatnya jaim, alias jaga image; percaya diriku menjadi lebih tergali, such a multitasking one. Hanya memang semester ini aku agak malas buat jalan ke kampus.

Bisa disimpulkan dari kegiatan diatas yang hanya itu-itu saja tanpa bisa bergaul dengan lainnya.

Masalah baru muncul, jantungku berdebar lebih kencang, aku berpikir, apa yang terjadi? atau karena sudah terlalu jauh aku melangkah menjauh dari Tuhanku? Kegiatan membacaku sudah hampir pensiun, sebulan ini hanya koran yang di baca. Film dan serial pun sudah tidak diikuti lagi. Aku layaknya homo sapiens yang luntang luntung gak jelas menghabiskan waktu di rumah hanya doing nothing.

Pacar? aha! good question, aku ndak punya je, carikan dong!!!!! Seperti yang aku bilang diatas aku terlalu mengacuhkan hal-hal yang tampak nyata buatku, alih-alih hanya sebuah monitor kecil 14 inch.

Tadi aku sempatkan menangis di hadapanNya, hanya demi sebuah ketenangan, paling tidak aku merasa nyaman kembali dengan apa yang aku lakukan sekarang ini.

Read Users' Comments (0)

Irianti, namanya

Irianti namanya, aku panggil ia Ria. Namanya diberikan Ibuku saat ia lahir, bapaknya sedang tugas di Irian (Papua), sehingga ia diberikan nama itu, lengkapnya sendiri aku belum tahu. Ia keponakanku nomor sekian, sudah nggak hapal saking banyaknya.

Sore tadi mbak Erna (ibunya) sms ke aku, "telpon sini, Ria manggil-manggil terus". Saat aku telpon, suara riang kecilnya langsung menyapa "om..om..", umurnya baru setahun lebih, tetapi kelakuannya sudah lagaknya anak umur empat tahun. Ia sudah bisa berlari-lari dengan kaki kecilnya, ia sudah jelas memanggil orang-orang terdekatnya, bapak-ibu-mamas-om-mbah-tante (yang ia panggil dengan ante), dan ia lincah, tidak pemalu.

Aku sendiri gak tahu kenapa ia begitu suka denganku, kami hanya bertemu sesekali, dan ia hanyalah anak kecil yang polos. Setiap pagi ia menggedor-gedor pintu dengan memanggil namaku, berusaha main denganku, disaat aku masih ngantuk. Anaknya tidak bisa diam, mungkin karena aku meladeni semua kemauannya, ia jadi kepincut sama aku. Mainan bola, lari kesana kemari, makan cokelat, dan sebagainya. Satu hal yang ternyata sangat ia sukai, ia gemar berdendang dan menyanyi. Ibunya membelikan video lagu anak-anak semacam cicak-cicak di dinding; lihat kebunku; naik-naik ke puncak gunung; dan sebagainya, ia sangatlah senang, tak mau berhenti bernyanyi.

Jikalau malam tiba, kadang ia merepotkan, bolak-balik ke rumahku diantar oleh ibunya, hanya karena memanggil namaku, begitulah ia. Kalau menelepon pun ia hanya bilang "om... jajan... sate..."

Sore ini hujan, aku jadi kangen beneran sama ia.

Read Users' Comments (0)

Kembali beriringan

Alhamdulillah ya Allah, barusan aku nelpon rumah, ibu cerita, mbak Sol tadi sore ke Wonosobo bawa motornya mbak Har, dan sekarang di rumah sedang bercengkerama, artinya mereka berdua sudah baikan, hal yang hampir tiga bulan ini selalu menjadi topik perbincangan antara aku dan ibuku.

Masalahnya terletak pada ketidakdewasaan mbak Har sebagai anak tertua yang merasa di gurui sama adiknya, padahal menurutku sah saja, sebagai saudara saling mengingatkan, tetapi sudah lah, yang penting sekarang mereka sudah akur kembali.

Peran Ocha sebagai penghubung pastilah sangat besar, dari dialah akhirnya menurut teoriku mbak Har menyadari ketidaksesuaiannya selama ini. Ocha yang anak dari mbak Har, masih tiga tahun, dan hampir setiap hari main ke rumah simbahnya, pasti berhubungan dengan mbak Sol. Dan tau lah sendiri, mbak Sol itu orangnya sayang sama anak kecil, meskipun kadang galak karena dia orangnya suka ketenangan dan kebersihan, meskipun demikian tetap memerhatikan para ponakannya.

Ibuku pun yang umurnya semakin bertambah, kian hari kian kehilangan kuku. Seolah tak punya pegangan dengan perginya bapak hampir tiga tahun lalu, tiba-tiba saja beliau menjadi kehilangan aji, kendali atas anak-anaknya sedikit kendur. Mungkin kepergian bapak yang terlalu cepat turut memberi andil yang sangat signifikan. Apalagi adikku Prapti, sudah dianggap lalu lah omongan ibuku sekarang ini. Dia lagaknya anak bungsu yang selalu minta di penuhi segala keinginannya. Aku sekarang punya andil yang besar, dimana kadang-kadang harus memberi pengertian kepada Ibu bagaimana caranya bertindak atas hal yang anak-anaknya lakukan, tidak perduli yang sulung atau yang bungsu. Belum lagi permasalahan cucu, para keponakanku yang semakin manja sama simbah putrinya, kalau tidak di saring sekarang pastinya akan menjadi tidak sehat di kemudian hari.

Mungkin dengan kepergian bapak, keluarga kami menjadi semakin dominan dengan para perempuan, aku hanya anak laki-laki satunya dari Ibuku; aku punya satu kakak tiri laki-laki. Dua kakak perempuanku berstatus janda, satu kakak iparku merantau di BP papua, satu lagi yang sangat tidak bisa diharapkan, kerjanya cuma duduk-duduk saja, praktis hanya satu yang kelihatan bisa di sebut kakak laki-laki di keluarga besarku, ia seorang lurah sekarang, 30 menit dari rumah.

Selain diatas, masih ada satu simpul yang sangat susah dibentuk, mbak Titi dan mbak Erna, masalah mereka sejak tahunan lalu masih berbekas, belum bisa akur sampai sekarang, walaupun anak-anak mereka akur, tidak demikian dengan ibunya. Mudah-mudahan segera saja ada cara biar mereka rukun kembali.

Read Users' Comments (0)

Aku bosan

aku bosan
aku bosan jadi tempat sampah
aku bosan jadi orang lain
aku bosan jadi diri sendiri
aku bosan selalu begini
aku bosan sama kamu
aku bosan sama dia
aku bosan sama mereka
aku bosan mengeluh
aku bosan being critize
aku bosan jadi mandiri
aku bosan mengharapkanmu
aku bosan mencintaimu
aku bosan begging you
aku bosan sendiri
aku bosan selalu mencintai
aku bosan menjadi baik
aku bosan menjadi jutek
aku bosan

Read Users' Comments (0)