Menjadi host
Kegiatan rutin saya begitu sampai di kamar tercinta setelah seharian bekerja adalah membuka netbook dan langsung online. Hari Minggu malam saya mendapat kiriman email di salah satu situs pertemanan, couchsurfing. Isinya sebuah pertanyaan tentang restaurant vegetarian di Bogor oleh kakak-beradik Marcin dan Adam Furtak dari Polandia. Segera saja saya respon dan menawarkan diri untuk bertemu dan menjadi host sesama rekan CS untuk yang pertama kali. Mereka pun dengan senang hati menerima ajakan saya.
Hari selasa siang mereka sampai di Bogor lewat stasiun dan kita bertiga pun langsung berjalan menyusuri Bogor yang saat itu mendung. Kesan pertama saya melihat mereka berdua adalah, mereka sangat terbuka. Kakak-beradik ini sungguh rukun dan saling melengkapi. Marcin sang kakak berusia 33 tahun, mempunyai seorang anak laki-laki berusia 14, dan bekerja serta tinggal di London, dia tidak mempunyai rambut di kepala, alias plontos, dan memiliki jenggot yang hampir mirip wedhus serta badannya penuh tattoo. Lain halnya dengan Adam. Dia berusia 30 tahun, tinggal di Polandia, dan berambut gimbal layaknya vokalis P.O.D. Marcin dan Adam saling melengkapi, dua-duanya bisa sahut menyahut dengan saya sambil terus berjalan membicarakan hal-hal seperti kebiasaan kita masing-masing, bagaimana perbedaan antara Indonesia, UK, dan Poland. Dan, tentu saja mereka berdua vegetarian. Cool!!!
Target pertama mereka adalah Gong Factory di daerah Pancasan. Awalnya saya tidak tahu daerah itu, dan beruntungnya saya setelah menghubungi salah satu rekan di kantor, akhirnya di kasih tau rute menuju kesananya. Berhubung letaknya agak melenceng dari jalur jalan kami, akhirnya kami sepakat untuk ke Kebun Raya dulu, melewati Katedral, dan Gereja Zebaoth, sampai akhirnya mereka mencicipi Rujak Bebek yang menurut mereka enak! apalagi setelah melihat pisang tanduk yang panjang dan besar itu, mereka takjub! Kalau sudah begini saya sungguh bangga menjadi orang Indonesia.
Kebun Raya Bogor bagi Adam yang suka fotografi bak surga, banyak sekali objek tumbuhan yang bisa ia dapat, bunga teratai adalah yang paling di sukai. Lain halnya dengan Marcin yang lebih serius, dia lebih banyak ngobrol dengan saya, sementara Adam mencari objek, dan berbicara banyak hal terutama pandangan-pandangannya tentang Indonesia. Dan itu positif. hal yang baik juga bukan, tentunya?
Setelah puas dan kelelahan berkeliling Kebun Raya, tujuan selanjutnya adalah Vihara Dhanagung, dan disana mereka, terutama Marcin yang ternyata lebih paham tentang Buddha, sedikit mengeluarkan "self-defence" saat ada salah satu pengurus yang tiba-tiba numpang ngobrol dengan gaya sengaknya, berkacak pinggang, dan sotoy. Saya memilih minggir, dan Marcin tanggap, untuk kemudian segera saja kami keluar dari tempat itu.
Saat melewati pasar, mereka sangat senang, dan kami mengadakan piknik kecil sepanjang pasar, berinteraksi dengan para pedagang, memperkenalkan beberapa buah dan sayuran endemik Indonesia, dan mereka membeli beberapa buah dan pisau, yang menurut mereka murah banget! ya iyalah, 1 Pound kan 15 rebuan, bagaimana tidak murah?
Satu hal yang menjadi ganjalan mereka bahwa sangat sulit mendapatkan pekerjaan di Poland, sampai akhirnya Marcin pindah ke London demi bisa menghidupi anak semata wayangnya. Dan tentu saja topik agama, dimana mereka, seperti kebanyakan, tidak percaya agama, menurut mereka agama hanyalah label. Apapun perkataan mereka bukan? dan lebih jauh lagi mereka memberitahu saya bahwa kalangan gereja di Poland sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sampai pemerintah yang akhirnya berujung pada ketidak tertarikan para pemuda terhadap gereja.
Tujuan terakhir akhirnya sampai di Gong Factory, dimana gong dan gamelan di buat. Sayangnya, perilaku para pengrajin sudah tahu uang, saya jadi kurang respek. Tetapi mereka sangat bangga bisa melihat proses pembuatan gong, karena sejak kecil Marcin sangat menyukainya.
Hal lain yang mereka suka dari Indonesia yaitu sifat ramahnya, oya? kemudian gemar menolong, dan kalau di foto tidak minta uang. Begi mereka yang sudah banyak berkeliling ke banyak negara, hanya Indonesia yang saat masyarakat setempat di foto tidak minta imbalan. Cukup di kasih liat hasil fotonya mereka sudah sangat senang.
Bagaimana pun, acara menjadi host kali ini saya bilang lumayan, untuk seorang pemula seperti saya, dengan bahasa Inggris yang masih patah-patah, akhirnya saya bisa menjadi host untuk pertama kalinya. Mudah-mudahan ke depan bisa lebih baik lagi.
0 Response to "Menjadi host"
Posting Komentar