Pasar Malam

Bianglala, magnet Pasar Malam
Dalam sebuah kegalauan aku berjalan dari stasiun kereta menuju arah pulang. Riuhnya stasiun makin bertambah saat memasuki area pasar, dengan kondisi becek dan bau sengak ditambah suara hiruk-pikuk tawar menawar semakin memberi kesan hidup. 

Dalam hitungan langkah aku sudah berada di depan lapangan luas dengan suasana berbeda, sebuah Pasar Malam. 

Seketika aku kembali ke masa lalu dimana aku adalah seorang anak desa yang lugu yang taunya hanya mainan dan kesenangan. Kala itu desa tempat aku dibesarkan kedatangan tamu. Bapakku yang masih menjabat sebagai Kepala Desa menerima rombongan tersebut saat berada di rumah. Kebiasaan saat aku kecil, aku mengintip mencuri dengar kira-kira apa yang sedang diperbincangkan, sesekali Bapak tau apa yang kulakukan, seperti saat ada tamu tersebut. Kalau sudah begitu, biasanya aku diperkenalkan kepada para tamu dan diminta duduk bersama dengan mereka, ini adalah kesempatanku untuk mencari tahu lebih dalam lagi kira-kira apa isi perbincangan itu.

Saat mereka menyampaikan maksud kedatangannya, saat itu aku langsung riang bukan kepalang, bahkan salah seorang tamu langsung menawariku tiket masuk wahana non-stop tanpa bayaran. Saat itu yang ada di otakku hanya riang, riang dan riang. Aku menyebarkan kabar kepada teman-teman bahwa akan ada Pasar Malam dan aku mendapatkan tiket gratis sampai selesai yang tentu saja membuat gumaman iri dari mereka.

Pasar Malam diselenggarakan selama sebulan penuh, hampir tiap malam aku berkesempatan untuk naik berbagai wahana. Dari penyelenggaraan itu aku tahu banyak bahwa Pasar Malam bisa berarti tangisan anak-anak, senda-gurau, kegalauan orang tua yang tidak memiliki cukup uang, mainan, benih-benih asmara, sampai kepada perkelahian antar pemuda. 

Dari banyak hal itu, yang membuat aku ingat sampai saat ini adalah saat aku merengek dan menangis sejadi-jadinya karena urung dibelikan mainan berupa pemancingan ikan. Saat itu aku berumur 7 tahun dan aku suka ikan. Saat memasuki Pasar Malam tiba-tiba aku melihat sebuah mainan yang sungguh luar biasa menarik, satu set kolam berisi ikan dan alat pancing, bisa berputar lagi. Lama sekali aku mengagumi mainan itu sampai saat jam tutup aku masih duduk di depan konter mainan. Ibu Bapakku sudah meminta aku pulang tetapi aku menolak kalau tidak membawa mainan itu. Orang tua ku menolak dengan alasan terlalu mahal, waktu itu harganya lima ribu rupiah, cukup mahal memang karena hadiah juara kelasku saja senilai itu dan saat pulang dari pasar aku bisa mendapatkan sebuah sepatu dan beli es krim. Aku menangis cukup lama dan akhirnya Bapakku mengalah membelikan aku mainan itu. Terima kasih Bapak. Sungguh segalak-galaknya Bapak, beliau selalu menuruti permintaanku.

Kembali ke Pasar Malam ini rasanya seketika kenangan itu muncul, aku luangkan waktu untuk berkeliling melihat situasi, memang kondisinya berbeda dengan jaman dahulu, tetapi warna hidupnya tetap ada. Aku malu saat mengingat peristiwa memalukan itu. Sungguh aku baru menyadari kalau semasa kecil aku juara merajuk.

Seketika ku melangkah pergi meninggalkan Pasar Malam yang semakin malam semakin ramai dikunjungi remaja.

Read Users' Comments (1)komentar