Tampilan Baru

Aku sibuk banget sejak pindah ke Seksi Pelayanan, rutinitas pagiku kacau, tidak ada lagi istilah baca koran selama jam kerja, menulis blog, apalagi belajar dan membaca buku. Tapi kalau dilihat, tampilan blog-ku baru. Kemarin aku beli buku panduannya di Gramedia. Yah, ini baru tahap awal soal tampilan, aku pengennya semua-muanya baik, enak dilihat -ya nggak sih?-. Jam segini saja aku masih di kantor, padahal besok kan aku mau UAS, apa kata dunia kalau begini, kapan belajarnya?

Stop complaining!!!!

Read Users' Comments (0)

Melankoli Kabut Sutera Ungu

Baru semalam aku menontonnya. Film lawas ini diputar ulang dalam rangka menyambut ulang tahun Jenny Rachman. Bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Kuningan, selama dua hari sejak kemarin, film-film jempolan yang di bintangi oleh Jenny Rachman akan diputar ulang. Sebagai informasi, film ini memperoleh 5 Piala Citra di tahun 1980, wah, aku sendiri belum lahir pada waktu itu. Jenny Rachman meraih Piala Citra untuk kedua kali dalam film tersebut. Selain oleh Jenny Rachman, film ini juga dibintangi oleh idola kawula muda saat itu, Roy Marten, dan disutradarai oleh Sjuman Djaya. Saat film diputar semalam, berhubung temanya ulang tahun, maka selain pemain utama hadir, teman-teman, kerabat, dan handai taulan juga ikut menyaksikan acara tersebut. Justru, acara yang juga dibuka untuk umum dan gratis ini tidak banyak dimanfaatkan oleh orang lain, aku lihat hanya segelintir orang saja yang tidak termasuk kategori yang aku sebutkan diatas, termasuk aku.

Filmnya sendiri bercerita tentang keluarga muda yang sedang dalam masa indah-indahnya, Mira dan Hermanto. Jelas saja film ini mendapatkan rating 17 tahun ke-atas, soalnya ada adegan mandi dan beberapa yang sensual. Untuk tahun tersebut aku yakin luar biasa. Apalagi ada adegan lebay oleh Jenny Rachman saat sedang nonton layar tancep, meliuk-liuk bak ular, menggoda sekali.

Kembali ke alur cerita. Hermanto mendapatkan kecelakaan pesawat sehingga meninggal dunia, Mira pun mengurung diri. Apalagi pandangan orang terhadap janda pada waktu itu, masih lah sangat tidak manusiawi, sedikit saja bercakap dengan lelaki, langsung digunjingkan, begitu dan seterusnya. Hal itu membuat Mira makin menutup diri. Hermanto yang diperankan oleh Roy Marten baru lama aku kenali karena ia memakai kumis. Hingga saat adik dari Hermanto pulang dari Jerman, situasi berubah. Mungkin karena mirip, anak-anak Mira memanggilnya Papa. Papa Dimas. Mira dan Dimas terlibat situasi saling cinta tetapi susah untuk menyatukannya. Endingnya jelas saja Dimas akan menikah dengan Mira.

Secara umum, film ini buatku sedikit wah, pada jaman itu, ada adegan bertelepon, dan layar terbagi dua, hebat sekali. Akting para pemainnya memang ada yang bagus banget, dan ada yang biasa saja. Saat sang pembawa acara di awal acara berkata kalau kakak iparnya menangis saat menyaksikan film ini, aku sudah ancang-ancang untuk mengambil tisu di tas. Tetapi sampai akhir film, aku tidak menemukan adegan sentimentil yang membuatku menitikkan air mata. Mungkin karena aku tidak mengikuti sekali jalan cerita dan melarutkan dalam alur cerita tersebut. Selama pertunjukan aku banyak melihat sisi lain dalam film tersebut, seperti keadaan Jakarta pada tahun itu, jenis mobil, pergaulan anak muda, dan situasi lainnya.

Kalau di US sana ada bioskop yang khusus memutar film lama, kenapa di Indonesia belum ya? Lumayan juga dengan acara ini, jadi lebih tahu dan mengenal perfilman nasional.

Read Users' Comments (0)

Galih dan Ratna

Namanya Galih dan Ratna, kok ya ndilalah, nama mereka itu sama dengan tokoh rekaan semacam Romi dan Yuli yang kondang itu. Mereka berdua keponakanku, aku mengikuti perkembangan mereka sejak kecil, bisa dibilang aku turut andil dalam perkembangan emosional mereka. Walaupun ketemu hanya sesekali kalau aku pulang mudik ke kampung halaman, tetap saja aku merasa paling dekat dengan mereka dibanding keponakanku yang lain. Umur mereka hanya terpaut beberapa bulan, lebih dulu Galih yang mbrojol ke dunia ini. Galih adalah anak dari kakak nomor tiga, sedangkan Ratna anak ke-dua dari kakak nomor dua.

Galih tidak bisa gemuk, paru-parunya tidak begitu sehat, padahal kalau makan, dia adalah juara diantara yang lainnya. Hobinya adalah bermain di air, berhubung air terdekat adalah sungai kecil dari hutan yang sudah tercampur dengan bermacam limbah dari sawah dan kolam, tujuan mainnya ya kesana. Ia membuat bendungan dan menangkapi bermacam hewan air kecil seperti kepiting, ikan, dan lainnya. Sekarang ia sudah kelas tiga Sekolah Dasar. Kemampuan membacanya jadi baik karena aku cekoki komik dari kecil. Dulu, aku sedikit geram sama ibunya karena sudah mau masuk TK tapi belum bisa membaca dengan baik, hasilnya aku bawa ia ke toko buku, aku suruh milih apa yang ia suka, pilihan jatuh ke komik doraemon dan sinchan. sampai sekarang ia masih menjadi penggemar setia dua komik diatas.

Galih suka sekali dengan dunia binatang, ia bisa menghapal nama-nama binatang dengan sekali sebut. Ia bergaya laiknya pemimpin diantara teman seusianya. Ia suka membawa teman-teman lainnya dan menonton DVD dunia binatang, ia akan menjelaskan satu per satu kepada yang lainnya apa yang dilihat di layar, yang lain hanya manggut-manggut. Waktu sepulang dari berlibur di Jakarta beberapa bulan yang lalu. Ia senang sekali waktu aku ajak naik kereta komuter. Dan, ibuku bercerita kalau ia membimbing teman-temannya bermain kereta api dan ia di depan menjadi masinis, menjelaskan satu per satu detail yang ia lihat dan alami sewaktu naik kereta komuter tersebut.

Ia juga senang dengan alam, buktinya kalau aku pulang pasti ia akan mengajak ke hutan dan sungai. Dua tempat yang kayaknya wajib kami kunjungi. Aku ingat terakhir aku mengajaknya ke sungai serayu dimana hujan rintik, ia tetap membuat bendungan, dan sesekali ngglesot di sungai, karena belum bisa berenang. Ia adalah pendengar yang baik, dan akan menjadi pendengar yang cukup aktif bertanya, apa yang ia lihat dan tidak tahu, akan ia tanya pada seseorang di sekitarnya. Orang lain yang bukan keluargaku pasti akan menganggap ia cerewet. Kalau menurutku ia unggul dalam ilmu pengetahuan diantara teman sepermainannya di rumah.

Lain Galih, tentu lain pula dengan Ratna. Ia tipikal cewek yang awalnya tomboi karena tidak mau memakai rok, ia melihat sepupunya yang lain yang semuanya laki-laki. Baru akhirnya ia aku ubah menjadi feminim dengan seringnya aku membelikannya baju terusan, aksesoris rambut, dan hal-hal lain yang berbau cewek, sehingga sekarang ia malah gak mau memakai celana panjang.

Ratna anaknya manja, hasil didikan ibuku yang kayaknya memanjakannya, ditambah turunan dari sifat ibunya yang mau menang sendiri dan egois. Ia pandai dalam membaca, disaat anak seusianya masih ndap-ndep. Hanya saja ia pemalas, kata orang sih, aku menyebutnya ia anak yang pembosan dan peniru. Ia paling bosan kalau sekolah, wali kelasnya sampai komplain ke rumah gara-gara ia suka gak mau nulis kalau sudah merasa bosan. Selidik punya selidik, gaya pengajaran di kelasnya yang membosankan, hanya disuruh menulis dan menulis. Sedangkan aku seringkali memberikan pelajaran kepada mereka secara atraktif. Jalan ke hutan atau sungai dan menjelaskan apa yang aku tahu. Pergi ke toko buku dan menjelaskan satu per satu nama buku dan kegunaannya. Pergi ke toko kaset dan memilihkan VCD/DVD yang edukatif, dan bertemakan kartun. Membelikannya buku mewarnai, sehingga ia akan seharian duduk menggambar. ia juga suka sekali dengan komik, terutama yang ada puteri-pangerannya.

Sebenarnya bukan hanya kepada Ratna aku memberikan gaya pengajaran seperti itu bagi mereka, kepada semua keponakanku juga demikian, oleh karena itu mereka menjadi banyak bertanya dan cenderung cerewet. Hal ini yang masih belum bisa diterima sama guru di kelasnya. Bahkan, sang guru pernah bilang sendiri kepadaku kalau sering menyuruh Galih dan Ratna diam saat dikelas karena sering mengajukan pertanyaan, dan pertanyaannya kadang-kala tidak nyambung. Fyuh, tipikal guru yang masih ndeso banget.

Harapanku buat mereka sih mudah-mudahan bisa tumbuh berkembang dengan baik, dan  mengurangi menonton tayangan TV, dan membaca komiknya. Memang salahku sih membiasakan mereka membaca komik dan menonton TV yang edukatif. Hanya saja mereka jadi kebablasan, tak tahu waktu. Satu hal yang ingin aku ajarkan buat mereka, menulis dan menceritakan apa yang sudah dilihat kalau pulang bepergian.

Read Users' Comments (0)

Ayah nomor satu di dunia

Aku mendapatkan kutipan ini dari film Sang Pemompi-nya Riri Riza, dimana film tersebut juga di dedikasikan oleh para sineasnya untuk para ayah nomor satu di dunia. Aku nonton film ini baru beberapa hari yang lalu. Secara umum sekuel ini kurang menggigit di bandingkan dengan Laskar Pelangi, hanya saja beberapa scene-nya lebih menguras emosi. Aku bukan hanya menitikkan air mata, tetapi sampai benar-benar menangis saat menonton film ini.

Ayah memang lebih sedikit disebutkan dalam berbagai ulasan, baik lagu, artikel, cerita, dan karya sastra lain dibandingkan dengan sosok ibu. Sebelum ini mungkin hanya lagu Dance with My Father-nya Luther Vandross yang menjadi acuan buatku untuk mengenang ayah tercinta. Sampai pada film ini dimana dalam lakon tersebut ditunjukkan bagaimana sosok seorang ayah yang datang ke sekolah sang anak dengan bersepeda, bermandi peluh, dan memakai baju safari satu-satunya yang dianggap paling bagus diantara yang lainnya, bahkan untuk bertemu bupati, beliau tidak memakai baju tersebut. Sangat jelas disini bagaimana sosok ayah yang sangat ingin tampil sempurna demi anaknya.

Bagaimana denganku?

Aku sendiri tidak begitu dekat dengan ayahku, atau bapak, aku menyebutnya. Beliau adalah umumnya seorang ayah, dan laki-laki dari suku jawa yang tidak mudah untuk menyampaikan rasa sayang kepada orang-orang terdekatnya, walaupun itu ada dalam hatinya. Beliau seorang yang kaku, yang sepanjang hidupnya dijalani dengan pendirian dan watak yang keras. Dari sekian sifat bapakku, yang kalau dihitung banyak sekali nilai kurangnya, beliau lebih di cintai para cucunya di banding simbah putrinya. Dari situ aku bisa menilai bahwa beliau itu orang yang baik, lembut, bahkan penyayang. Hanya mungkin orang dewasa tidak melihatnya.

Bapakku punya nama kecil Misdi, beliau lahir dari sepasang suami-istri Kaswari. Beliau anak paling bontot dari 3 (tiga) bersaudara. Saudara tertuanya meninggal sebelum aku sempat mengenalnya, Ghozali namanya. Kemudian ada Kastomo. Beliau masih hidup sampai sekarang, yang kalau orang lain menilainya kurang waras. Bapakku menikah 2 (dua) kali. Pernikahan pertama saat masih berumur 20 atau 21 tahun, usia yang pada waktu itu sudah menjadi hal yang biasa. Dari pernikahan pertamanya beliau di karuniai seorang putra yang diberi nama Edi, aku lupa nama lengkapnya. Ya, ia adalah saudara tiriku, saudara paling tua. Pernikahan pertamanya tidak berjalan baik, yang berujung pada perceraian. Pernikahan kedua dengan ibuku, saat itu beliau berumur 25an, aku kurang tahu persis. Dengan ibuku, beliau diberi 7 (tujuh) keturunan, dengan hanya aku yang berjenis kelamin laki-laki. Ke-lima kakak dan satu adikku adalah perempuan. Setelah menikah, beliau mempunyai nama lain yaitu Suprapto, nama yang aku sukai sampai sekarang. Bukan hanya itu, beliau juga punya nama lain saat setelah menunaikan ibadah haji tahun 1977, Haji Abdullah. Hanya saja kalau orang lain bertanya siapa nama bapakmu? aku selalu menjawab, Suprapto.

Semasa hidupanya beliau pernah bekerja sebagai pedangang perantara, atau bahasa di daerahku adang-adang di pasar, membeli bahan hasil pertanian rakyat untuk kemudian di jual kembali ke kota. Kopi dan cengkih adalah salah satunya. Hal tersebut masih dilakukan saat beliau akhirnya menjadi seorang Kepala Desa. Bahkan beliau sempat menjadi Gelondong, semacam ketua para Kepala Desa di kecamatan. Beliau menjadi Kepala Desa selama 34 (tiga puluh empat) tahun, semacam orde baru segala ya. Beliau habis masa jabatannya tahun 1999. Dan awal-awal selesai sebagai Kepala Desa, beliau mempunyai semacam post-power-syndrome, yang kalau dilihat memang pasti terjadi, dan aku mahfum dengan itu.

Hubunganku dengan beliau naik turun. Tidak ada emosi berarti diantaranya. Aku ingat waktu kecil masih kelas 3 (tiga) sekolah dasar, aku diajak ke Banyumas, dan saat itu puasa, karena aku tidak membatalkan puasaku akhirnya beliau membelikanku majalah anak yang aku ingat sekali hal tersebut menjadi semacam batu loncatan buatku untuk mengenal agama islam selanjutnya. Lain hal lagi saat aku ngekos di Purwokerto, beliau selalu mengantarkanku sampai di tempat pemberhentian bus, dengan ngasih oleh-oleh sampai bertumpuk-tumpuk. Keuangan beliau saat itu sedang tidak dalam kondisi baik, bisnis barang kuno-nya sedikit terhambat karena banyaknya piutang. Hanya hasil bumi yang bisa ia berikan buat bekalku menuntut ilmu. Sedikit kembali ke masa kanak-kanak lagi, dimana untuk pertama kalinya beliau mengajak aku ke Jakarta, dan lagi-lagi itu terjadi saat bulan puasa. Aku ingat bagaimana beliau menyelundupkanku di terminal pulogadung lewat jendela supaya aku tidak berdesak-desakan dan untuk mengokupansi tempat duduk yang masih ada, pada saat orang lain berebut di pintu depan dan belakang. Diantara saudaraku yang lain, hanya aku yang sering diajak bepergian, mungkin karena aku anak laki-laki. Aku sudah banyak bepergian ke banyak kota sejak kecil, hal tersebut yang pada akhirnya memberi kesan buatku untuk tidak takut bepergian sendiri. Hal terakhir yang aku ingat adalah saat aku akan mendaftar ulang di STAN, dimana bapakku bersikeras untuk mengantarkanku. Saat naik kopaja 613, aku ditanya macam-macam sama preman di kopaja, yang aku sendiri tidak tahu mereka adalah preman, kalau bapakku tidak mendekat ke tempat dudukku dan berbicara panjang lebar. Aku merasa diselamatkan dari sarang penyamun yang berbahaya itu.

Dari banyak kenangan berkesan diatas tetap saja ada hal yang membuat aku jengkel. Saat aku mendapat pengumuman penempatan pertama, pada saat waktu pemilu aku bersikeras tidak mau mencoblos, dengan dalih aku seorang PNS, yang ditimpali beliau dengan kata sedikit kasar, yang sampai saat ini kalau hal tersebut aku ingat pasti membuat hati ini menciut. Memang saat kecil aku sering menolak ajakannya saat ke kebun, atau saat harus membantu pekerjaan beliau, aku lebih suka di kamar membaca buku.

Sekilas aku melihat apa yang aku capai saat ini bapakku tidak pernah memberikanku ucapan terima kasih, atau paling tidak merasa bangga dengan apa yang ada di diriku. Tetapi aku salah. Banyak orang setelah beliau berpulang, baru aku tahu, ternyata beliau begitu membanggakan aku, seorang yang selalu merasa kecil di hadapannya, dan selalu salah. Beliau selalu membanggakanku dan malahan terkesan menyombongkanku di hadapan orang lain. Sejak kecil aku memang jarang berdiam lama di rumah, di kampung halamanku. Tetapi orang-orang tetap mengenalku, dan menghormatiku, akhirnya aku menyimpulkan kalau hal tersebut mungkin karena bapakku.

Banyak hal yang akhirnya membuatku menangis kalau sampai mengenang hal tersebut, ayahku, bapakku, yang kaku, sebenarnya sangat menyayangiku. Beberapa kali aku kangen dengannya. Aku selalu menangis, mungkin sudah banyak yang aku tuliskan di banyak tulisanku sebelumnya, hal yang menye-menye. Intinya, ayahku, bapakku adalah ayah nomor satu di dunia. Kenangan masa terakhir saat beliau sakit sudah cukup mengingatkanku akan hal tersebut. Bagaimana waktu itu beliau melarang orang-orang saat aku di suruh untuk memanggil paman bibi dan yang lainnya, beliau bilang, "jangan joko, biar dia disini sama aku", aku trenyuh, dan hanya bisa sesenggukan di pojokan.

Read Users' Comments (1)komentar