Balada di negeri orang, di interview sama Imigrasi

Sungguh memalukan kejadian ini, tetapi andai saja saya tidak mendapatkan pengalaman ini, saya hanya akan tahu dari orang bagaimana interview oleh imigrasi ketika masuk ke dalam suatu negara. Ahhh... sungguh tidak lucu, jangan sampai kalian merasakannya.

Kejadiannya begini, waktu itu saya masuk ke Singapore dari Malaysia melalui jalan darat. Saat masuk imigrasi Singapore, petugas perempuan langsung bertanya tentang suku saya, rasis bukan? "Are you chinesse or what?" apa coba maksud dari pertanyaan tadi, saat saya jawab kalau saya dari Indonesia, dan saya orang jawa kemudian dia melanjutkan pertanyaan. "So, are you christian, buddhism, or moslem?" langsung saja saya jawab, "I am moslem". Tanpa basa basi dia langsung menyuruh temannya datang dan menjemput saya. "Sir, can you please follow my friend?" Damn!!, ada apa ini? Apakah hanya masalah agama saya di permasalahkan?

Setelah membaca buku karangan Margareta Astaman, After Orchard, saya akhirnya sedikit tahu kalau orang Singapore sono memang senang mengkotak-kotakan orang berdasarkan suku dan agama.

Kemudian saya diajak naik ke lantai atas, saya lupa lantai berapa. Saya di suruh duduk menunggu, kemudian dipanggil masuk dan ditunjukan salah satu ruangan untuk cap jempol. Saya heran, saat melakukan cap jempol, ada beberapa petugas berdiri mengelilingi saya,  gak lihat badan saya sudah kecil begini apa ya? Setelah itu  saya diminta untuk kembali menunggu. Saya dipanggil kembali, kali ini oleh petugas bertampang India dan di wawancara sebentar, kemudian petugas tadi memanggil penyerantanya. Saya di wawancara ulang dengan pertanyaan yang mirip, hanya frekuensinya bertambah. Kemudian penyeranta tadi mengajak saya ke ruangan Kepala Bagian, saya di bawa masuk ke ruangan yang mirip ruangan interogasi kalau di serial criminal. So, am I criminal?

Dalam ruang tersebut, saya diberi pertanyaan, nama saya, sekolah saya dari awal sampai sekarang, apa yang saya lakukan, mau apa ke sini, tau nggak dimana letak Sulawesi? Saya disuruh menulis alamat saya sekarang, alamat kantor saya, berapa saudara saya, nama  Ibu saya, pokoknya pertanyaan nggak penting yang menurut saya hanya berusaha membingungkan dan melihat konsistensi jawaban. Beruntung, saya banyak nonton serial kriminal jadi saya tetap berusaha tenang dan menjawab pertanyaan mereka dengan bahasa acakadul. Kemudian saya disuruh menunggu lagi, lagi, wawancara lagi, dengan pertanyaan yang sama, again again again and again.... 

Ibu saya menunggu di luar tanpa tahu keadaan saya.

Akhirnya saya di perbolehkan keluar, tanpa tahu apa kesalahan saya, saya coba bertanya tetapi di jawab, no problem. Ugh!!!

Sampai di luar, Ibu saya sudah menunggu sambil menangis, ah, beginilah dunia pada kenyataannya.

Sebelum sampai di imigrasi saya sudah mendapat firasat akan terjadi sesuatu yang jelek, ternyata benar saja. Kalau menurut saya, kesalahan yang saya buat adalah menulis alamat Bogor, padahal alamat di paspor adalah Wonosobo. Tapi saya tidak tahu kesalahan yang sebenarnya. Apakah saya di duga seperti orang yang akan mencari pekerjaan di sini, or something else. 

Intinya, kalau memang kamu tidak salah, jangan takut, tetap berusaha tenang menjawab pertanyaan yang diajukan, dan jangan sekali-kali berbohong tentang apapun selama wawancara.

Read Users' Comments (0)

Malaysia: antara Daulat Tuanku dan Kelapa Sawit

Perjalanan ke Malaysia ini sebenarnya tidak ingin saya tulis, saya seperti menjilat ludah sendiri, big ew isn't it? Saya tidak begitu suka Malaysia, banyak sekali sesuatu yang membuat saya tidak ingin menginjakan kaki di sana. Pertama, tentu saja dengan adanya issue yang beredar tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia. Kedua, saya tidak suka sebutan mereka kepada kita yang menyebut "Indon", lagaknya sudah menjadi manusia nomor wahid. Ketiga, tentu saja pariwisata mereka yang bisa sampai menyedot wisatawan sampai menjadi yang paling besar di SEA, membuat saya mati rasa, how come? 

Perjalanan dimulai dari Lavender St di Singapore, begitu masuk sana saya merasa bukan berada di Singapore, keteraturan yang selalu terlihat di Singapore ini tidak saya lihat, yang ada, para awak bus berteriak menjual tiketnya, setiap ada penumpang datang, mereka berbondong-bondong menawarkan busnya. Tidak berbeda jauh dengan yang saya dapati di terminal Indonesia. Mereka tidak memaksa, hanya sedikit memaksa, dan akan menawarkan harga di atas yang seharusnya. Saya ngotot untuk mendapatkan harga yang sesuai di internet walaupun mereka ngotot kalau bus mereka lebih bagus, hanya saja saya melihat rata-rata harga tiket adalah S$20.80, maka ketika saya di minta untuk membayar S$22, saya tidak mau, hasilnya mereka memberi harga seperti yang saya kasih dengan kualitas lebih bagus dari yang seharusnya, suatu keuntungan bukan? Sebenarnya saya sempat mengutuk mereka karena menawarkan harga lebih tinggi dari seharusnya, hanya saja saat perjalanan kembali pulang, baru saja saya tahu kalau bis yang sudah saya naiki memang memiliki tarif demikian.

Kenapa saya tiba-tiba berkunjung ke Malaysia? saya cinta sejarah, man. Saya hanya mengunjungi Melacca, kota bandar yang selalu terpampang di buku sejarah Indonesia dan Dunia. No more!!!

Perjalanan untuk sampai di Melacca memakan waktu 4 jam, dengan bus yang baru dan keren, kursinya 2-1, jadi sangat lega, apalagi penumpangnya hanya 5 baris saja. Perjalanan ke sana melewati imigrasi ke dua negara, jadi saat turun untuk pemeriksaan sebaiknya bawa semua tas yang dibawa, untuk berjaga-jaga apabila kita mendapatkan masalah dengan imigrasi setempat. Cerita ini akan tulis di lain kesempatan. Begitu bus yang saya naiki memasuki bagian luar kota Johor Bahru, biasa di singkat JB, saya hanya melihat kebun kelapa sawit, tak ada yang lain. Awalnya mungkin menyenangkan, hanya saja apabila sampai satu jam kita masih di suguhi pemandangan yang sama, apakah tidak merasa bosan? Inilah Malaysia, negara penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia sebagai negara yang memiliki lahan lebih luas justru selalu kalah produksi dengannya.

Sebelum sampai Melacca, saya membayangkan sebagai kota, paling tidak seperti Surabaya. Kenyataannya, di sana serba sunyi, pendudukanya sedikit mungkin? bisa jadi, saat memasuki Sentral Malaka, sebuah terminal bagi bis-bis tujuan dalam dan luar kota. Perjalanan dengan Panorama Malaka, bis lokal yang menjangkau sebagian kota semakin menguatkan dugaan saya, kota ini sepi. Saya sudah melakukan pemesanan sebuah kamar di Discovery Guest House, letaknya cukup dekat dengan hal-hal yang seharusnya di lihat di Melacca.

Tempat wisata di Melacca yang dijadikan World Heritage oleh Unesco tahun 2008 terdiri dari bangunan-bangunan tua peninggalan Portugis dan Belanda, dua negara yang pernah memperebutkan kekuasaan di sana. Bagi pecinta sejarah, tempat ini bisa saya katakan surga, dimana hampir semua reruntuhan bangunan, benteng, kuburan masih terawat, dan bisa kita lihat dengan baik.

Pertama, saya mengunjungi Clock Tower, masih satu komplek dengan Stadhuys, semacam plaza yang cukup menarik dan sangat memorable. Saat saya duduk diantaranya, dimana sebelah kanan terdapat sungai yang membelah kota dan di hiasi oleh bangunan-bangunan tua yang cukup bersih, dan di sebelah kiri Stadhuys, Gereja Katolik, yang semua berwarna merah kontras dengan kicau burung yang cukup banyak berada di pepohonan sekitar Clock Tower tersebut. 

Pastinya, sudah banyak buku atau literatur yang membahas kota yang satu ini, saya hanya cukup berjalan kaki untuk menyusuri semua lokasi sejarah dan menurut saya keren. Tidak ada tempat yang masih memelihara dengan baik warisan penjajah di Indonesia, tapi di sini, patut di acungi jempol. Warga dan pemerintah lokal sepertinya paham benar bagaimana memelihara warisan sejarah dan memberikan suasana yang menyenangkan bagi pendatang.

Yang menarik lagi dari Malaysia adalah, mereka sedang menggalakan program Malaysia 1. Propaganda positif dari pemerintah sehubungan dengan issue yang berkembang antara pribumi dan etnis lain. Memang secara kasat mata bisa terlihat bagaimana batasan tersebut, pribumi-atau biasa di sebut Bumiputera, biasa bekerja di bidang pemerintahan, dan memiliki banyak akses akan berbagai hal. Lain halnya dengan etnis keturunan China, mereka menjalankan bisnis seperti hotel, menjual kebutuhan sehari-hari dan perdagangan lainnya, bersama dengan beberapa etnis keturunan India. Sedangkan untuk etnis seperti Bangladesh, Tamil, India, dan yang mirip dengan mereka bekerja di bidang kontraktor pembangunan gedung sebagai pekerja kasar, petugas kebersihan, dan yang semacamnya. Jelas terlihat bukan? 

Propaganda tersebut sepertinya sejauh ini berhasil, saya lihat tidak ada issue besar lagi yang berkembang disana. Hal ini sepertinya berhubungan juga dengan propaganda lain yang pemerintah kumandangkan kepada masyarakat yaitu Daulat Tuanku, Dahulukan Rakyat. Wow, cukup menarik bukan? Saya jadi ingat bagaimana Soekarno juga melakukan hal yang sama kepada rakyatnya saat menjadi presiden. Saya tidak mengalami hal tersebut sebenarnya, jadi saya hanya tahu dari literatur yang berkembang.

Indonesia, dengan segala carut-marutnya tetap menarik bagi saya, Ia adalah Tanah Air. Ia adalah Ibu. Ia adalah segalanya bagi saya.

Read Users' Comments (0)

Liburan bersama Ibu

Mom & Me
Judulnya terkesan anak pra-sekolah gak sih?

Setelah mendapat cerita dari saya, dan kakak-kakak saya yang kebetulan sudah pernah mengunjungi negeri Singa, akhirnya Ibu saya pun menginginkan hal yang sama. Setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya saya memutuskan membeli tiket tujuan negeri Singa, dan mendapatkan fare yang lumayan biasa, standar untuk budget-airlines, tidak mendapatkan special price, apalagi zero price.

Perjalanan kali ini hampir tidak kelaksana, banyak sekali hambatan. Pertama, saya tidak mempunyai uang untuk membiayai perjalanan ke sana. Kedua, uang simpanan saya yang sedikit sekali itu di pinjam, dan belum di kembalikan sampai H-2. Ketiga, kakak saya sakit, keguguran, dan meminta bantuan saya. Ugh! Akhirnya saya bulatkan tekad untuk tetap pergi, masalahnya adalah, kapan lagi saya bisa pergi berdua dengan beliau yang umurnya terus bertambah? saya takut tidak memiliki kesempatan lain.

Satu hal lagi, saat akan berangkat, ternyata saya belum mengeprint tiketnya, kemudian hujan turun dengan derasnya, semua tas basah. Apalagi selama perjalanan naik Damri, sudah hampir dua jam tetapi bus baru mencapai Slipi. Lengkap sudah jantung ini berdetak ibarat drum di mainkan oleh band rock, bergantian, kanan-kiri atas-bawah. 

Akhirnya kami berangkat, dan sampai dengan selamat sampai tujuan. Sampai di Changi, Ibu saya kagum dengan bermacam bunga hidup di dalam gedung, tidak seperti Cengkareng yang memakai bunga dan tanaman plastik. What a shame, isn't it?

Perjalanan menuju hotel sungguh melelahkan, kami harus jalan hampir dua puluh menit, memang saya ini suka berjalan, tetapi di saat kondisi badan capai, bawa tas berat, silakan di interpretasikan sendiri. 

Semua terbayar sudah sampai di hotel. Yang pasti jauh dari gambaran Ibu. Namanya hostel, bukan hotel yang mewah apalagi berbintang itu. Yang ini isinya anak-anak muda dari seluruh dunia, dan hanya menghabiskan dua puluh dolar untuk menginap, biarlah sisa uang yang lain untuk tujuan lainnya. Saya suka sekali ide tersebut. 

Ibu begitu sampai hostel langsung tepar, istirahat di kasur yang kejatahan di dorm room, double decker bed, bagian atas. Ya, bagian atas saudara-saudara, Ibu saya harus naik dan turun tangga untuk melakukan kegiatan lainnya. Saya juga jadi tepar, saya lapar, saya ngantuk, saya mau tidur saja. 

Read Users' Comments (0)

Pelupa?

Beberapa jam yang lalu saya benar-benar dibuat pusing tujuh keliling. Kunci motor saya lenyap ketika hendak pulang dari sebuah Mal di Bogor. Saya cek satu per satu dalam tas saya, nihil. Kemudian saya coba bertanya pada petugas di tempat parkir, jawabannya sama. Akhirnya saya napak tilas. Saya ulangi perjalanan selama di dalam Mal. ATM, nihil. Salon, nihil. Toko Buku, nihil. Toilet, nihil. Dua kali saya berputar, dan selalu bertanya kepada petugas kebersihan, siapa tahu melihat dan mengamankan, hasilnya sama. Akhirnya saya di sarankan pergi ke sekuriti.

Setelah mengisi formulir dan di adakan tanya jawab prosedur standar saya di yakinkan untuk mencari kembali, ya mencari kembali, sembari petugas keamanan tersebut berkoordinasi dengan yang lain.

Akhirnya saya menyerah setelah berkali-kali berputar di jalur yang sama. Saya kembali ke tempat parkir dimana menurut saya merupakan tempat hilangnya kunci. Ternyata benar dugaan saya, salah seorang petugas kebersihan menyimpannya di loket penitipan barang setelah ditemukan. Saya sedikit janggal dengan petugas parkir yang sama sekali tidak membantu dan kesan yang saya tangkap saat petugas keamanan di parkir bertanya kepada seorang petugas kebersihan yang menemukan kunci tersebut. Datar, tanpa emosi. Saya merasa kalau saya di suruh berputar-putar untuk mencari dahulu sebagai pelajaran atas keteledoran saya.

Kejadian serupa sebenarnya bukan hanya tadi. Ada banyak kejadian yang sebenarnya sepele dan membuat saya kelimpungan. Saya jadi ingat Ibu saya yang memiliki kebiasaan serupa. Lupa naruh sesuatu, atau lupa akan sesuatu. Herannya saya memiliki ingatan yang kuat soal lokasi, pelajaran? dan hal-hal serius lainnya.

Saya pernah meninggalkan kunci motor masih menancap di motor. Saya sering kehilangan kartu parkir. Saya sering ketinggalan kunci rumah di kantor. Saya sering meninggalkan kantor tanpa mengunci loker saya terlebih dahulu. Saya sering tidak membawa dompet. Saya sering lupa meletakkan sesuatu. Hal seperti di atas terlalu sering saya lakukan Namun, tidak demikian dengan tugas kuliah, apalagi tugas kantor. 

Seperti saya tulis di atas. Ibu saya juga terlalu sering melakukan hal tersebut. Lupa letak kunci. Lupa akan dompetnya. Lupa akan perhiasannya. Dan banyak hal sepele lainnya.

Apa ini bisa disebut keteledoran? 

Saya belum tahu pasti. Melihat terlalu sering saya berhubungan dengan hal tersebut membuat saya semakin risau akan hari tua saya. Apa yang akan terjadi nanti?

Read Users' Comments (0)

Menjadi host

Kegiatan rutin saya begitu sampai di kamar tercinta setelah seharian bekerja adalah membuka netbook dan langsung online. Hari Minggu malam saya mendapat kiriman email di salah satu situs pertemanan, couchsurfing. Isinya sebuah pertanyaan tentang restaurant vegetarian di Bogor oleh kakak-beradik Marcin dan Adam Furtak dari Polandia. Segera saja saya respon dan menawarkan diri untuk bertemu dan menjadi host sesama rekan CS untuk yang pertama kali. Mereka pun dengan senang hati menerima ajakan saya.

Hari selasa siang mereka sampai di Bogor lewat stasiun dan kita bertiga pun langsung berjalan menyusuri Bogor yang saat itu mendung. Kesan pertama saya melihat mereka berdua adalah, mereka sangat terbuka. Kakak-beradik ini sungguh rukun dan saling melengkapi. Marcin sang kakak berusia 33 tahun, mempunyai seorang anak laki-laki berusia 14, dan bekerja serta tinggal di London, dia tidak mempunyai rambut di kepala, alias plontos, dan memiliki jenggot yang hampir mirip wedhus serta badannya penuh tattoo. Lain halnya dengan Adam. Dia berusia 30 tahun, tinggal di Polandia, dan berambut gimbal layaknya vokalis P.O.D. Marcin dan Adam saling melengkapi, dua-duanya bisa sahut menyahut dengan saya sambil terus berjalan membicarakan hal-hal seperti kebiasaan kita masing-masing, bagaimana perbedaan antara Indonesia, UK, dan Poland. Dan, tentu saja mereka berdua vegetarian. Cool!!!

Target pertama mereka adalah Gong Factory di daerah Pancasan. Awalnya saya tidak tahu daerah itu, dan beruntungnya saya setelah menghubungi salah satu rekan di kantor, akhirnya di kasih tau rute menuju kesananya. Berhubung letaknya agak melenceng dari jalur jalan kami, akhirnya kami sepakat untuk ke Kebun Raya dulu, melewati Katedral, dan Gereja Zebaoth, sampai akhirnya mereka mencicipi Rujak Bebek yang menurut mereka enak! apalagi setelah melihat pisang tanduk yang panjang dan besar itu, mereka takjub! Kalau sudah begini saya sungguh bangga menjadi orang Indonesia. 

Kebun Raya Bogor bagi Adam yang suka fotografi bak surga, banyak sekali objek tumbuhan yang bisa ia dapat, bunga teratai adalah yang paling di sukai. Lain halnya dengan Marcin yang lebih serius, dia lebih banyak ngobrol dengan saya, sementara Adam mencari objek, dan berbicara banyak hal terutama pandangan-pandangannya tentang Indonesia. Dan itu positif. hal yang baik juga bukan, tentunya?

Setelah puas dan kelelahan berkeliling Kebun Raya, tujuan selanjutnya adalah Vihara Dhanagung, dan disana mereka, terutama Marcin yang ternyata lebih paham tentang Buddha, sedikit mengeluarkan "self-defence" saat ada salah satu pengurus yang tiba-tiba numpang ngobrol dengan gaya sengaknya, berkacak pinggang, dan sotoy. Saya memilih minggir, dan Marcin tanggap, untuk kemudian segera saja kami keluar dari tempat itu.

Saat melewati pasar, mereka sangat senang, dan kami mengadakan piknik kecil sepanjang pasar, berinteraksi dengan para pedagang, memperkenalkan beberapa buah dan sayuran endemik Indonesia, dan mereka membeli beberapa buah dan pisau, yang menurut mereka murah banget! ya iyalah, 1 Pound kan 15 rebuan, bagaimana tidak murah? 

Satu hal yang menjadi ganjalan mereka bahwa sangat sulit mendapatkan pekerjaan di Poland, sampai akhirnya Marcin pindah ke London demi bisa menghidupi anak semata wayangnya. Dan tentu saja topik agama, dimana mereka, seperti kebanyakan, tidak percaya agama, menurut mereka agama hanyalah label. Apapun perkataan mereka bukan? dan lebih jauh lagi mereka memberitahu saya bahwa kalangan gereja di Poland sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sampai pemerintah yang akhirnya berujung pada ketidak tertarikan para pemuda terhadap gereja.

Tujuan terakhir akhirnya sampai di Gong Factory, dimana gong dan gamelan di buat. Sayangnya, perilaku para pengrajin sudah tahu uang, saya jadi kurang respek. Tetapi mereka sangat bangga bisa melihat proses pembuatan gong, karena sejak kecil Marcin sangat menyukainya.

Hal lain yang mereka suka dari Indonesia yaitu sifat ramahnya, oya? kemudian gemar menolong, dan kalau di foto tidak minta uang. Begi mereka yang sudah banyak berkeliling ke banyak negara, hanya Indonesia yang saat masyarakat setempat di foto tidak minta imbalan. Cukup di kasih liat hasil fotonya mereka sudah sangat senang. 

Bagaimana pun, acara menjadi host kali ini saya bilang lumayan, untuk seorang pemula seperti saya, dengan bahasa Inggris yang masih patah-patah, akhirnya saya bisa menjadi host untuk pertama kalinya. Mudah-mudahan ke depan bisa lebih baik lagi.

Read Users' Comments (0)

Fokus itu disiplin

Fokus. Sudah beberapa minggu saya mengalami gangguan dengan yang namanya fokus. Saat bekerja, pikiran melang-lang buana ingin nonton film komedi. Saat perkuliahan di kelas berlangsung, tiba-tiba saya membuka netbook dan facebook pun terbuka dengan indahnya. Saat pulang kantor, rencana bersih-bersih, tiba-tiba remote berteriak minta di pegang dan saya akhirnya cuma mandek di depan monitor televisi. Susah. Susah buat fokus dan mengerjakan sesuatu sesuai prioritas.

Pastinya hal ini tidak boleh berlangsung terus-menerus. Mulai saat ini saya harus punya rencana-bukannya yang kemarin lalu saya tidak memiliki rencana, hanya saja selalu kandas dalam implementasi- dan berani berkata HARUS pada diri sendiri. Intinya, saya harus disiplin untuk diri sendiri. Ayo. Saya pasti bisa.

Permasalahannya, saya memiliki semacam gangguan pada keteraturan. Saya tidak bisa melihat sesuatu yang tampak berantakan, tidak teratur, apalagi jauh dari kesan rapi. Banyak waktu saya terbuang untuk memikirkan hal lain saat seharusnya fokus dengan apa yang ada di depan mata saya. Sebagai contoh, hari kerja saya bangun sudah siang, jam 6.30, seharusnya saya bisa langsung mandi dan get-dressed kemudian langsung berangkat ke kantor. Nyatanya, saya melihat buku berserakan di depan televisi, saya melihat piring kotor, saya melihat debu di atas kulkas. Dan, gara-gara hal sepele yang seharusnya bukan menjadi prioritas saat itu, saya terlambat sampai di kantor. Puas? Geregetan itu namanya.

Disiplin. Sepertinya kata itu sungguh keramat buat saya. Saya bisa dengan mudah terganggu dengan hal yang tidak seharusnya. Saat saya harus mengerjakan tugas kuliah untuk di kumpulkan hari esoknya, saya bisa dengan santai menonton televisi, padahal, pikiran dan hati kecil saya meminta untuk berhenti menonton televisi dan kembali saja ke layar netbook sambil mengerjakan tugas, kenyataannya saya plin-plan, sebentar ke monitor televisi, sebentar-atau bisa dibilang sekilas, saya kembali ke monitor netbook. Sungguh sesuatu yang tidak produktif dan merugikan diri sendiri.

Oke. Oke. Jadi sekarang maunya apa?

Begini, ini baru hari ke-sembilan di tahun yang baru, saya tidak boleh begini terus-menerus. Saya harus melakukan resolusi, quick-action yang cukup memadai, tidak perlu yang muluk-muluk, yang penting implementasinya bisa jalan dengan baik. 

Bismillah. Mulai saat ini saya akan melakukan segala sesuatu dengan lebih baik, dan HARUS yang terbaik.

Baru beberapa waktu lalu saya membaca buku karangan Margaretha Astaman, after orchard. Buku itu bercerita bagaimana keadaan sosial warga negara Singapore yang dari luar terlihat memukau, pokoknya shiny-brighty begitu. Nyatanya, setelah saya membaca buku itu, saya baru tahu kalau mereka cenderung kaku, selalu diliputi perasaan cemas, dan hal lain yang membuat hari-harinya monoton, layaknya robot yang sudah terprogram. Lain halnya, disiplin warganya memang sudah ada sejak kecil, bahkan sejak orok. Masuk sekolah jam 10 saja, jam 6 sudah siap, amazing bukan? kalau saya sih, masuk kuliah jam 8, baru berangkat dari rumah jam 8.30, sampai kampus jam 9. Makanya saya jauh dari kata disiplin. 

Jadi kapan saya disiplin?

Baiklah. Mulai sekarang.

Stop!!!!

Kata "baiklah" menunjuk pada sesuatu yang tidak ikhlas, terkesan untuk menyenangkan diri sendiri, dan pasti hasilnya NIHIL.

Jadi?

Oke. Siap. Saya siap mulai berdisiplin dari sekarang!

Done!!!

Read Users' Comments (0)