(terdampar sampai di) Semarang: Pesona Asia

Yang namanya rencana memang bukan kita mahluk fana ini yang menentukan, sudah sering terjadi, sudah sering bertatap, namun namanya manusia tetap saja bengal. Ini ceritanya saat kami sekelompok manusia yang mengharapkan liburan indah di Kepulauan Karimunjawa, ujung utara kabupaten Jepara tiba-tiba kandas oleh cuaca yang tidak bersahabat, dan Semarang yang memiliki slogan Pesona Asia akhirnya menjadi tempat penampungan kami.
(2) Sepeda Riang di Simpang Lima
Saya sendiri masih ingat bagaimana keadaan Semarang saat terakhir berkunjung, waktu itu di ujung tahun 2003. Semarang sebagaimana sewaktu kecil saya biasa ikut orang tua untuk memasok buah ke Pasar Johar atau sekedar membeli mesin diesel adalah kota yang jauh dari nyaman, kotanya sumpek, becek, banjir, panas, tumplek-blek jadi satu. Bagian menyenangkan dari Semarang saat itu adalah makan soto khas Semarang di Pasar Johar, masuk ke agen koran dan toko buku, melewatkan subuh di Gombel sambil melihat pernak-pernik lampu kota dan Matahari di kawasan Simpang Lima. 

Kenangan tentang Semarang mulai terkisis saat kaki menapak di
(1) Stasiun Tawang, aroma yang tercium berbeda, bersih (toiletnya juga), nyaman. Saat kendaraan yang membawa kami keluar dari stasiun melewati sedikit bagian dari kota lama pun atmosfernya, ada con-block di sana. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia setelah Semarang Gudang, diresmikan tanggal 19 Juli 1868. Stasiun ini mempunyai keunikan yaitu saat Musim Kemarau ketinggian stasiun mencapai 2 mdpl, namun saat Musim Hujan menjadi 0 mdpl yang berakibat naiknya air rob. Keunikan lain (yang tidak saya dengar) adalah diputarnya lagu Gambang Semarang setiap kereta masuk ke stasiun.
(4) Air Mancur di Tugu Muda

Setelah melahap santap siang di kedai yang memberi porsi jumbo namun nyaman di kantong dan bergerak mencari tempat bernaung, kawasan (2) Simpang Lima adalah tujuan kami untuk menghabiskan waktu, kawasan yang (mungkin) paling di kenal di Semarang ini terlihat cantik di malam hari, deretan pedagang kaki lima tertata apik di seputar kawasan, di tengahnya sendiri, warga menikmati malam minggu dengan menyewa sepeda berlampu warna-warni yang menarik hati, bermain sepatu roda atau hanya sekedar duduk ngobrol.

Saat menuju (3) Gombel, kami melewati Jalan Pahlawan yang berhias pedestarian super luas, rasanya senang sekali melihat muda-mudi menghabiskan waktu disana. Kapan Bogor menyusul? nggak perlu lah itu setiap tahun trotoar di ganti surfacenya, cukup beri trotoar yang lega dan nyaman. Gombel adalah bagian dari kota atas yang berbukit, di sana kita bisa melihat kota bawah bermandi cahaya kerlap-kerlip. 
(6) Salah satu sudut kota lama

Pagi hari berikutnya, beberapa dari kami memutuskan untuk berjalan menuju kawasan
(4) Tugu Muda, salah satu landmark penting sebagai penanda perlawanan lima hari saat perjuangan melawan penjajah dahulu. Tugu Muda berbentuk seperti lilin yang mengandung makna semangat juang para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan tidak akan pernah padam. Tugu Muda berbentuk segi lima yang terdiri dari tiga bagian yaitu landasan, badan dan kepala. Pada landasan terdapat relief yang menggambarkan keadaan Semarang sejak jaman penjajahan sampai kepada para pejuang yang gugur dalam pertempuran lima hari.

Selain Tugu Muda, di kawasan ini terlihat aneka bangunan 
art-deco peninggalan kolonial dengan (5) Lawang Sewu yang paling menonjol. Selain Lawang Sewu yang sebenarnya merupakan kiasan gedung berpintu banyak, terdapat pula Gedung Pandanaran, Rumah Dinas Gubernur, Museum Mandala Sakti, dan Katedral Semarang. 
(8) Pagoda Avalokitesvara

Semarang merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang memegang peranan penting dalam perkembangan bangsa Indonesia, hal ini dapat di lihat dari banyaknya gedung bersejarah yang masuk ke dalam daftar bangunan kuno yang patut di lindungi yang saat ini mencapai 102 unit. Apabila kita masuk ke kawasan (6) Kota Lama Semarang, pemandangan pertama yang akan kita jumpai adalah alas jalan yang di bangun menggunakan con-block, selain itu mata kita akan di suguhi bangunan art-deco bercat putih atau warna pastel lainnya.

Nah, selain di atas, Semarang juga merupakan awal mula perkembangan agama kristen di Indonesia, warga pribumi yang pertama kali di mandikan adalah putri dari Resident Blora yang menikah dengan seorang bangsawan Belanda. Tidak salah kalau di sana sini banyak terlihat gereja yang sudah ada sejak jaman penjajahan. Namun demikian, saat ini juga banyak di bangun tempat ibadah lain yang mengundang decak kagum, seperti (7) Masjid Agung Jawa Tengah, dan (8) Pagoda Avalokitesvara.

Mengunjungi sebuah kota tentu tidak lepas dari makanan khas, dan Semarang juga juara untuk masalah makanan. Ada Bandeng Presto, kemudian Wingko Babad yang melegenda, ada Soto Bangkong yang dinikmati dengan aneka sate, dan yang tak kalah lezatnya adalah Lunpia seperti terpampang di akhir tulisan ini. Terlihat menggoda bukan? Nah, memang tidak salah rupanya sampai terdampar di Semarang.
Lunpia

Read Users' Comments (0)