Syahdan dalam cinta

Syahdan dalam cinta ada kalimat yang berbunyi "cinta tak harus memiliki" benarkah demikian? Entahlah, aku tak terlalu beruntung dalam hal itu. Aku juga tak mau terlalu dalam masuk dalam hal itu sampai saat ini. 

Bagaimana dengan "sempat memiliki", jangan tanyakan padaku. Aku tidak mahir dalam hal ini, coba tanyakan saja pada pemikat cinta. Pemangku cinta dan sebutan lain laiknya bintang terkenal yang memiliki sebutan lain.

Aku terlalu malu untuk menyebut diri sendiri tak banyak memiliki pengalaman dalam cinta. Setua ini, seumur ini. Bahkan anak sekolah dasar masa kini sudah mengenal kata cinta.

Well, pertama kali mengenal seorang gadis dan ingin berdekatan dengannya saat masa sekolah menengah pertama. Waktu itu acara porseni dan menginap di sekolah. Saat itulah aku berkenalan dengannya. Sebut saja inisialnya EP. Matanya sipit, walaupun dia bukan keturunan china. Awal perkenalan dengannya kami banyak saling meminjam catatan dengan diisi kertas atau surat pada saat mengembalikannya. Lucu sekali kalau mengingatnya. Apa daya beberapa saat kemudian, aku dengar dia menerima proposal cinta dari teman sekolah yang lain. Sampai kelas tiga, aku hanya bisa memendam perasaan kepadanya tanpa pernah mengutarakannya, walaupun aku tahu pasti dia tahu. Hampir sepuluh tahun setelah kelulusan aku menemuinya saat ia menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di kota gudeg. Hanya sebentar tanpa banyak percakapan. Ah, aku masih saja salah tingkah kalau di dekatnya.

Memasuki masa puber lebih dalam lagi, masa sekolah menengah atas, aku mengenal seorang gadis. Dia berbeda dengan yang lainnya, inisialnya DRA. Ya Tuhan, bahkan saat mengetik aku masih gemetar menyebut inisial namanya. Dia memiliki pendirian kuat, dan berani mengemukakan pendapat, tidak hanya berbicara di belakang. Sampai kelulusan aku hanya diam tak berani melakukan apapun. Hanya percakapan ringan, dan tatapan dari kejauhan. Aku masih kerap menghubunginya setelah lulus. Aku merasakan sakit saat ia memberitahukan rencana pernikahannya. Entahlah, kami tidak ada komitmen apapun, aku tidak seharusnya begitu. 

Aku terlalu pengecut. Takut untuk ditolak. Apapun sebutannya.

Saat ini, entahlah, aku masih berusaha menyelesaikan studiku. Berharap dalam perjalanannya kemudian menemukan cinta, bukan hanya cinta yang tak bisa memiliki atau sempat memiliki, tetapi cinta yang utuh. Semoga.

Read Users' Comments (0)

Wali

Tak terasa waktu berlalu cepat, hari ini adalah hari ke-26 di bulan Januari, di tahun yang baru, tahun 2012. Terlalu banyak alasan yang akan ku kemukakan mengapa tidak ada goresan disini. Alasan sibu itu basi, tidak punya waktu apalagi, bullshit! Entah lah, aku suka mati gaya dan tangan sepertinya enggan untuk mengetik begitu masuk ke laman ini. Pikiran tiba-tiba blank, tidak tahu apalagi yang akan ditulis.

Mengawali hari di tahun baru, kakakku nomor 4 melangsungkan perkawinan untuk yang ke-3 kalinya. Luar biasa memang. Perkawinan sebelumnya kandas di tengah jalan, dengan permasalahan yang pada dasarnya sama. Wanita lain. Kakakku sendiri bisa kulihat sebagai orang yang sangat memanjakan pasangannya, seringkali aku, dan saudara yang lain, bahkan ibu bapakku jengah melihat begitu telatennya kakakku memanjakan suaminya dahulu, mungkinkah faktor kedewasaan dari suami terdahulu yang masih premature atau sebab lain entahlah, hanya saja aku melihat itu berlebihan. Memang, seorang istri wajib melayani suami dalam banyak hal, akan tetapi kalau sampai membujuk suami untuk makan karena suami merajuk itu tindakan yang luar biasa. Luar biasa, entahlah dalam hal baik atau buruk. Yang pasti kakak yang satu ini menganggapnya baik.

Dalam acara akad nikah yang akhirnya di selenggarakan di masjid-bukan di rumah seperti rencana awal, mengingat keluarga besar yang datang melebihi kapasitas, aku bertindak sebagai wali. Ya Tuhan! Sungguh pengalaman pertama dan walaupun akhirnya aku memberi mandat kepada penghulu untuk menikahkan kakakku, tetap saja perasaanku tak karuan. Aku membayangkan, bagaimana kalau nanti aku yang mengucapkan kalimat akad-nikah itu?

Sungguh pun aku masygul dengan rencana perkawinan tersebut, aku akhirnya tetap datang. Saat kakak mengutarakan untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, aku ragu, buatku, kakakku belum sembuh dari rasa sakit akibat putus dengan kekasih yang hampir 8 tahun menemaninya. Hemat pikiranku, ia seharusnya menata terlebih dahulu urusannya, dalam segala hal, mulai dari ekonomi sampai keluarga dimana ia juga sudah memiliki putra yang sedang duduk di bangku sekolah menengah. Atau kembali saja ke kekasih lamanya, buatku, kekasih lamanya lebih banyak memberi pengaruh positif, dalam hal etika, pakaian, wawasan, dan banyak hal lain yang mungkin susah untuk di dapatkan. Hanya saja memang, keluarga besar kekasihnya tidak begitu setuju. Bisa aku bayangkan, aku menikah, tetapi tidak pernah dianggap masuk dalam keluarga besar? bukan pernikahan itu namanya. Hanya satu alasan, "aku semakin tua, aku juga ingin memiliki anak lagi dan berkeluarga". Jelas sekali alasannya, dan aku tidak bisa menolak apalagi memberi tanggapan. 

Mudah-mudahan perkawinan kali ini bisa langgeng, dan dipenuhi dengan berkah dan karunia.

Selamat menempuh hidup baru dan tahun baru kak.

Read Users' Comments (0)