Hilang Lana-ku
Hujan baru saja reda saat aku sampai di stasiun lama ini, stasiun yang selalu tampak kotor itu menjadi semakin terlihat kusam setelah tersiram air hujan. Disini aku punya cerita. Aku punya seorang teman.
Namanya Lana, gadis belia berusia tidak lebih dari lima belas tahun. Aku mengenalnya pertama kali saat sedang duduk menunggu kereta di stasiun lama. Ia sedang duduk di pojokan kala itu, matanya kuyu, tatapannya nanar seolah menahan sesuatu untuk ditumpahkan. Beberapa kali ia terlihat gusar. Aku memperhatikannya. Sampai keretaku lewat, aku tetap duduk memperhatikannya. Ia telah menarik perhatianku.
Sampai hampir satu babak dalam lakon drama, aku terus memperhatikannya. Ia tak banyak bergerak, sesekali menggigiti kukunya, sambil terus menatap nanar, bolak-balik kosong kekiri dan kekanan. Kurapatkan posisi dudukku, aku geser mendekatinya, ia diam tak bergeming, seolah membiarkan atau memang tak tahu kalau seseorang disebelahnya sedari tadi terus memperhatikannya, ingin tahu apa yang ada dalam dirinya. Lama tak bergerak, akhirnya ku ulurkan tangan, ia tak kaget. Ia menerima uluran tanganku dan membalasnya. Ia hanya diam, kami bersalaman. Aku menyebutkan namaku, ia pun kemudian menyebut sebuah nama yang menurutku tidak biasa, Lana.
Sampai lima menit kami diam, ia tetap seperti sebelumnya.
Aku coba bertanya, ia pun menjawab sekenanya, layaknya narapidana. Aku kemudian meyimpulkan sendiri apa yang sedang dirasakannya, ia kesepian, ibunya terlalu miskin untuk bisa membelikannya mainan yang bermacam-macam, ayahnya terlalu kasar untuk bisa membelainya seperti seorang putri raja. Ia dituntut macam-macam, terlalu besar tanggung jawabnya untuk seorang anak seusianya. Ia kesepian, ia jarang berbicara dengan ayah ibunya, ia jarang berbicara dengan orang lain. Ia hanya punya teman satu, yang diberi nama Pion. Sebuah gantungan kunci berbentuk boneka yang menyerupai pion dalam permainan catur. Ia tak sekolah, ia hanya sekedar bisa baca dan tulis, tak layaknya anak seusianya yang sedang bungah-bungahnya dibangku sekolah, memulai pubertasnya mengenal lawan jenis dan lainnya.
Ia punya cita-cita menjadi penulis cerita, ia banyak bercerita pada pohon, pada jalanan, pada makanan yang sesekali ia muntahkan, dan tentunya pada Pion teman satu-satunya.
Aku tahu rutinitasnya, ia akan berada di stasiun ini pukul 4 sore, menunggu orang-orang bubaran kantor dan menjajakan dagangannya kalau belum habis. Kalau sudah habis, ia hanya akan diam duduk di pojokan sambil menatap nanar orang-orang dan sesuatu di sekitarnya sampai senja datang, saat ia akan berjalan pulang ke rumah reyotnya tak jauh dari stasiun.
Hari hampir senja tapi aku tak menemukan dirinya. Ia biasa duduk di peron dimana Kereta AC berhenti, ia berujar, penumpangnya baik, bersih, dan ramah, apalagi jualannya selalu habis kalau disini. Berbeda kalau di peron lain dimana ia hanya akan mendengar kata makian dan hal biasa barang dagangannya akan diminta paksa oleh orang-orang yang mengaku memiliki peron tersebut. Kalau sudah begitu ia akan balas memaki dan berteriak.
Kembali ke Lana, hari sudah senja. Aku tetap tak menemukannya. Aku kembali keesokan harinya, terus dan terus lagi. Mendengar ia bercerita dengan Pion membuatku seolah menemukan oase atas apa yang aku rasakan saat ini. Sesuatu yang berbeda yang tidak monoton. Sudah hari ke-tiga aku mencarinya, ia masih nihil.
Kembali aku duduk, seperti biasa, sambil sesekali memperhatikan perilaku orang di stasiun. Aku kehilangan Lana.
0 Response to "Hilang Lana-ku"
Posting Komentar