Di balik perjalanan ke Pulau Pinang

Mom, I wanna take your hand
Liburan Idul Adha kali ini saya tetapkan untuk berlari ke George Town, ibukota Penang, Malaysia. Bangun pukul 5.40 a.m dan belum satu pun persiapan saya lakukan. Segera mandi dan menjejalkan beberapa potong pakaian, dan segera tancap gas. 

Rasanya sesak sekali dada ini saat melihat kerumunan orang berbaju rapi berkoko dan mukena menuju masjid dan lapangan untuk menunaikan sholat ied, sedang saya memakai celana pendek dan berkaos oblong memanggul tas punggung menunggu sebuah angkot. Saya sangat khawatir melihat jam pesawat yang berada di angka 8.05 a.m sedangkan sampai jam 6.18 a.m saya belum mendapatkan sebuah kendaraan pun untuk mengantar ke bandara. Saat sebuah ojek menawarkan jasanya segera saya naik dan menyegerakan untuk mencari sebuah taksi. Tepat pukul 6.30 a.m saya mendapat sebuah taksi dan segera saya pesan untuk mengejar pesawat, sopir taksi mengiyakan dan meminta saya untuk berpegangan kepada dudukan yang ada.

Saat masuk ke dalam tol segera bunyi batas ambang kecepatan mengalun dan melihat kosongnya jalanan membuat saya sedikit lega. Sampai lobi bandara jam menunjukan angka 7.17 a.m dan saya bersorai akan jasa taksi ini. Sebelumnya saya berpikir bahwa kalau sampai tidak terkejar pesawat itu berarti saya tidak ada ridho. Uang tambahan segera keluar padahal saya merencanakan keluar uang hanya IDR 500.000 - 600.000. 

Secara umum liburan kali ini berjalan baik, dapat penginapan murah, dapat makanan enak, dapat teman ngobrol, dapat suasana baru, dapat pemandangan berbeda sampai kepada kejadian di bandara pagi ini yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengutuk diri sendiri. Ini bencana finansial dan sebelumnya tidak saya perkirakan. Sungguh.

Saya sendiri berharap perjalanan kali ini memberi waktu untuk berpikir tentang keluarga, tentang ibu saya yang harus saya tuntun, kalau saya jatuh dan menangis, siapa yang akan berada di sisi beliau?

Saat melihat serombongan pejalan asal Indonesia yang dipandu oleh pemimpin dari sebuah biro perjalanan saya sedikit terhibur, bagaimana mereka berbincang dan sangat berucap terima kasih atas bantuan travel, kalau tidak pasti mereka akan kebingungan dan keluar banyak uang. Saya sungguh tergelitik atas pernyataan tersebut melihat tampang mereka adalah orang berpendidikan dan memiliki cukup dana. Bagaimana merek bisa berpikir seperti itu? Mereka adalah serombongan mas-mas bukan emak-emak rempong.

Dari perjalanan ini saya dapat banyak jalan keluar setelah berpikir, mudah-mudahan bisa di jalankan dan berkomitmen seperti tujuan awal.



Read Users' Comments (0)

Serbaneka pejalan asia

Dari beberapa kali melakukan perjalanan saya mendapati perbedaan signifikan antara pejalan yang berasal dari asia dan non-asia. 

Pejalan asia juga bisa di bedakan berdasarkan negara atau area. Pejalan dari Jepang biasanya terdiri dari rombongan oma opa yang kaya raya dan tinggal nunggu dikubur, walau demikian gaya mereka sangat elegan dengan topi lebar bagi omanya dan pakaian berwarna pastel, sedang bagi sang opa akan memakai kemeja rapi lengan pendek dan di masukan ke celana panjangnya. Mereka akan bergerombol sesekali keluar rombongan dan mengomentari hal yang menarik menurutnya. 

Lain halnya dengan pejalan dari dataran china, dan semua yang berbahasa mandarin, cantonese atau hokkien. Mereka akan bergerombol dan penuh tawa canda dan mendominasi semua obrolan sepanjang perjalanan. Usia dibawah empat puluh dan kadang suka meributkan arah dengan lainnya. Mereka akan sangat memperhatikan penampilan mulai dari rambut sampai kaki dengan gaya terbaru. 

Bagi pejalan dari Timur Tengah yang seiring naiknya kemakmuran mereka jumlah pejalan sepertinya naik tajam. Dengan seluruh anggota keluarga ikut serta, anak-anak layaknya anak yang lain bersepatu dan baju warna warni. Sang nyonya akan memakai cadar dengan setelan baju di dalamnya sesekali terlihat. Bagi tuannya akan memakai celana olahraga pendek, sepatu keds dan berkacamata hitam cling. Mereka memperlihatkan bagaimana uang bisa melakukan segalanya, menginap di hotel berbintang dengan mobil yang akan mengantar kemana saja dan tentunya berpuluh kopor ekstra besar.

Bagi pejalan asal India, bau tubuhnya yang aduhai tertolong dengan wanginya parfum semerbak bak bunga di taman. Tidak perduli lelaki perempuan, semua wangi menusuk. Bagi perempuan yang kebanyakan sudah emak-emak akan mengenakan pakaian sari dan lelakinya berpakaian sangat rapi licin tersetrika bersepatu kulit glossy. Mereka tidak peduli tempat tujuan, yang penting celana rapi, pakaian warna cerah lengan panjang akan masuk ke celana dan selalu ngomong dengan menggoyang goyang kepala. 

Bagi pejalan Indonesia yang masih di dominasi oleh warga keturunan, mereka akan berpura-pura bukan orang Indonesia apabila didapati di areanya terdapat WNI, mereka akan menggunakan hokkien walaupun tidak bisa dibohongi kadang mereka terlontar elu gue dan kantong kresek. Mereka akan bangga menenteng BB dan begitu sampai di bandara tujuan akan sibuk menelepon keluarga di tanah air. Pejalan dari tanah air biasanya gegar budaya dengan langsung berpakaian super pendek baik itu celana atau rok, dan berkaos tanpa lengan bagi cowoknya. Dandanan mereka layaknya bintang korea, bedanya BB dan elu gue tetap ada di jatidirinya. Dalam perjalanan pulang pun mereka akan membanding bandingkan tempat yang dikunjungi dengan keadaan di Indonesia yang kebanyakan adalah mal dan pamer berapa banyaknya kopor yang dihasilkan.

Bagi saya sendiri tidak ada perbedaan signifikan dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia, berkaos celana panjang atau pendek dan berbackpack.

Read Users' Comments (0)

Bersantailah dan kau rugi bandar

Lounge Bayan Lepas Int'l Airport
Dengan lesu aku duduk di lounge Bayan Lepas Penang International Airport, akibat kecerobohanku melayang tiket yang sudah ditangan dan aku mengeluarkan uang lagi senilai MYR 900, mau teriak nggak bisa, mau ngeluh juga salah sendiri.

Kejadiannya berawal pada pagi hari saat bangun pagi waktu menunjuk angka 8.35 a.m dan aku masih punya paling tidak dua jam untuk persiapan sebelum seharusnya pesawat membawaku ke KL jam 11 a.m. Mandi dibawah pancuran dan memutuskan untuk sarapan di lounge hostel sambil santai sejenak. Disinilah letak kecerobohanku, tidak seharusnya aku bersantai, aku harus mengejar bus ke bandara, pikirku pulau pinang ini tidak macet dan bus mudah di dapatkan. Tepat jam 10 a.m aku pergi meninggalkan hostel dengan sebelumnya menanyakan arah dan rute bandara.

Bus ke bandara ternyata susah di dapat, aku jalan dengan kecepatan yang bisa maksimal ku dapatkan, apa daya aku sudah mengarah ke kiri dimana menjauhi arah bandara. Baru jam 10.18 a.m aku dapat bus, dengan terus berdoa aku duduk di kursi bus dan mendapati serombongan turis Taiwan yang sudah dua hari menemani perjalananku disini, dan itu semua tanpa sengaja. Ternyata letak George Town ke Bayan Lepas Penang Int'l Airport cukup memakan waktu, jam 11.15 a.m aku baru sampai di halte bandara. Aku berlari dan sampai di pintu mendapati pesawat tertulis DEPART!, langsung lemas semua sendi. Aku kembali berlari menuju ke kantor perwakilan pesawat yang akan membawaku dan sia sia karena hari ini semua kursi penuh. Aku menuju ke penjualan tiket maskapai lain, mulai dari low cost sampai premium dengan hasil nihil. Dengan gontai aku kembali menuju ke tujuan awal dan setelah panjang lebar mencari rute terbaik akhirnya aku harus rela merogoh kocek MYR 902, dengan kurs Rp 3.700 rasanya bikin sakit hati, tiket seharga itu seharusnya bisa membawaku ke Seoul, Shanghai, Hong Kong atau Cheng Du. 

Aku masih punya delapan jam sampai pesawat membawaku kembali ke Jakarta, tapi dengan pengalaman tadi aku jadi gontai dan tidak bersemangat untuk keluar dari bandara mungil dan kurang hiburan ini. Namun apakah yakin dengan pilihanku dengan tetap tinggal di bandara ini? entahlah, tak banyak kegiatan yang bisa kulakukan.

Mudah-mudahan dengan pengalaman ini bisa membuatku lebih menghargai waktu, dan waktu itu mahal harganya.
 

Read Users' Comments (0)

Cinta lama

Bioma sabana
Dengan berkendara angin, hujan datang sore ini dengan gempita. Ia jatuh menjejak tanah dan menyuarkan aroma yang akhir-akhir ini menjadi kesukaanku. Bau tanah basah menjelang senja. Hujan ini yang selalu ia impikan, hujan yang katanya pembawa suasana, hujan yang seperti namanya dalam filosofi china memberikan berkah dan kedamaian.

Dalam ruang sempit kamarku, dua hari ini aku tepekur bimbang. Hati yang selama ini kebas tiba-tiba bergejolak bimbang tak tentu. Aku jatuh pada cinta lama. Cinta yang dulu susah payah kubenamkan dalam relung paling dalam hingga sanubari pun tak mengenalinya. Cinta yang pernah ku agungkan sesaat. Kini datang lagi. 

Bukan tiba-tiba dan tanpa rencana. Aku memulai. Aku mengambilnya dari lubuk yang paling dalam, berharap ia masih sama, berharap ia tetap pemilik cintaku. 

Ia datang. Serupa tapi tak sama. Bagai pandir dengan keledainya, aku berjalan diantara jalan setapak sabana yang kosong. Bagaimana bisa seiring berjalannya waktu mengharapkan sesuatu tak berubah, bahkan sabana ini pun semakin luas. Hanya sumpah serapah kosong tak bermakna keluar, betapa bodohnya aku. 

Bukan tanpa alasan aku mengambilnya kembali. Bukan tanpa maksud aku merasakannya kembali. Aku beralasan. Aku bermaksud atas semua ini.

Aku ingat kalimat pertamamu saat menapaki jalan ini kembali, "Setahun yang lalu aku disini". 

Cinta lama, berharap padamu akan waktuku, akan kurajut kembali apa yang telah tiada, akan aku benamkan semua bara, akan aku agungkan senandung melodi nan syahdu agar dirimu selalu damai. Akan aku tunggu dirimu pada saatnya. Saat tepat engkau siap kembali merajut asa. Bersamaku.

Read Users' Comments (0)

Aku bisa mati menunggu di sini

Bulan sabit dalam temaram senja
Bulan sabit dengan anggun menampakkan wajahnya setelah kabut tipis malam sisa hujan menghilang. Dalam kekalutan aku susuri jalanan basah malam ini. Lidahku kelu, tak sepatah kata pun terucap sejak semalam, aku ingin bicara, sungguh. 

Roda liar terus terus berputar dalam ramainya suasana, angin malam tampaknya tak sanggup menelusuk hingga relung hati, bahkan luapan emosi sang biduan dalam panggung seni di ujung jalan pun terasa hambar. 

Ototku lemas, jiwaku muram, ragaku senyap. 

Wahai pemilik cinta, tak tahukah sukmamu telah mencuri sukmaku, jiwaku yang pupus akhirnya bertunas, dan hatiku bak gergaji yang tak pernah berhenti bergetar. 

Duhai engkau pemilik cinta, tak tahukah kalau setiap malam aku susah walaupun hanya sekedar memejam mata? pelupuk mataku selalu melihat bayangan kecil dirimu tersenyum, aku tak mau memejam mata dan luput dari bayanganmu. 

Wahai engkau pemilik cinta, bicaralah, jangan engkau diam bak bulan sabit di atas sana. Aku bisa mati menunggu di sini.

#untuk T.E yang sedang diam

Read Users' Comments (0)

Malaka: Sebuah warisan sejarah

Ketika menyebut nama Malaka otomatis otak kita berputar dan menyebut beberapa kata yang terhubung dengannya. Pelabuhan, sejarah, nama kota, Malaysia, Tan Malaka? dan lain sebagainya. Malaka sendiri apabila kita melihat ke dalam sejarahnya merupakan desa nelayan yang ditemukan oleh seorang pangeran dari Sumatera. Oleh pangeran tersebut, Malaka dibuka dan dibangun menjadi pelabuhan penghubung antara China dan India. Dan pada masanya, bersama dengan Pulau Pinang (Penang) dan Tumasik (Singapore), Malaka menjadi jalur perdagangan yang sangat penting. Letaknya yang sangat strategis sejak awal menjadikannya tempat bertumpah darah. Setelah era Majapahit, kolonialisme Portugis, Belanda dan Inggris saling bergantian dan saling memberikan cirinya masing-masing.

The Clock Tower of Melaka
Sejak tahun 2008 Malaka masuk ke dalam UNESCO's World Heritage karena berhasil melestarikan bangunan-bangunan jaman kolonial dan tetap berdiri dan tertata apik sampai saat ini.

Berkunjung ke Malaka tidak memerlukan waktu lama, one-day-trip sudah cukup mengingat dari ujung ke ujung bisa di lakukan dengan berjalan kaki, namun demikian becak berwarna-warni juga siap menemani apabila kita malas berjalan kaki (seperti de javu). Bangunan di Melaka sangat eye-catching karena berwarna serupa merah marun dan mencolok. 

Bagi pecinta sejarah, Malaka merupakan salah satu yang wajib kunjung, semua bangunan terkondisi dan tertata dengan baik, dan jauh dari kesan kumuh. Bangunan-bangunan tersebut saat ini dijadikan museum, tempat ibadah, kedai makan, penginapan, dan sebagainya, namun demikian bentuk bangunan tidak ada yang berubah.

Flor de la Mar Replica as Maritime Museum
Titik paling menarik disini adalah semacam plaza atau alun-alun dimana terdapat Clock Tower berhiaskan air mancur dan dikelilingi oleh gereja yang masih di fungsikan dengan baik. Akan tetapi titik ini bukan awal dari perjalanan sehari menjelajahi jaman kolonialisme di era sekarang. Titik awal yang bisa di pakai adalah persimpangan Discovery dimana di sebelah kanan terdapat kanal yang langsung menuju ke Selat Malaka, apabila kita terus menyusuri kanal ini, kita akan tahu betapa pentingnya kanal ini bagi Malaka. Karena selain sebagai jalannya air dan pencegah banjir, kanal ini juga di fungsikan sebagai jalan bagi wisata berkeliling menggunakan kapal yang akan singgah di tiap halte yang ada. 

Setelah melewati jalanan berhias bangunan bergaya art-deco di kanan dan kiri, kita akan langsung menuju plaza tersebut. Flyer dan panduan yang disediakan secara cuma-cuma akan menggiring kita menaiki sebuah bukit berisi aneka museum dan reruntuhan gereja yang sangat terkenal yaitu St. Paul. Dari reruntuhan gereja ini kita bisa memandang dan melihat situasi Selat Malaka dan kota Malaka itu sendiri. Tidak ada lokasi yang luput disini karena setiap inchi tanah sepertinya sudah dikemas apik dan sangat menjual, bahkan untuk sebuah kuburan pun. Kita seharusnya iri dengan pengemasan ini.

Reruntuhan St. Paul
Setelah lelah berkeliling, aneka makanan siap mengisi perut di foodcourt yang terletak di bawah bukit. Aneka hidangan mulai dari melayu, arab, tradisional sampai ke western internasional semua ada. Selain itu kita bisa melakukan sholat di mushola yang pada jaman dahulu merupakan cikal bakal berkembangnya Islam disana.

Saya sendiri paling berkesan dengan replika kapal Flor de la Mar yang dijadikan sebagai Museum Maritim. Melihat dari kejauhan saja sudah membayangkan cerita tersendiri, apalagi saat memasuki bagian kapalnya, kita akan diajak berkeliling mulai dari ujung kapal ke bagian lainnya dimana disana diceritakan sejarah bagian per bagian lengkap dengan mitos, legenda, fakta dan pengejawantahannya pada masa kini. Sungguh, kita berada di dalam replika kapal yang cukup di kenal pada masanya.

Bagi pecinta rempah, Malaka juga menyediakan toko-toko yang menjual aneka macam rempah yang bahkan di Indonesia saya belum pernah melihat ada tempat yang selengkap ini. Bisa jadi ini sebagai penekan dan penanda bahwa Malaka memiliki peranan penting dalam perdagangan rempah-rempah.

Malaka, satu lagi contoh bagi Indonesia bagaimana mengelola bangunan sejarah dan mengemasnya menjadi jualan yang ciamik.

Read Users' Comments (0)

Yehliu Geopark: Taman kapur beraneka rupa

Dinginnya pagi di bulan desember tak menyurutkan niat untuk pergi menikmati secuil keindahan pulau formosa. Kali ini kami pergi ke Yehliu Geopark, dimana batuan kapur membentuk suatu gugusan dan bentuk lain seperti mushroom, queen's head, sea candles dan sebagainya. Batuan kapur ini terbentuk sebagai akibat erosi samudera pasifik yang berarus deras dan mematikan, dan pergerakan lempeng bumi dimana pulau formosa sendiri masuk ke dalam cincin api. Sayangnya, banyak bentuk-bentuk yang cantik ini akan terus tergerus erosi dan terus bergeraknya lempengan bumi sehingga beberapa tahun ke depan dikhawatirkan akan memiliki bentuk yang lain.

Yehliu sendiri berasal dari bahasa Pinpu, bahasa aborigin Taiwan, dan bahasa Spanyol "Punto Diablos" yang berarti Tanjung Setan. Namun demikian ada suatu cerita kenapa tempat tersebut dinamakan Yehliu, pada jaman dahulu warga sekitar merupakan nelayan yang hidup di laut, mungkin sama dengan orang Bajo di Indonesia dan mendapatkan beras dari penduduk pulau. Uniknya pengambilan beras dilakukan dengan menggunakan bilah bambu yang sudah dilubangi bagian ujungnya, para pedagang pada akhirnya menyebut proses ini sebagai "beras yang di curi oleh suku asing" dimana "suku asing" berarti Yeh, dan "dicuri" berarti Liu dalam bahasa Taiwan.

Mushroom Rock
Perjalanan dari tempat kami menginap di Taoyuan menuju lokasi berhias tebing dan jurang yang saling bergantian dengan hutan yang tidak rapat. Perjalanan sekitar satu setengah jam tak terasa dengan jalanan mulus dan sikap para pengemudi yang luar biasa tertib, bahkan saat terjadi kemacetan pun tidak ada yang berusaha mendahului. Setelah melewati pinggiran Taipei kami keluar dan melewati Keelung (Jilong/Chilung) dimana terdapat pelabuhan ekspor terbesar ke-dua di Taiwan.

Untuk masuk ke Yehliu Geopark, kami membeli karcis seharga NT50 (New Taiwan Dollar) dan buka mulai dari jam 8 pagi sampai dengan jam 5 sore. Lokasi ini secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama yaitu lokasi dimana mushroom rocks berada. Di lokasi ini kita bisa melihat proses alam batuan kapur ini terbentuk menjadi sesuatu, dari yang hanya batuan berlubang kecil, menjadi lebih berbentuk sesuatu hingga sampai menyerupai jamur.

The Queen's Head
Area kedua sebenarnya mirip dengan yang pertama, hanya saja disini kita bisa melihat bentuk batuan kapur ini yang tadinya menyerupai jamur berubah menjadi bentuk aneh lainnya, dan yang sangat terkenal adalah Queen's Head. Tidak mudah untuk mengabadikan bentuk ini, hampir semua orang berebut ingin berfoto disana, untung saja jembatan kayu yang kami lewati mampu menahan banyaknya kumpulan orang yang rela antre hingga hitungan menit untuk mengabadikan momen tersebut.

Area ketiga adalah area paling ujung dari komplek ini dan merupakan area paling luas dimana kita dipandu menggunakan jalanan kayu dari satu titik ke titik lainnya. Disini kita bisa melihat proses erosi laut karena letak tanah jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya.

Komplek ini sangat dekat dengan pantai curam berbatu yang seringkali ombak besar menghantam, di beberapa titik sangat licin sehingga perlu kehati-hatian dari pengunjung supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pernah ada salah satu anak sekolah yang hilang di telan ombak saat mengadaan wisata sekolah dan jasadnya tidak ditemukan sampai sekarang. Orang tuanya kemudian membangun sebuah tugu peringatan di sini untuk mengenangnya dan sebagai peringatan bagi kita semua.

Yehliu Geopark sangat dikenal bagi para pecinta geologi dan wisatawan baik asing maupun lokal. Melihat bentuknya yang sangat tidak biasa pasti memberikan kesan yang dalam bagi kita setelah berkunjung kesana dan mengucap syukur akan keagungan Yang Maha Esa.

Read Users' Comments (0)