Aku dan sepedaku
Aku kenal sepeda sudah agak besar, mungkin kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar, telat memang, waktu itu berbekal pinjam dari tetangga, aku mulai belajar naik sepeda mini, yah, dengan tubuhku yang sudah bongsor untuk ukuran sepeda mini, aku mulai mengayuh, sedikit demi sedikit, dan berteriak histeris ketika bisa jalan beberapa meter, begitu seterusnya. Dalam tempo singkat aku bisa mengendarai sebuah sepeda. Drama pun dimulai, aku merengek minta dibelikan sepeda kepada Ayahku, bekas pun tak apalah. Akhirnya hari yang ditunggu itu tiba, aku dapat sepeda bekas, lumayan. Hari-hariku kugunakan untuk terus mengendarainya.
Dan memang, sepeda pun ada musimnya, saat musim sepeda tiba, kami-aku dan beberapa anak di lingkungan rumahku beramai-ramai mengendarai sepeda menuju tempat-tempat yang sama sekali asing buatku, menyusuri saluran irigasi yang sampai tembus ke beberapa desa sebelah, yang pulangnya sampai hampir senja, sampai ke hutan di sebelah utara desaku, waktu itu sedang terjadi perambahan hutan, hutan tapi berasa pasar malam. Bunyi desing mesin bersahutan, sampai terjadi pembakaran juga. Ada dua perasaan yang aku alami waktu itu, pertama adalah perasaan senang karena di hutan tidak sepi seperti biasanya; dan yang kedua adalah perasaan tidak senang karena menjadi panas, dan kesan spooky di hutan menjadi tidak ada.
Belum pernah aku dapat sepeda baru, dari beberapa kali ganti sepeda, selalu yang bekas pakai. Pertama yaitu sepeda BMX biasa, yang menurutku menjadi terlalu kecil, tidak sesuai ukuran badanku. Kemudian ditukar-tambah dengan sepeda bekas juga, yang ini model polygon, tapi bukan polygon, sepeda merk itu sepertinya hanya bisa aku lihat di iklan TV tanpa pernah mampir di lingkunganku, apalagi menjadi milikku. Yang paling aku ingat adalah sepeda model ibu-ibu yang buat belanja ke pasar, sepeda itu ditukar dengan tetanggaku yang menginginkan sepeda model polygon, yang menurutku sadelnya terlalu tinggi sehingga aku sampai jinjit buat mengayuh.
Sampai setua ini aku jarang menggunakan sepeda lagi, mungkin kebiasaan itu hilang sejak ngekos di Purwokerto. Oh ya, ada pengalaman menarik sewaktu ngekos disana, aku sempat beberapa kali meminjam sepeda dari kawan yang kebetulan mempergunakan sepeda sebagai alat bepergian. Waktu itu sepeda pun sangatlah aji, kita sampai mendewakan, dan berebut meminjam.
Ceritanya begini, saat itu belum genaplah sebulan aku tinggal di kota itu, di kosku ada sepeda BMX yang sesuai ukuranku, aku meminjamnya dengan dalih mau ke alun-alun. Perjalanan dimulai setelah ashar, aku kayuh terus sepeda sambil mengenal suasana kota itu, kayuh kayuh kayuh terus sampai alun-alun, sesampainya disana aku istirahat sebentar dan meneruskan perjalanan. Saat ada pertigaan, aku nekat lurus, seharusnya belok kiri, begitu lurus aku kayuh terus kok ndak sampai-sampai kos ya. Terus sampai aku menemukan sebuah plang bertuliskan, Jakarta-Tegal; Cilacap-Bandung; dan Banyumas-Yogyakarta. Ya Tuhan! daerah mana ini? aku sampai mandi peluh naik turun jalanan medan itu, melewati beberapa rel kereta api, hari menjelang gelap, aku was-was, takut!
Sejak kejadian itu akhirnya aku hanya meminjam sepeda dengan tujuan jelas seperti, supermarket; daerah Unsoed-mencari warnet-dan rental komputer; alun-alun; dan kos-kosan kawan. Pengalaman itu tidak aku ceritakan sewaktu sampai di kos, aku hanya di tanya dari mana kok sampai malam baru sampai, aku jawab di alun-alun ada senam, cerita yang aku buat-buat untuk menutupi rasa cemasku tadi. Sampai sekarang aku masih suka tersenyum kalau melewati kota itu, apalagi pas melewati jalanan naik turun itu.
0 Response to "Aku dan sepedaku"
Posting Komentar