Seren Taun: ucapan syukur Urang Sunda

Senyum malu-malu sekelompok anak berlarian lalu-lalang di sekitar kami dalam perjalanan menuju kampung budaya Sindangbarang. Berdasarkan sumber naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran, kampung budaya Sindangbarang yang terletak di desa Pasir Eurih, Tamansari, Bogor merupakan kampung yang pertama ada di Tatar Sunda. Mudah sekali untuk menuju ke sana, dengan menggunakan angkot 02 dari Stasiun Bogor menuju Bogor Trade Mall (BTM), kemudian dilanjutkan dengan angkot 03 SB (Sindangbarang), turun di depan jalan masuk kampung Pasir Eurih dilanjutkan berjalan kaki.


Berebut gunungan-1

Berebut gunungan-2
Pagi ini matahari bersinar cerah setelah di hantam hujan beruntun hari sebelumnya. Sepertinya sudah ada kesepakatan antara alam dan para tetua di kampung itu dalam puncak acara Seren Taun ini hujan di hentikan dahulu. Seren Taun yang dalam adat Sunda adalah upacara penyerahan hasil panen padi untuk di simpan di dalam lumbung, atau dalam bahasa Sunda di sebut leuit, merupakan upacara perwujudan ucapan syukur berupa penyerahan hasil panen tahun sebelumnya dan mengharap kepada Tuhan tahun yang akan datang diberikan panen yang melimpah lagi. Seren dalam bahasa Sunda berarti serah atau penyerahan, dan Taun yaitu tahun. 

Berbagi hasil gunungan
Perjalanan selama hampir dua puluh menit menuju lokasi tak terasa, beberapa petak sawah, kebun masyarakat, serta antusiasme masyarakat yang terlihat menghapus jejak lelah langkah kaki. Alunan gamelan Sunda terdengar semakin kencang saat langkah kaki semakin mendekat ke lokasi upacara. Sudah lama sekali gamelan Sunda ini jarang terdengar kecuali dalam bentuk kaset rekaman di pesta pernikahan atau restoran bergaya Sunda. 
Sesajen di depan leuit

Semakin tersingkirnya budaya Sunda menumbuhkan keprihatinan bagi sebagian masyarakat Sunda. Pendirian kampung adat dan kembali melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan budaya Sunda diharapkan sebagai langkah awal untuk menumbuhkan kembali jati diri adat budaya Sunda. Sebagai informasi tambahan, kampung budaya Sindangbarang menyediakan aneka paket edukatif dan informatif seluk beluk masyarakat dan budaya Sunda, atau hanya sekedar one-day trip untuk mengetahui budaya Sunda juga bisa. Pemasukan uang dari aneka paket dan kegiatan di manfaatkan masyarakat kampung tersebut untuk memajukan kebudayaan.


Bunyi teriakan, sahutan, gelak tawa, kaki yang berlarian, peluh yang berjatuhan, serta panas matahari yang menyengat tidak menyurutkan antusiasme masyarakat berebut gunungan dan seserahan yang di sediakan oleh para keluarga. Rebutan gunungan dan seserahan di laksanakan setelah seluruh hasil panen padi di masukan ke dalam leuit dalam upacara singkat namun penuh makna. Para tetua berdoa di depan leuit kepada Tuhan atas panen yang melimpah dan mengharap agar di berikan panen yang melimpah kembali di tahun yang akan datang. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, upacara Seren Taun sebagai bentuk penghormatan kepada Nyi Pohasri Sang Hyang Asri atau Dewi padi dan kesuburan. 


Aneka kesenian sunda-1

Aneka kesenian sunda-2
Pencak silat
Setelah lelah berebut gunungan dan seserahan, masyarakat dihibur dengan aneka kesenian Sunda, mulai dari pencak silat yang mempertemukan para jago kanuragan, serta tari-tarian budaya Sunda. 

Foto bersama Andrii & Danii dengan para penari
Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan keanekaragaman budaya?

Read Users' Comments (0)

Teluk kiluan: surga di ujung Sumatera

Panorama Dermaga Canti
Beban pekerjaan yang menumpuk perlahan hilang terbawa angin malam dermaga Merak saat kaki ini berjalan menapaki selasar menuju kapal. Suara riuh rendah kawan seperjalanan semakin menambah semangat berjalan untuk sampai lebih awal ke bibir kapal.

Teluk kiluan, secara administrasi berada di wilayah kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung. Untuk menuju kesana, hampir semua moda transportasi saya jalani, mulai dari angkot warna hijau menuju stasiun, kereta komuter, jasa ojek, bus, berjalan kaki menuju loket pembelian tiket kapal, kapal laut, sewa angkot, kapal kecil nelayan, sampai yang terakhir yaitu jukung, sebuah kapal selebar badan dan muat untuk 4 (empat) orang termasuk tukang kapalnya.

Semerbak bau air laut berbaur dengan tanah menyapa pagi itu saat kami menapak di pulau Sumatera. Rasa lapar dan kantuk terobati saat sampai di dermaga Canti panorama alam yang ada sungguh elok.

Pulau Umang-Umang
Selat Sunda, laut yang memisahkan pulau Jawa dan pulau Sumatera menjadi fenomenal saat Gunung Krakatau meletus secara dahsyat pada tahun 1883 dan mengakibatkan perubahan suhu bumi. Dahsyatnya letusan tersebut meninggalkan Gunung Rakata dan memunculkan Gunung Anak Krakatau yang tumbuh semakin tinggi setiap tahun. Keindahan yang sangat berbahaya.

Wilayah di sekitar Teluk Kiluan menyediakan aneka wisata bahari mulai dari pulau Umang-Umang yang berpasir putih dan air laut bergradasi biru dan hijau, pulau-pulau kecil di sekitarnya yang menyediakan lokasi snorkel lumayan dengan aneka hewan laut, dan yang paling menarik adalah laguna tersembunyi di antara tajamnya karang dan kerasnya ombak. Laguna ini memiliki kedalaman sampai dengan 7 (tujuh) meter, dengan area sangat terbatas, menjadikan laguna ini seperti kolam renang pribadi ber-air asin di tambah dengan karang di sekelilingnya untuk adu nyali melompat ke dalam air.

Senja di Teluk Kiluan
Saya terjaga setelah mendengar suara sumbang beberapa kawan mengisi dinginnya pagi diiringi gemericik air hujan yang turun. Sungguh celaka andai hujan terus mengguyur pagi ini, waktu terbaik untuk melihat pertunjukan lumba-lumba adalah pagi hari dengan cuaca cerah. Setelah beberapa waktu hujan mempermainkan iramanya, kami langsung menuju pantai tempat jukung di tambatkan saat matahari dengan malu-malu mengintip di cakrawala, kami akan sangat terlambat apabila tidak bergegas.

Eforia tarian lumba-lumba sejenak menghapus ketakutan saya akan sempitnya jukung dan kenyataan bahwa saya memiliki kemampuan berenang yang sangat minim dan sekarang berada di tengah laut maha luas. Saat satu per satu bulir keringat turun, akhirnya pekik teriakan "lumba-lumbanya disini" terdengar, dengan semangat empat-lima saya pasang kamera dengan posisi badan dan kaki tegap bersiap membidik adegan saat rombongan lumba-lumba melompat, menari, bercicit ceria di antara puluhan jukung pengganggu di sekitarnya. Ternyata bekal kamera pro-summer dengan kemampuan foto standar sangat merepotkan, tidak bisa melepaskan jepretan secara beruntun yang berakibat pada terbatasnya adegan tarian lumba-lumba yang di dapatkan. Bunyi motor diesel jukung juga mengganggu kelompok lumba-lumba, bisa dilihat dari mereka yang selalu menjauh dari jukung.

Karang terjal menuju laguna
Beberapa hal yang akhirnya saya ketahui, lumba-lumba di alam bebas ternyata berpostur lebih besar jauh dari bayangan lumba-lumba seperti di dunia fantasi. Dan habitat di Teluk Kiluan berdasarkan rumor, merupakan habitat lumba-lumba terbesar di Asia.

Tarian itu tidak lama kami nikmati karena di ujung cakrawala awan pekat menggantung mengejar para jukung yang berusaha mendekat ke bibir pantai. Degup jantung makin kencang tatkala motor diesel mati di tengah kejaran awan dan ombak, angin berembus makin kencang saat diesel berusaha di aktifkan kembali, membuat jukung terombang-ambing di belantara selat Sunda. Beruntungnya kami, diesel tidak lama mogok dan dengan di temani rintik hujan akhirnya kami berhasil mencapai bibir pantai dengan selamat.
Tarian Lumba-Lumba (c) Atek Martin via Rizal Agustin

Read Users' Comments (1)komentar

Gunung Papandayan: Elegi sebuah langkah awal

Dalam balutan kantung tidur saya tegakan tubuh dan segera menyapu sekeliling. Sepi. Saya bergerak malas beringsut ke sebelah kanan mendekat tali penutup tenda. Seperti linglung langsung saya tarik tali pengikat dan segera saja hawa dingin menyerang sampai ke tulang, angin yang masuk membawa tetesan air, kabut pekat terhampar di hadapan, luas menyelimuti hamparan padang yang sekilas tampak seperti dunia lain. Dunia pekat dimana hanya ada kabut dan samar.

Lain cerita seandainya pagi yang datang membuka hari ini di iringi tawa riang burung-burung prenjak. Di ufuk timur semburat kemerahan sebuah mega menuntun matahari memberi cahaya keemasan dan kehangatan bagi para penikmat pagi. Gurauan ringan, bunyi sesapan kopi atau teh yang hangat memasuki kerongkongan, bahkan decakan kagum akan panorama indahnya sebuah pagi menambah tebal akan iman seseorang pada sang pencipta.

Ah, hanya saja itu sebuah angan. Dengan enggan saya kembali masuk ke dalam kantung tidur. Di sebelah kiri saya, tiga orang kawan masih terbuai akan indahnya mimpi sebuah pagi yang cerah yang akan membawa mereka pada keriaan. Mungkin mereka sudah terbangun sebelum saya dan kembali memasuki hangatnya kantung tidur saat menyadari kenyataan akan pekatnya kabut dan dinginnya angin di luar.
Panorama Gunung Papandayan

Saya nikmati keheningan dengan sesekali desau angin membelai tenda menimbulkan bunyi-bunyian memberi kesan syahdu. Saya kembali terbaring dan berusaha mengingat bahwa ini adalah pengalaman pertama. Lahir dan besar di lingkungan dusun yang di kelilingi oleh perbukitan, hutan, persawahan dan sungai tidak menjamin saya lantas menjadi penikmat alam dalam sekejap. Saya menikmati alur prosesnya yang lambat.

Sepanjang perjalanan yang saya nikmati sehari sebelumnya saya benar-benar mabuk kepayang. Mabuk pada panorama yang menggoda. Mabuk akan sengatan asap sulfat dari perut bumi dan bibir kawah yang tak henti bergejolak. Mabuk pada kegairahan. Mabuk pada segala tetek-bengek nggak penting kalau saya akhirnya berjalan di jalan ini menuju sebuah puncak gunung.

Saya ingat bagaimana terjalnya jalan menuju pos pendakian pertama. Mobil pick-up pengangkut rombongan terombang-ambing ganasnya jalanan aspal yang bopeng di mana-mana, sering kali tangan ini seperti merekat pada tepian bak mobil dan ucapan doa keselamatan selalu keluar begitu ban mobil menghantam batuan yang tidak rata. Hanya kepulan asap sulfatara di kejauhan dan hijaunya dedaunan yang selalu menguatkan saya. 

Hutan Mati
Masih dalam kungkungan tenda saya masygul saat mengingat bagaimana eloknya hutan mati, sebuah elegi mengingat besarnya kekuatan alam dengan mudah saja meluluh-lantakan apa saja yang mau di binasakan. Elegi ini memberi kesan mistis saat kabut dengan perlahan turun menyentuh tanah, memberi nuansa sakral saat hitamnya kayu tersentuh kabut yang berwarna putih. Sungguh kesan ini membuat saya menginginkan waktu yang lebih panjang untuk sekedar hanyut atau bercengkerama dalam hitam putihnya.

Kesan mistis tiba-tiba lenyap saat sekumpulan bebunyian burung menyapa saya saat kaki tiba-tiba berkecipak dalam aliran selokan kecil. Sebuah lembah penuh warna-warni bunga edelweiss. Dari yang masih hijau, mulai kuncup dan tua saling mengisi. Dari kejauhan tampak harmonisasi warna tenda memberi kesan modern dalam agungnya alam. Rumput-rumput liar berkumpul di sepanjang aliran sungai. Satu-dua rumpun edelweiss berada tidak jauh dari rimbunan pepohonan memberi tanda akan kekuasaan wilayah masing-masing.

Saat lamunan terbang menerawang, tiba-tiba sekumpulan tanah menyerupai rimbunan jamur aneka rupa memberi kejutan. Ada yang seperti jamur merang, jamur kancing, sampai berbentuk istana megah seolah-olah memang benar terdapat sebuah istana dan aneka rupa jamur adalah tempat tinggal rakyatnya yang setia.

Istana aneka rupa
Lamunan dan pikiran saya langsung terbebas saat sejenak terdengar teriakan di luar. Suara cekakak-cekikik diselingi teriakan laiknya sebuah permainan. Ah, apakah kabut di luar sudah beranjak dan matahari menggantikannya?

Read Users' Comments (0)

Gunung Prau: sebuah perjalanan, kenangan dan pencarian

"Traveling- It leaves you speechless, then turns you into a storyteller" - Ibn Battuta

Dalam temaram senja saya berjalan mendaki setapak demi setapak. Dengan rupa merah sesekali diselingi undakan dan selokan licin, jalanan ini menuju puncak Gunung Prau. Saya bersama sekelompok teman yang menamakan Petualang 24 dengan tegap menatap cakrawala yang bergerak kelam.

Sudah berapa kali saya mengaduh, menahan nafas yang memburu, dan menyeka peluh. Perjalanan ini bukannya tanpa akhir, dalam balutan adzan dan pujian dari ribuan masjid dan surau di bawah, saya terus bergerak merangsek naik ke atas mengabaikan dengungan serangga kecil, batu kerikil, dan beban di punggung demi rimbunan bunga daisy liar dan perayaan Petualang 24 ke-2.

Senja kali ini memang beda, kungkungan cuaca yang semakin dingin tidak berarti begitu sudut mata menatap ujung cakrawala menyajikan semburat jingga-kemerahan. Kesan mistis dan sendiri terobati saat terlihat titik-titik kecil beraneka warna cerah punggung rekan seperjalanan.

Saya ingat saat menatap hamparan peta Wonosobo di belakang meja kerja bapak sewaktu kecil. Gunung Prau hanya berupa segitiga kecil berwarna hitam di sudut utara, berbatasan dengan Temanggung, Kendal, dan Batang. Setiap pergi ke Dieng tak lupa saya selalu mencari lokasi dimana letak gunung itu berada, hasilnya nihil, yang ada perbukitan. Apakah gunung itu hilang?

Saat satu kenangan muncul, ribuan kenangan lain melesat bak anak panah. Seperti kenangan bahwa saya tidak suka ke Dieng karena bau sedap dan jalan nanjak berlikunya yang membuat saya mabok. Kenangan saat kencing di celana dan ngumpet di rimbunan petak teh belakang gudang tempat bulik saya bekerja sebagai pemetik teh, dan kenangan nggak mau bersalaman dengan bocah berambut gimbal, berkudis dan ingusan, sampai di kejar banyak-soang. Semua muncul tak terkendali dengan sunggingan senyum di setiap akhirnya.

Dan kenangan itu kembali tenggelam dalam riuhnya sorak-sorai canda-tawa dan gegap-gempita saat kaki-kaki lelah menapak puncak dan akhirnya berakhir dalam balutan tipis kantong tidur penghalau dingin.

Sahabat saya berujar, “kalau mau menikmati salah satu keagungan Tuhan, cobalah tengok saat matahari terbit dari puncak gunung, sungguh tiada terkira”, dan pagi ini saya kembali membuktikan ujarnya. Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, diiringi arakan awan, ditemani citra megah Sindoro Sumbing di sisi selatan, dan barisan bukti serupa bukit teletubbies, serupa negeri di atas awan. Allahu Akbar!!!, Allah Maha Besar!!!


Seiring hilangnya embun dan parodi pagi, keakraban di satukan, keceriaan di megahkan, dan kebanggaan di tahtakan, itulah inti perayaan Petualang 24 ke-2. Dari hampa menjadi sapa, dan dari senyum menjadi tawa.

Semilir angin saat perjalanan pulang, di hamparan padang bunga daisy liar, ratusan langkah mengayun ringan, sesekali siul, decakan kagum dan jepretan kamera memberikan nuansanya. Saya sungguh menikmati momen ini, damai seperti sedang masuk ke dalam cerita anak-anak di pegunungan alpen, Heidi. Atau sembunyi-sembunyi saat memasuki sebuah taman rahasia di balik kastil megah Misselthwaite Manor di Yorkshire tempat bermain Mary Lennox dan Dickon dalam buku Secret Garden. Atau yang paling ektrem, membayangkan Maria dan Kapten von Trapp dalam The Sound of Music.


Namun, apapun bentuk kenangan itu, maksud perjalanan itu, pencarian itu, semua kembali pada satu jiwa yang tenang.

Read Users' Comments (0)

(terdampar sampai di) Semarang: Pesona Asia

Yang namanya rencana memang bukan kita mahluk fana ini yang menentukan, sudah sering terjadi, sudah sering bertatap, namun namanya manusia tetap saja bengal. Ini ceritanya saat kami sekelompok manusia yang mengharapkan liburan indah di Kepulauan Karimunjawa, ujung utara kabupaten Jepara tiba-tiba kandas oleh cuaca yang tidak bersahabat, dan Semarang yang memiliki slogan Pesona Asia akhirnya menjadi tempat penampungan kami.
(2) Sepeda Riang di Simpang Lima
Saya sendiri masih ingat bagaimana keadaan Semarang saat terakhir berkunjung, waktu itu di ujung tahun 2003. Semarang sebagaimana sewaktu kecil saya biasa ikut orang tua untuk memasok buah ke Pasar Johar atau sekedar membeli mesin diesel adalah kota yang jauh dari nyaman, kotanya sumpek, becek, banjir, panas, tumplek-blek jadi satu. Bagian menyenangkan dari Semarang saat itu adalah makan soto khas Semarang di Pasar Johar, masuk ke agen koran dan toko buku, melewatkan subuh di Gombel sambil melihat pernak-pernik lampu kota dan Matahari di kawasan Simpang Lima. 

Kenangan tentang Semarang mulai terkisis saat kaki menapak di
(1) Stasiun Tawang, aroma yang tercium berbeda, bersih (toiletnya juga), nyaman. Saat kendaraan yang membawa kami keluar dari stasiun melewati sedikit bagian dari kota lama pun atmosfernya, ada con-block di sana. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia setelah Semarang Gudang, diresmikan tanggal 19 Juli 1868. Stasiun ini mempunyai keunikan yaitu saat Musim Kemarau ketinggian stasiun mencapai 2 mdpl, namun saat Musim Hujan menjadi 0 mdpl yang berakibat naiknya air rob. Keunikan lain (yang tidak saya dengar) adalah diputarnya lagu Gambang Semarang setiap kereta masuk ke stasiun.
(4) Air Mancur di Tugu Muda

Setelah melahap santap siang di kedai yang memberi porsi jumbo namun nyaman di kantong dan bergerak mencari tempat bernaung, kawasan (2) Simpang Lima adalah tujuan kami untuk menghabiskan waktu, kawasan yang (mungkin) paling di kenal di Semarang ini terlihat cantik di malam hari, deretan pedagang kaki lima tertata apik di seputar kawasan, di tengahnya sendiri, warga menikmati malam minggu dengan menyewa sepeda berlampu warna-warni yang menarik hati, bermain sepatu roda atau hanya sekedar duduk ngobrol.

Saat menuju (3) Gombel, kami melewati Jalan Pahlawan yang berhias pedestarian super luas, rasanya senang sekali melihat muda-mudi menghabiskan waktu disana. Kapan Bogor menyusul? nggak perlu lah itu setiap tahun trotoar di ganti surfacenya, cukup beri trotoar yang lega dan nyaman. Gombel adalah bagian dari kota atas yang berbukit, di sana kita bisa melihat kota bawah bermandi cahaya kerlap-kerlip. 
(6) Salah satu sudut kota lama

Pagi hari berikutnya, beberapa dari kami memutuskan untuk berjalan menuju kawasan
(4) Tugu Muda, salah satu landmark penting sebagai penanda perlawanan lima hari saat perjuangan melawan penjajah dahulu. Tugu Muda berbentuk seperti lilin yang mengandung makna semangat juang para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan tidak akan pernah padam. Tugu Muda berbentuk segi lima yang terdiri dari tiga bagian yaitu landasan, badan dan kepala. Pada landasan terdapat relief yang menggambarkan keadaan Semarang sejak jaman penjajahan sampai kepada para pejuang yang gugur dalam pertempuran lima hari.

Selain Tugu Muda, di kawasan ini terlihat aneka bangunan 
art-deco peninggalan kolonial dengan (5) Lawang Sewu yang paling menonjol. Selain Lawang Sewu yang sebenarnya merupakan kiasan gedung berpintu banyak, terdapat pula Gedung Pandanaran, Rumah Dinas Gubernur, Museum Mandala Sakti, dan Katedral Semarang. 
(8) Pagoda Avalokitesvara

Semarang merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang memegang peranan penting dalam perkembangan bangsa Indonesia, hal ini dapat di lihat dari banyaknya gedung bersejarah yang masuk ke dalam daftar bangunan kuno yang patut di lindungi yang saat ini mencapai 102 unit. Apabila kita masuk ke kawasan (6) Kota Lama Semarang, pemandangan pertama yang akan kita jumpai adalah alas jalan yang di bangun menggunakan con-block, selain itu mata kita akan di suguhi bangunan art-deco bercat putih atau warna pastel lainnya.

Nah, selain di atas, Semarang juga merupakan awal mula perkembangan agama kristen di Indonesia, warga pribumi yang pertama kali di mandikan adalah putri dari Resident Blora yang menikah dengan seorang bangsawan Belanda. Tidak salah kalau di sana sini banyak terlihat gereja yang sudah ada sejak jaman penjajahan. Namun demikian, saat ini juga banyak di bangun tempat ibadah lain yang mengundang decak kagum, seperti (7) Masjid Agung Jawa Tengah, dan (8) Pagoda Avalokitesvara.

Mengunjungi sebuah kota tentu tidak lepas dari makanan khas, dan Semarang juga juara untuk masalah makanan. Ada Bandeng Presto, kemudian Wingko Babad yang melegenda, ada Soto Bangkong yang dinikmati dengan aneka sate, dan yang tak kalah lezatnya adalah Lunpia seperti terpampang di akhir tulisan ini. Terlihat menggoda bukan? Nah, memang tidak salah rupanya sampai terdampar di Semarang.
Lunpia

Read Users' Comments (0)