Titip rindu buat Ayah tercinta

Sore tadi dalam perjalanan ke kampus, dengan commuter line yang penuh, saya melihat seorang bapak tua dengan baju batiknya. Dia duduk di deretan seberang saya. Dengan sisa air hujan temperasan diluar, dia duduk memandang ke depan dengan tatapan hampir kosong. Matanya sayu, wajahnya tirus. Sekelebat saya jadi ingat almarhum ayah saya-atau saya biasa menyebut beliau bapak. 

Beberapa hari ini sekilas dan dengan cepat kilat saya seperti melihat bayangan bapak saya. Beliau hadir. Saat saya di kantor, beliau seperti lewat di depan saya. Saat saya di kereta, beliau seperti duduk di pojokan. Saat saya makan di kantin, beliau seperti sedang mengajak saya ngobrol. Saat di kamar pun, hawa beliau sepertinya ada. Bapak, aku kangen.

Saat membuat tulisan ini, saya masih berkaca-kaca. Sambil menahan haru dan tangis, saya coba ungkapkan apa yang ada dalam hati saya, dalam pikiran saya. 

Kemarin malam nisfu sya'ban, dalam beberapa hari ke depan, ramadhan datang. Apakah beliau berkunjung dan menengok saya. Bapak, apa kabarmu? Saya baik-baik saja disini. Hanya masalah kecil datang silih berganti, mulai dari dapur bocor, bangun kesiangan-pasti bapak sudah tahu kebiasaan yang satu ini-yang menyebabkan saya terlambat masuk kantor, sering pusing kepala, ga punya pacar-jangan diperdebat lagi ya pak, nanti juga dapat yang pas buat saya. Kuliah saya lancar pak, hari ini kebetulan hari terakhir ujian akhir semester 6, insya Allah dua semester lagi lulus. Bapak mungkin masih ingat saat mengantarkan saya pertama kali ke Jurangmangu. Saya malu pak. Saya minta maaf ke bapak ya, kalau nggak ada bapak waktu itu, mungkin saya sudah di palak sama preman. Kerjaan juga lancar pak, saya dapat bos baru, orangnya baik, cara kerjanya menginspirasi saya supaya terus maju, risikonya saya pulang lebih lama dari teman-teman yang lain.

Maaf ya pak, saya sering kurang ngasih kado buat bapak, saya terlalu cinta dunia. Doa buat bapak sering hanya numpang lewat sekejap. Dalam beberapa malam yang khidmat pun, saat saya terbangun, selepas melantunkan ayat Allah, saya terkantuk-kantuk membaca surat yasin buatmu.

Kemarin saya lihat acara rohani di teve. Saat bulan rajab menurut penceramah disana, orang-orang meninggal berkunjung ke dunia, ke istri-anak-sanak-keluarga-handai-taulan, meminta kado, meminta doa untuknya, betapa mereka di alam kubur tersiksa, kekurangan kiriman dari yang di dunia. Masya Allah, bapak, maafkan anakmu ini. 

Sambil terus menahan isak, saya terus kenang beragam dan bermacam memori bersama beliau. Mengingat kejadian, betapa sayangnya, betapa berapi-api dan semangatnya beliau saat menceritakan tentang saya kepada orang lain. Bapak, sayangku juga besar buatmu. Kamu telah menanamkan sesuatu yang sampai saya pergi dari dunia ini pun akan selalu saya bawa.

Oh, Tuhan.... lebay rasanya terus mengetik tulisan ini, saya sudah hampir tak mampu menggerakan jari. Bapak, ketahuilah, menjelang ramadhan ini, betapa jiwamu sungguh hilir-mudik di sekitar saya, bagaimana saya seperti diingatkan, dan benar, saya memang sedang diingatkan.

---------------------------------
----------------
Cukup saja sekarang ini, saya mau mandi dan mengirim kado buat beliau.

*sesorean mewek sepanjang kereta
**judul saya ambil dari lagunya Ebiet G. Ade

Read Users' Comments (1)komentar

Suatu saat di Kuta, Bali*)

Dengan setengah berlari, saya langsung menuju bunyi ombak di depan, taksi yang mengantar saya masih dalam jarak kejar, malam ini jam menunjukan angka 9, lalu lintas di jalanan seputar kuta masih ramai, cenderung merayap. 

Ombak pantai kuta masih terus berkejaran malam ini, suasana pantai ramai, muda-mudi duduk berpasangan, sepasang pengantin baru berangkulan berjalan tanpa alas di bibir pantai, sekelompok remaja membentuk lingkaran sambil menyunggingkan senyum dan menebarkan tawa. Suasana malam ini cukup mendukung. Bulan separo berpendar terang dihiasi kerlap-kerlip bintang, laut membawa deburan ombak, camar dan hembusan angin. Saya langsung melempar tas ransel dan selempang ke pasir, saya lepas sepatu dan kaos kaki, dengan kecepatan angin langsung saya jatuhkan badan ke pasir. Keras.

Pantai kuta, dengan segala aktifitas di dalamnya, dengan isu pudarnya kemolekan dan permasalahan sampah kiriman beberapa saat lalu, bagi saya, saat ini memiliki aura tersendiri. Melalui Andre Hehanusa saya pertama kali mengenal nama ini. Alunan merdu suara, dipadu dengan lirik yang sederhana, ditemani musik yang cukup melankolis, menghasilkan sesuatu yang menurut saya everlasting. Setiap kali membawakan lagu ini, jiwa saya seolah berada di suatu tempat yang luar biasa indah, segalanya berupa kesempurnaan. Sampai saat ini saya menapakan kaki di bulir pasirnya, telentang memandang ke cakrawala, tersenyum kepada bulan dan melambaikan tangan ke arah bintang. Pantai kuta menampakan dirinya, atau saya yang menghampirinya. 

Lelah karena tiada rencana malam ini, saya lambatkan detak jantung dan terpejam sesaat. Saya berpikir, mau ngapain? perjalanan ini bukan tanpa rencana, saya hanya tidak memiliki agenda tetap. 

Saat kerlip bintang makin semarak, saya bangun, duduk termenung memandang ombak berkejaran, saya tidak berusaha melankolis, tidak ingin romansa dalam jiwa saya keluar, saya hanya ingin menikmati waktu. Sendiri. Tanpa suatu excuse.

--------------
-----------------------------
bosan.
Saya terus diam tanpa memikirkan sesuatu. Semua rutinitas dan pikiran melayang, menari-nari di pelupuk, minta di sapa. Saya tetap diam. Seribu bahasa. Entah berapa lama. Kosong.

*judul diambil dari lirik lagu Kuta Bali-Andre Hehanusa

Read Users' Comments (0)

Ngukkkk!!! naik 8 kilo....

Kamu kayaknya tambah gemuk ya? ----saya cuekin.
Jok, mukanya kok makin bulet, ----saya kasih senyum seribu dollar.
Mas, kalau diperhatikan kok sepertinya semakin padet saja badannya, ----saya sedikit terguncang.
---bla bla bla, pertanyaan dan pernyataan sejenis.

Iseng saya keluarkan timbangan, saya ukur berat badan saya. Shock! 68 kilo. Rekor!!! baru kali ini saya menyentuh angka itu di timbangan. Dari sejak orok sampai setahun yang lalu paling banter saya nyampe digit 63, itu saat pendidikan di prodip. Sejak itu angka di timbangan selalu bergerak konstan, 59-61. Bahkan awal penempatan berat badan saya masih 51-53, so skinny. Sekarang hampir semua celana kerja saya sudah susah untuk ditutup resletingnya.

Bolak-balik saya mencoba menebak apakah gerangan yang sudah saya lakukan satu tahun ini sehingga jarum timbangan menjadi semakin ke arah kanan?
Sarapan: seringnya makan nasi kuning dan gorengan di warung Mang Pepen, sudah pasti santan dan gorengan ikuta berperan.
Makan siang: Bogor itu kan salah satu kota dengan jajanan kuliner yang yahud, tidak salah, saya makan siang dengan mudah mencapainya. Belok kanan, ada BTM, belok kiri banyak mangkal PKL, belum geser kanan kirinya, pokoknya tidak ada istilah kelaparan disini, belum lagi Warung Teteh Kantin, yahuuuudd bener. Tidak salah kan kalau berat badan jadi nambah.
Makan malam: nasi goreng kayaknya sudah jadi langganan, kemudian kalau mentok ya mie goreng atau mie rebus.
Camilan: roti sekarang jadi camilan, apalagi ya? jajanan Bogor? pasti!
Minuman: mungkin ini juga punya andil besar ya, saya sekarang sehari minum tiga gelas teh manis, dengan gula satu sendok makan per gelas. So?

Ampun! kalau melihat diatas kok ya ojo maido kalau sampai nambah 8 kilo. Selama rutinitas itu belum berubah ke arah yang lebih baik, niscaya makin melar nih pinggang.

Masalahnya, saya terlalu malas untuk melakukan sesuatu yang lebih sehat. Sabtu pagi contohnya, dimana saya tidak ada kegiatan, biasanya saya sempatkan untuk bangun siang, suatu hal yang sangat mahal buat saya. Alih-alih jogging atau berenang. Selama hari kerja, paling banter hanya duduk di depan komputer, olahraganya cukup jalan muterin ruangan. Titik. 

Intinya, kalau sudah merasa melar, sudah tahu penyebabnya, kemudian masih tidak dilaksanakan rekomendasi solusinya. Ke laut ajeeeee bang!!!!

Read Users' Comments (0)