Gunung Papandayan: Elegi sebuah langkah awal

Dalam balutan kantung tidur saya tegakan tubuh dan segera menyapu sekeliling. Sepi. Saya bergerak malas beringsut ke sebelah kanan mendekat tali penutup tenda. Seperti linglung langsung saya tarik tali pengikat dan segera saja hawa dingin menyerang sampai ke tulang, angin yang masuk membawa tetesan air, kabut pekat terhampar di hadapan, luas menyelimuti hamparan padang yang sekilas tampak seperti dunia lain. Dunia pekat dimana hanya ada kabut dan samar.

Lain cerita seandainya pagi yang datang membuka hari ini di iringi tawa riang burung-burung prenjak. Di ufuk timur semburat kemerahan sebuah mega menuntun matahari memberi cahaya keemasan dan kehangatan bagi para penikmat pagi. Gurauan ringan, bunyi sesapan kopi atau teh yang hangat memasuki kerongkongan, bahkan decakan kagum akan panorama indahnya sebuah pagi menambah tebal akan iman seseorang pada sang pencipta.

Ah, hanya saja itu sebuah angan. Dengan enggan saya kembali masuk ke dalam kantung tidur. Di sebelah kiri saya, tiga orang kawan masih terbuai akan indahnya mimpi sebuah pagi yang cerah yang akan membawa mereka pada keriaan. Mungkin mereka sudah terbangun sebelum saya dan kembali memasuki hangatnya kantung tidur saat menyadari kenyataan akan pekatnya kabut dan dinginnya angin di luar.
Panorama Gunung Papandayan

Saya nikmati keheningan dengan sesekali desau angin membelai tenda menimbulkan bunyi-bunyian memberi kesan syahdu. Saya kembali terbaring dan berusaha mengingat bahwa ini adalah pengalaman pertama. Lahir dan besar di lingkungan dusun yang di kelilingi oleh perbukitan, hutan, persawahan dan sungai tidak menjamin saya lantas menjadi penikmat alam dalam sekejap. Saya menikmati alur prosesnya yang lambat.

Sepanjang perjalanan yang saya nikmati sehari sebelumnya saya benar-benar mabuk kepayang. Mabuk pada panorama yang menggoda. Mabuk akan sengatan asap sulfat dari perut bumi dan bibir kawah yang tak henti bergejolak. Mabuk pada kegairahan. Mabuk pada segala tetek-bengek nggak penting kalau saya akhirnya berjalan di jalan ini menuju sebuah puncak gunung.

Saya ingat bagaimana terjalnya jalan menuju pos pendakian pertama. Mobil pick-up pengangkut rombongan terombang-ambing ganasnya jalanan aspal yang bopeng di mana-mana, sering kali tangan ini seperti merekat pada tepian bak mobil dan ucapan doa keselamatan selalu keluar begitu ban mobil menghantam batuan yang tidak rata. Hanya kepulan asap sulfatara di kejauhan dan hijaunya dedaunan yang selalu menguatkan saya. 

Hutan Mati
Masih dalam kungkungan tenda saya masygul saat mengingat bagaimana eloknya hutan mati, sebuah elegi mengingat besarnya kekuatan alam dengan mudah saja meluluh-lantakan apa saja yang mau di binasakan. Elegi ini memberi kesan mistis saat kabut dengan perlahan turun menyentuh tanah, memberi nuansa sakral saat hitamnya kayu tersentuh kabut yang berwarna putih. Sungguh kesan ini membuat saya menginginkan waktu yang lebih panjang untuk sekedar hanyut atau bercengkerama dalam hitam putihnya.

Kesan mistis tiba-tiba lenyap saat sekumpulan bebunyian burung menyapa saya saat kaki tiba-tiba berkecipak dalam aliran selokan kecil. Sebuah lembah penuh warna-warni bunga edelweiss. Dari yang masih hijau, mulai kuncup dan tua saling mengisi. Dari kejauhan tampak harmonisasi warna tenda memberi kesan modern dalam agungnya alam. Rumput-rumput liar berkumpul di sepanjang aliran sungai. Satu-dua rumpun edelweiss berada tidak jauh dari rimbunan pepohonan memberi tanda akan kekuasaan wilayah masing-masing.

Saat lamunan terbang menerawang, tiba-tiba sekumpulan tanah menyerupai rimbunan jamur aneka rupa memberi kejutan. Ada yang seperti jamur merang, jamur kancing, sampai berbentuk istana megah seolah-olah memang benar terdapat sebuah istana dan aneka rupa jamur adalah tempat tinggal rakyatnya yang setia.

Istana aneka rupa
Lamunan dan pikiran saya langsung terbebas saat sejenak terdengar teriakan di luar. Suara cekakak-cekikik diselingi teriakan laiknya sebuah permainan. Ah, apakah kabut di luar sudah beranjak dan matahari menggantikannya?

Read Users' Comments (0)

Gunung Prau: sebuah perjalanan, kenangan dan pencarian

"Traveling- It leaves you speechless, then turns you into a storyteller" - Ibn Battuta

Dalam temaram senja saya berjalan mendaki setapak demi setapak. Dengan rupa merah sesekali diselingi undakan dan selokan licin, jalanan ini menuju puncak Gunung Prau. Saya bersama sekelompok teman yang menamakan Petualang 24 dengan tegap menatap cakrawala yang bergerak kelam.

Sudah berapa kali saya mengaduh, menahan nafas yang memburu, dan menyeka peluh. Perjalanan ini bukannya tanpa akhir, dalam balutan adzan dan pujian dari ribuan masjid dan surau di bawah, saya terus bergerak merangsek naik ke atas mengabaikan dengungan serangga kecil, batu kerikil, dan beban di punggung demi rimbunan bunga daisy liar dan perayaan Petualang 24 ke-2.

Senja kali ini memang beda, kungkungan cuaca yang semakin dingin tidak berarti begitu sudut mata menatap ujung cakrawala menyajikan semburat jingga-kemerahan. Kesan mistis dan sendiri terobati saat terlihat titik-titik kecil beraneka warna cerah punggung rekan seperjalanan.

Saya ingat saat menatap hamparan peta Wonosobo di belakang meja kerja bapak sewaktu kecil. Gunung Prau hanya berupa segitiga kecil berwarna hitam di sudut utara, berbatasan dengan Temanggung, Kendal, dan Batang. Setiap pergi ke Dieng tak lupa saya selalu mencari lokasi dimana letak gunung itu berada, hasilnya nihil, yang ada perbukitan. Apakah gunung itu hilang?

Saat satu kenangan muncul, ribuan kenangan lain melesat bak anak panah. Seperti kenangan bahwa saya tidak suka ke Dieng karena bau sedap dan jalan nanjak berlikunya yang membuat saya mabok. Kenangan saat kencing di celana dan ngumpet di rimbunan petak teh belakang gudang tempat bulik saya bekerja sebagai pemetik teh, dan kenangan nggak mau bersalaman dengan bocah berambut gimbal, berkudis dan ingusan, sampai di kejar banyak-soang. Semua muncul tak terkendali dengan sunggingan senyum di setiap akhirnya.

Dan kenangan itu kembali tenggelam dalam riuhnya sorak-sorai canda-tawa dan gegap-gempita saat kaki-kaki lelah menapak puncak dan akhirnya berakhir dalam balutan tipis kantong tidur penghalau dingin.

Sahabat saya berujar, “kalau mau menikmati salah satu keagungan Tuhan, cobalah tengok saat matahari terbit dari puncak gunung, sungguh tiada terkira”, dan pagi ini saya kembali membuktikan ujarnya. Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, diiringi arakan awan, ditemani citra megah Sindoro Sumbing di sisi selatan, dan barisan bukti serupa bukit teletubbies, serupa negeri di atas awan. Allahu Akbar!!!, Allah Maha Besar!!!


Seiring hilangnya embun dan parodi pagi, keakraban di satukan, keceriaan di megahkan, dan kebanggaan di tahtakan, itulah inti perayaan Petualang 24 ke-2. Dari hampa menjadi sapa, dan dari senyum menjadi tawa.

Semilir angin saat perjalanan pulang, di hamparan padang bunga daisy liar, ratusan langkah mengayun ringan, sesekali siul, decakan kagum dan jepretan kamera memberikan nuansanya. Saya sungguh menikmati momen ini, damai seperti sedang masuk ke dalam cerita anak-anak di pegunungan alpen, Heidi. Atau sembunyi-sembunyi saat memasuki sebuah taman rahasia di balik kastil megah Misselthwaite Manor di Yorkshire tempat bermain Mary Lennox dan Dickon dalam buku Secret Garden. Atau yang paling ektrem, membayangkan Maria dan Kapten von Trapp dalam The Sound of Music.


Namun, apapun bentuk kenangan itu, maksud perjalanan itu, pencarian itu, semua kembali pada satu jiwa yang tenang.

Read Users' Comments (0)