Catatan pinggir untuk AS

Malam ini dalam dinginnya air conditioner aku duduk sendiri dalam ruangan yang selalu aku banggakan. Aku menatap nanar layar monitor. Dalam jemari yang gemetar kucoba ungkapkan isi hatiku disini saat ini. Telapak kakiku masih rapat. Pikiranku kacau tak karuan. Aku tadi menangis sesenggukan tak tahu kemana harus bersandar. Semua orang bertanya. Aku tak punya jawaban. Satu-dua orang menatap iba, sisanya prasangka.

Malam ini seharusnya aku sedang tersenyum riang menatap ulah Bridget di cakram atau melihat anak-anak riang gembira memasak dalam serial Junior Masterchef: Australia. Namun aku terkurung dalam ruangan tanpa bisa merasakan emosi lain untuk menikmati suasana. Aku pengap dalam kedinginan. Aku lapar dalam ketidaklaparan. Aku haus dalam ketidakhausan. 

Malam ini aku kembali menjadi seorang yang luluh lantak akibat sebuah keegoisan semata. Aku ini siapa? 
Dalam rentangan 365, sosok yang selama ini memesona seketika jatuh ke dalam jurang yang dalam. Aku disini masih menghamba, mengharap pada fananya dunia akan sebuah keniscayaan bahwa semua itu tiada benar adanya. Dadaku sesak, hatiku pilu, mulutku kelu.

Saat ini, aku hanya mengharap sebuah ranjang empuk dan sebuah bantal untuk kembali. Air mata di pelupuk pun sudah kering rasanya. Dan lagi, tubuhku gemetar, kakiku rapat.

Hari ini, jumat yang selalu orang rindukan dan selalu maniskan menjadi T.G.I.F! Sore ini, saat seharusnya energi terkumpul untuk beban selain pekerjaan, runtuh seketika oleh rentetan berita, pesan singkat, pesan layar, dan dering telepon. Bagaimana mereka bersepakat dalam waktu yang bersamaan? Dengar! aku tidak punya jawaban.

Tangis pilu kembali tumpah tatkala seorang perempuan diujung telepon mengharap sebuah jawaban, bagaimana aku harus menjawab? Dibelakangnya tawa riang anak kecil bernyanyi, sungguh peristiwa ini tak terbayangkan terjadi tatkala seorang anak yang tidak berdosa dipaksa kehilangan orang yang dicintainya, walaupun untuk sementara. Aku limbung.

Sejenak ku hirup udara. Aku masih disini. Aku masih memiliki kepercayaan itu. Aku masih setia. Dan aku selalu berdoa yang terbaik untukmu.

Read Users' Comments (0)

Hujan sore ini

Dalam keheningan kamar sayup-sayup kudengar tetesan air hujan jatuh menapak tanah. Cuaca yang panas tak berangin tiba-tiba berubah, seketika bau tanah menyeruak menusuk hidung memberi nuansa melankolis tersendiri. 

Sore ini aku masih duduk di depan layar laptop tanpa bergeming. Baru saja dalam hitungan menit sebuah pesan masuk dari nomor tak di kenal membuka sebuah percakapan dan kenangan lalu. Tanpa menyebut identitas, seketika mengalir sebuah percakapan pendek. Dia hadir kembali dari masa lalu. Entah mungkin dia sadar yang telah ia lakukan atau memang sebab lain, tiba-tiba saja terputus tanpa ada lanjutan kata.

Aku terlalu malu untuk menanyakan siapakah sebenarnya dia, egoku terlalu besar. Sekedar membuat pesan baru untuk menegaskan pesan sebelumnya saja tidak mau. Aku, disini, ternyata masih menyimpan kenangan itu. Lebih dari itu, ego yang ada di diriku tidak luntur barang sedikit pun. 

Di temaram senja dan alunan merdu nyanyian alam berbentuk hujan, aku masih saja bimbang. Aku ragu. Aku malu. Aku... aku.... aku... aku tidak mampu membuat kenangan lama itu hadir kembali. Bukannya tidak mau, tetapi aku sadar aku tidak sanggup untuk menerima kembali masa lalu, efek dan akibatnya padaku saat ini.

Bersama dengan hilangnya deras hujan, aku memandang lekat jejeran novel di papan kayu kamarku. Melankolis sore ini laiknya sebuah novel dimana lakonnya aku sendiri yang berhak memutuskan kemana aku harus kembali melangkah.

Read Users' Comments (0)

Minggu Pagi di Victoria Park*)

Causeway Bay Area
Bagaimana menjadi pekerja migran di Hong Kong? "Senin sampai sabtu kita jadi babu, minggu kita jadi Ratu Sehari" demikian salah seorang tenaga migran Indonesia berceloteh dengan riangnya sambil menikmati sambel yang sepertinya cukup pedas sampai membuat buliran keringat di muka cemongnya. Minggu ini bertepatan dengan Idul Adha, Victoria Park berubah menjadi lautan warna putih mbak-mbak menunaikan sholat Ied. 

Bagi pekerja migran Indonesia, Victoria Park merupakan area wajib kunjung di hari libur yang kebanyakan jatuh pada hari minggu. Sama seperti Statue Square di Central bagi pekerja migran Philippina. Setiap hari minggu mereka akan berkumpul, sesuai dengan daerah asalnya, kenalannya, atau kerabatnya. Mereka sering membawa masakan sendiri dari rumah yang merupakan masakan tanah air. Apalagi kalau salah satu pekerja migran tersebut habis pulang dari tanah air membawa makanan khas, yang ada jadi arena rebutan. Kalaupun mereka tidak masak masakan tanah air, di jalanan sepanjang Victoria Park akan sangat mudah di jumpai kedai makanan yang menyediakan masakan Indonesia. 

Area Victoria Park di hari minggu berubah layaknya kawasan Monas. Mbak-mbak berkumpul sambil menikmati hidangan yang mereka bawa, celotehan ringan dan riang keluar dari mulut mereka, saling teriak senang dan tertawa. Hari minggu itu juga menjadi arena bagi mereka yang baru mendapatkan gaji untuk saling mentraktir, mengadakan pesta kecil serta membelikan hadiah bagi yang berulang tahun, membeli gadget terbaru dan saling memamerkannya. Tak jarang kita dengar celotehan khas sambil tertawa atau menangis saat mereka menelepon kerabat di tanah air. 
Indonesian Domestic Helpers

Hari minggu itu saya janjian dengan teman-teman sekampung, saat bertemu bungah rasanya, ketemu dengan teman sewaktu sekolah dahulu namun dengan kondisi yang berbeda. Hari itu mereka di undang untuk berkumpul di rumah salah satu teman untuk merayakan Idul Adha, namun dengan berat hati saya menolak dengan alasan sempitnya waktu. 

Bersama dengan Eni dan Widhi, saya kemudian di ajak makan di kedai yang menyediakan Korean Cuisine. Sebelumnya saya di ajak berkeliling taman dari sudut ke sudut, kebetulan ada bazzar tanah air juga yang menyediakan aneka hal yang berhubungan dengan tanah air. Disini juga saya di tunjukkan lokasi berkumpulnya para Pasangan Lesbian yang luar biasa banyaknya.

Sebagai informasi, Pasangan Lesbian ini biasanya muncul dengan gaya a la Harajuku, bagi yang "pria" akan bergaya dengan rambut pendek semir pirang atau warna ngejreng lainnya, celana jins belel dan sepatu keds dengan jalan layaknya lelaki, bahu diangkat dan langkah kaki yang panjang. Sedangkan bagi "wanita" tidak jauh berbeda dengan perempuan pada umumnya hanya saja mereka memakai baju dominan hitam dan dandanan gothic. Mereka dengan santai akan saling rangkul sambil berjalan atau bahkan berciuman di bawah pohon.

Informasi lain mengatakan bahwa banyak dari mereka sudah menikah dan dirayakan dengan mewah juga. Kebebasan Hong Kong sepertinya memberikan angin segar bagi mereka. Bahkan ada yang bilang, disini di Hong Kong bisa di bagi menjadi tiga, yang pertama adalah Pasangan Lesbian, yang kedua pacaran dengan orang Pakistan, dan yang ketiga tetap ndeso karena tidak laku. Memang semua itu adalah sebuah pilihan. Benar tidaknya siapa yang tahu. Menjadi pekerja migran di Hong Kong memang mendapat jaminan penuh dari pemerintahnya.

Widhi, Saya, dan Eni di Minggu Pagi di Victoria Park
Setelah selesai berkeliling taman dan melewati ribuan pekerja migran yang saling berdesak-desakan di jalanan sekitar Causeway Bay, sampai juga kami di sebuah kedai makan yang menyediakan makanan korea. Bagi Eni dan Widhi, dan tentu saja pekerja migran lainnya, hari minggu atau hari libur lainnya mereka habiskan dengan menyenangkan diri sendiri, seperti yang dibilang di atas, menjadi Ratu Sehari. Mereka luangkan waktunya sehari penuh dengan berkumpul bersama bertemu dengan yang lainnya, makan di tempat yang tidak biasa, menghabiskan waktu ke salon, membeli pernak-pernik di pasar sampai kepada berwisata layaknya turis. 

Mendengarkan cerita suka duka mereka rasanya saya harus bersyukur. Bagaimana pun hidup di negeri sendiri lebih menyenangkan. Sama seperti teman-teman seperjuangan saya yang penempatan di luar jawa, walaupun alamnya elok, lingkungannya berbeda, namun tidaklah enak kalau sampai di habiskan bertahun-tahun.

*) Judul layaknya film Lola Amaria

Read Users' Comments (0)

Temaram senja di Gili Trawangan

Temaram senja ditemani Gunung Agung
Dalam hening aku kayuh kereta angin dengan kecepatan normal, aku terseok kesana kemari, medan yang kulalui tidaklah mudah, jalur berpasir lebih banyak daripada tanah. Suasana sore ini sesungguhnya memberikan kesan bahwa hidup tidaklah hanya sebuah kubikel, menelepon klien, menulis surat, merekam dan terpaksa tersenyum manis.

Disini, di ujung barat Nusa Tenggara, kutemukan sebuah kebahagiaan baru, titik keseimbangan baru dimana hamparan pasir putih jelas lebih nyaman daripada sebuah kubikel, dimana semilir angin jelas lebih menyegarkan dari air conditioner, dimana warna jingga senja lebih hidup daripada sebuah stabilo.

Senja di Gili Trawangan ku lalui dengan duduk diantara tiga balok kayu rapuh. Aku duduk menatap lurus ke arah mentari yang semakin condong. Sesekali kulirik Gunung Agung di pulau Bali yang berdiri tegah dengan gagahnya. Beberapa pemancing lokal masih asyik dengan kailnya mencoba peruntungannya. Anak-anak dengan tekun mencari kerang, ikan kecil dan udang yang terperangkap di bebatuan. 

Agak lama aku habiskan waktuku duduk diatas balok ini. Aku renungkan beberapa hal dalam kehidupanku. Biasanya aku hanya terlelap dalam rutinitas monoton dari pagi sampai pagi lagi tanpa ada esensi yang benar-benar membekas. Disini aku berkesempatan untuk mengevaluasi diri, apa dan bagaimana yang sudah maupun yang akan terjadi dan lakukan. Terkesan cemen memang, masa iya di tempat sunyi seperti ini kita bisa tepekur dan memikirkan masa depan? 

Pemancing lokal dan Mentari jingga
Nyatanya, di tempat tanpa beban seperti ini, aku bisa dengan mudah membuka lembaran-lembaran kehidupan yang sudah kulalui, ku telaah satu per satu, ku hitung setiap hal material yang sudah kulakukan. 

Hari ini, lebih dari setahun lalu aku berada di Gili Trawangan. Hari ini, aku berada pada puncak kegalauan, sudah lama sekali aku tidak berjalan sendirian menikmati waktu memikirkan sesuatu, entah apapun itu.

Dan malam ini, dimana segalanya seharusnya di pikirkan kembali, aku berada pada posisi, biarkan mengalir dahulu. Sungguh pun waktu sehari ada dua puluh empat jam, rasanya hanya beberapa menit aku melewatinya.

Read Users' Comments (0)

Good morning, Jules

Colors of Happiness
Semilir angin pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, berputar dan membelai wajahku, "Hey, bangun tukang tidur, sekarang Jules, sambut dan bersuka citalah".

Masih malas untuk beranjak, aku biarkan tubuhku bermain dengan lembutnya seprai, mencoba beragam gaya tidur-tidur ayam sampai pada titik dimana akhirnya sebuah kesadaran penuh muncul. Secangkir teh dan musik ringan seharusnya cocok untuk suasana seperti ini, kicauan burung di luar semakin menambah suasana riang gembira. Kubuka kantung teh, sejenak menghirup aroma wanginya dan menyeduh air. Padanan yang pas.

Alunan musik segera menyebar ke seluruh ruangan saat dentingan piano Jim Brickman memulai dengan indahnya. Sahabatku, sang pecinta dentingan piano berujar, "Tak ada yang seindah pagi hari selain di temani alunan piano dan secangkir teh". Well, dalih kesendirian dalam kalimat tersebut sepertinya tidak mengganggu semua proses ritual bagaimana pagi hari dilewatkan.

Dalam balutan brief dan oblong kubuka laptop dan memulai membuka kabar pagi hari. Pagi hari yang cantik ini seharusnya berisi berita yang menyenangkan. Namun demikian, hidup tidaklah seindah roman picisan atau kalimat-kalimat yang keluar dari seorang motivator. Selalu ada waktu dimana saat buruk dan tidak beruntung menerpa.

Pagi ini sepertinya sangat mendukung untuk memulai sebuah kesepakatan diri, dalam hal baik tentunya. Segar dan wanginya teh melati sungguh menggugah jiwa memberi tambahan energi untuk membantu bagaimana kesepakatan berjalan dengan baik. Sebuah hari baru dalam bulan baru adalah waktu yang tepat. 

Akhirnya, kuucapkan "Selamat pagi, Jules, harimu akan kuisi dengan hal-hal yang baik dan penuh semangat".

Read Users' Comments (0)