Malaysia: antara Daulat Tuanku dan Kelapa Sawit
Perjalanan ke Malaysia ini sebenarnya tidak ingin saya tulis, saya seperti menjilat ludah sendiri, big ew isn't it? Saya tidak begitu suka Malaysia, banyak sekali sesuatu yang membuat saya tidak ingin menginjakan kaki di sana. Pertama, tentu saja dengan adanya issue yang beredar tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia. Kedua, saya tidak suka sebutan mereka kepada kita yang menyebut "Indon", lagaknya sudah menjadi manusia nomor wahid. Ketiga, tentu saja pariwisata mereka yang bisa sampai menyedot wisatawan sampai menjadi yang paling besar di SEA, membuat saya mati rasa, how come?
Perjalanan dimulai dari Lavender St di Singapore, begitu masuk sana saya merasa bukan berada di Singapore, keteraturan yang selalu terlihat di Singapore ini tidak saya lihat, yang ada, para awak bus berteriak menjual tiketnya, setiap ada penumpang datang, mereka berbondong-bondong menawarkan busnya. Tidak berbeda jauh dengan yang saya dapati di terminal Indonesia. Mereka tidak memaksa, hanya sedikit memaksa, dan akan menawarkan harga di atas yang seharusnya. Saya ngotot untuk mendapatkan harga yang sesuai di internet walaupun mereka ngotot kalau bus mereka lebih bagus, hanya saja saya melihat rata-rata harga tiket adalah S$20.80, maka ketika saya di minta untuk membayar S$22, saya tidak mau, hasilnya mereka memberi harga seperti yang saya kasih dengan kualitas lebih bagus dari yang seharusnya, suatu keuntungan bukan? Sebenarnya saya sempat mengutuk mereka karena menawarkan harga lebih tinggi dari seharusnya, hanya saja saat perjalanan kembali pulang, baru saja saya tahu kalau bis yang sudah saya naiki memang memiliki tarif demikian.
Kenapa saya tiba-tiba berkunjung ke Malaysia? saya cinta sejarah, man. Saya hanya mengunjungi Melacca, kota bandar yang selalu terpampang di buku sejarah Indonesia dan Dunia. No more!!!
Perjalanan untuk sampai di Melacca memakan waktu 4 jam, dengan bus yang baru dan keren, kursinya 2-1, jadi sangat lega, apalagi penumpangnya hanya 5 baris saja. Perjalanan ke sana melewati imigrasi ke dua negara, jadi saat turun untuk pemeriksaan sebaiknya bawa semua tas yang dibawa, untuk berjaga-jaga apabila kita mendapatkan masalah dengan imigrasi setempat. Cerita ini akan tulis di lain kesempatan. Begitu bus yang saya naiki memasuki bagian luar kota Johor Bahru, biasa di singkat JB, saya hanya melihat kebun kelapa sawit, tak ada yang lain. Awalnya mungkin menyenangkan, hanya saja apabila sampai satu jam kita masih di suguhi pemandangan yang sama, apakah tidak merasa bosan? Inilah Malaysia, negara penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia sebagai negara yang memiliki lahan lebih luas justru selalu kalah produksi dengannya.
Sebelum sampai Melacca, saya membayangkan sebagai kota, paling tidak seperti Surabaya. Kenyataannya, di sana serba sunyi, pendudukanya sedikit mungkin? bisa jadi, saat memasuki Sentral Malaka, sebuah terminal bagi bis-bis tujuan dalam dan luar kota. Perjalanan dengan Panorama Malaka, bis lokal yang menjangkau sebagian kota semakin menguatkan dugaan saya, kota ini sepi. Saya sudah melakukan pemesanan sebuah kamar di Discovery Guest House, letaknya cukup dekat dengan hal-hal yang seharusnya di lihat di Melacca.
Tempat wisata di Melacca yang dijadikan World Heritage oleh Unesco tahun 2008 terdiri dari bangunan-bangunan tua peninggalan Portugis dan Belanda, dua negara yang pernah memperebutkan kekuasaan di sana. Bagi pecinta sejarah, tempat ini bisa saya katakan surga, dimana hampir semua reruntuhan bangunan, benteng, kuburan masih terawat, dan bisa kita lihat dengan baik.
Pertama, saya mengunjungi Clock Tower, masih satu komplek dengan Stadhuys, semacam plaza yang cukup menarik dan sangat memorable. Saat saya duduk diantaranya, dimana sebelah kanan terdapat sungai yang membelah kota dan di hiasi oleh bangunan-bangunan tua yang cukup bersih, dan di sebelah kiri Stadhuys, Gereja Katolik, yang semua berwarna merah kontras dengan kicau burung yang cukup banyak berada di pepohonan sekitar Clock Tower tersebut.
Pastinya, sudah banyak buku atau literatur yang membahas kota yang satu ini, saya hanya cukup berjalan kaki untuk menyusuri semua lokasi sejarah dan menurut saya keren. Tidak ada tempat yang masih memelihara dengan baik warisan penjajah di Indonesia, tapi di sini, patut di acungi jempol. Warga dan pemerintah lokal sepertinya paham benar bagaimana memelihara warisan sejarah dan memberikan suasana yang menyenangkan bagi pendatang.
Yang menarik lagi dari Malaysia adalah, mereka sedang menggalakan program Malaysia 1. Propaganda positif dari pemerintah sehubungan dengan issue yang berkembang antara pribumi dan etnis lain. Memang secara kasat mata bisa terlihat bagaimana batasan tersebut, pribumi-atau biasa di sebut Bumiputera, biasa bekerja di bidang pemerintahan, dan memiliki banyak akses akan berbagai hal. Lain halnya dengan etnis keturunan China, mereka menjalankan bisnis seperti hotel, menjual kebutuhan sehari-hari dan perdagangan lainnya, bersama dengan beberapa etnis keturunan India. Sedangkan untuk etnis seperti Bangladesh, Tamil, India, dan yang mirip dengan mereka bekerja di bidang kontraktor pembangunan gedung sebagai pekerja kasar, petugas kebersihan, dan yang semacamnya. Jelas terlihat bukan?
Propaganda tersebut sepertinya sejauh ini berhasil, saya lihat tidak ada issue besar lagi yang berkembang disana. Hal ini sepertinya berhubungan juga dengan propaganda lain yang pemerintah kumandangkan kepada masyarakat yaitu Daulat Tuanku, Dahulukan Rakyat. Wow, cukup menarik bukan? Saya jadi ingat bagaimana Soekarno juga melakukan hal yang sama kepada rakyatnya saat menjadi presiden. Saya tidak mengalami hal tersebut sebenarnya, jadi saya hanya tahu dari literatur yang berkembang.
Indonesia, dengan segala carut-marutnya tetap menarik bagi saya, Ia adalah Tanah Air. Ia adalah Ibu. Ia adalah segalanya bagi saya.
0 Response to "Malaysia: antara Daulat Tuanku dan Kelapa Sawit"
Posting Komentar