Kini...

Saat melihat foto anaknya yang kecil mungil menggemaskan, hatiku kembali berdesir, apalagi saat ia berpose dengan wajah ayu memangku putri kecilnya, tersenyum, gembira, tertawa. Kemarin saat unggahan fotonya muncul dalam sebuah jejaring sosial, aku terpaku, hatiku berdesir, aku melengos abai, ternyata masih ada perasaan itu. 

Malamnya saat melewati tempat biasa aku menghubunginya, aku gelisah, hatiku mengkal. Tempat itu sungguh membuka kembali sesuatu yang sudah aku usahakan tutup. Di tempat itu, kedai kaki lima, aku biasa menghabiskan nasi goreng sambil tersenyum membaca balasan smsmu, atau tertawa kecil dan bersemu merah saat kamu bercerita kegiatan harianmu.

Aku sadar aku memang terlalu pengecut untuk menyatakan perasaanku saat itu. Aku terlalu takut dengan komitmen. Aku terlalu cinta pada diriku sendiri. Aku tidak mau kenyamanku saat itu berlalu begitu saja. 

Kini, aku hanya berusaha menghapus angan. Seribu angan yang luas terbayang. 

Read Users' Comments (1)komentar

Travel...

Saya masih ingat saat perjalanan pertama ke luar negeri. Bukan Singapore seperti 9 dari 10 orang Indonesia lakukan, tapi Taiwan. Kala itu setahun setelah ayah mangkat, kakak perempuan saya memberi penawaran kepada Ibu untuk berkunjung ke Tao Yuan, Taiwan, kota tempatnya bekerja. Ibu akhirnya mengajak saya kesana dengan alasan tidak berani sendiri bepergian ke luar negeri dengan bahasa dan budaya yang berbeda, tentu saja jawaban saya iya.

Persiapan pertama dengan terlebih dahulu membuat paspor karena kami belum memiliki. Sedikit bermasalah dengan lamanya antrian, padahal kami sudah menyewa jasa calo untuk mempercepat proses (oops!) akhirnya saya pulang ke Cibinong dengan mengantongi paspor dan langsung mengajukan ijin cuti kepada atasan. 

Persiapan lain yaitu-tunggu sebentar, saya tidak menyiapkan hal lain setelah itu karena kakak saya sudah menyewa jasa tenaga untuk mengatur kami bepergian kesana. Intinya kami tinggal tahu beres, ketemu dengan mas-mas yang disewa kakak saya juga pada saat di bandara. Jadi, perjalanan pertama saya tinggal nyaman duduk di kursi pesawat, yang buat saya cukup mengesankan karena terbiasa dengan pesawat murah. Kami naik Eva Airways dimana pesawatnya lebih besar dari pesawat yang biasa saya naiki, di dalamnya kami disediakan minuman sepuasnya, makanan dan video. Jujur saja, ini pertama kali saya membayangkan naik pesawat seperti Garuda Indonesia. 

Di dalam pesawat kami di kelilingi oleh para calon tenaga kerja dari Indonesia yang akan bekerja mengadu nasib disana. Ada yang pasang tampang jaim karena sepertinya ini bukan pertama kali buat mereka bepergian ke luar negeri, tetapi kebanyakan pasang tampang ndeso dan pecicilan dengan kaki diangkat ke kursi, sampai muntah di dalam pesawat, luar biasa memang.

Yehliu Geopark, Taiwan
Perjalanan dari Soekarno-Hatta Int'l Airport menuju ke Tao Yuan Int'l Airport kurang lebih 5 jam dengan perbedaan waktu 1 jam. Kami tiba dengan selamat dan dengan pasang muka keren kami melangkah mantab menuju pintu gerbang Taiwan, pemeriksaan imigrasi, voila! lancar jaya, saya melenggang masuk tanpa banyak pertanyaan. Ziip!!! saya resmi ke luar negeri sekarang.

Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan orang lain, mereka berpendapat bahwa pergi ke luar negeri itu mahal dan repot, benarkah? 

Pengalaman ke Taiwan membuat saya bertekad untuk bisa ke luar negeri di lain kesempatan. Sampai kesempatan tersebut datang kembali, teman saya mengajak pergi ke Singapore dengan low-budget tentunya.
National Museum of Singapore

Perjalanan ke Singapore bisa saya katakan sebagai perjalanan pertama saya dengan akomodasi dan persiapan sendiri. Setelah melihat modern-traditionalnya Taiwan, saya melihat Singapore yang hanya modern, kesan traditionalnya hanya bentuk dari bangunan kuno yang terawat baik. Ketagihan naik MRT dan jalan kaki tanpa terganggu dengan hal lain membuat saya berangan-angan mudah-mudahan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bisa meniru model tersebut.

Sampai pada tahun 2010 Ibu saya minta diajak ke Singapore setelah mendengar cerita dari banyak orang terutama pak-lik saya yang baru beberapa waktu mengunjungi negeri tersebut. Berbekal tiket promo murah meriah akhirnya kami pergi berdua lagi, saya bersama Ibu. 

Perjalanan kali ini membawa sebuah drama saat saya kembali dari Malaka, Malaysia. Pada saat pemeriksaan imigrasi, saya kena ciduk, Ibu saya menangis menunggu di luar tanpa kejelasan status saya, dan saya diberi banyak pertanyaan yang luar biasa berputar-putar. Memang kami menyempatkan diri ke Malaka, mengunjungi sebuah wilayah yang masuk ke dalam World Heritage Site, kota tua yang sangat menakjubkan, semua benda peninggalan lama terawat dengan baik. 

Breakfast, Discovery Accommodation, Malacca
Bulan Nopember 2011 saya mengunjungi Hong Kong dan Macau. Kota dengan paduan modern dan tradisional yang sangat menakjubkan membuat saya selalu ber-ooo setiap kali menemukan hal yang baru dan hampir terjadi dalam hitungan menit seperti ada seorang nenek terjatuh tanpa ada yang membantu, luar biasa bukan? lain lagi dengan caranya bilang "sorry" setiap bentuk sentuhan fisik maupun barang tanpa sengaja, menurut saya itu hal paling baik yang harus di contoh di Indonesia. Dan seperti hampir semua orang asia timur selalu bilang "xièxiè" setiap saat, saya mencoba untuk meniru hal baik tersebut.

Perjalanan ke Hong Kong juga membawa drama saat saya baru melangkah menuju meja imigrasi, saya kena gelandang dan wawancara. Beruntung saya bisa meyakinkan mereka, fyuh!!! hal ini yang kemudian membuat saya membatalkan kunjungan ke Shenzen, saya takut saat kembali dari daratan China kemudian dianggap imigran gelap.

Hong Kong & Kowloon

Senado Square, Macau














Menyenangkan memang menjelajahi negara lain, dengan budaya berbeda, sistem dan penduduk yang berbeda, saya sendiri memiliki pendapat bahwa pergi ke luar negeri, bertemu budaya dan orang baru, menambah wawasan dan membuka pikiran yang sebelumnya tidak terpikirkan. 

Oktober nanti saya berencana ke Penang, World Heritage lain selain Mellaca yang sudah saya kunjungi sebelumnya.

Read Users' Comments (0)

Bina, bukan bina-sakan

Melihat spanduk yang terpampang di hampir setiap stasiun jalur Bogor-Jakarta Kota sungguh menyisakan lautan pilu kehidupan, isinya kurang lebih sama: "kami ini perlu di bina, bukan di bina-sakan" dan "kereta api menuju kapitalisme". 

Dari isi spanduk tersebut jelas sekali yang membuat pasti dari para gabungan pedagang di sekitar stasiun, pedagang yang berjumlah ribuan yang sehari-hari menggantungkan hidupnya di peron stasiun kereta api. 

Munculnya spanduk tersebut bermula dari langkah awal kereta api, dimana dalam hal ini anak usahanya PT. KAI Commuter Jabodetabek yang sedang dalam tahap modernisasi menuju pelayanan yang lebih baik. Kartu Langganan diberi sebutan baru dengan nama Commet dan bisa di tap di setiap stasiun-meski mesin tap-nya minim. 

Dalam cetak biru sampai tahun 2019, di rencanakan semua stasiun akan memakai sistem tap, perusahaan akan menggandeng beberapa bank nasional untuk menyediakan kartu beserta pembelian/pengisian nominal, yang kurang lebih sama seperi ezlink di Singapore dan octopus di HK. Janganlah kita melihat ke-dua negara tersebut dimana kartu yang sudah disebutkan bisa di pakai di semua moda transportasi kecuali taksi, bahkan untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari di minimarket.

Masih dalam cetak biru tersebut, rangkaian kereta akan diperbanyak sehingga jarak antar kereta diperpendek menjadi 3-5 menit, tidak ada lagi kereta jenis ekonomi, dan daya listrik yang digunakan untuk mengakomodir semua rangkaian kereta tersedia melimpah tanpa lagi ada gangguan sinyal atau kurangnya daya alir listrik.

Saat ini stasiun identik dengan kumuh, kotor, dan hal tidak nyaman lainnya. Hal ini sebagai akumulasi dari berbagai pihak. Pertama jelas dari otoritas kereta api yang tidak tegas, dengan mudah memberi ijin berjualan dan menyewakan kios yang membuat sempit ruang tunggu; minimnya kualitas sumber daya baik manusia maupun pendukung. Kedua dengan mudahnya ijin dan tidak tegasnya otoritas kereta api, hal ini menyebabkan para pedagang dengan semaunya menggelar dan menjajakan barang yang dijual. Ketiga penumpang dan calon penumpang yang masih belum sadar diri untuk tertib. Ketiga hal tersebut yang menyebabkan keadaan menjadi seperti sekarang ini. 

Atas dasar itu PT KAI Commuter Line berencana mengelola dan membentuk wajah barunya, dimana pasti salah satunya penertiban pedagang dan naiknya sewa tempat yang berujung pada spanduk yang tidak enak dibaca.

Aku sendiri menilai lahan stasiun yang sudah sempit itu biarlah untuk tempat penumpang menunggu kereta, akses masuk dibatasi, intinya dalam stasiun bebas dari pedagang asongan dan nyaman. Apakah dengan demikian aku menjadi kapitalis? menurutku tidak, karena toh dengan demikian yang seharusnya demikian menjadi demikian. Lantas bagaimana dengan pedagang yang sudah ada sekarang? Dengan sosialisasi yang bertahap dan tidak langsung memukul mundur mereka aku pikir mereka bisa mengerti, opsi berdagang di tempat lain, atau di sekitar stasiun tetapi tidak masuk ke dalam peron maupun lobi cukup masuk akal, intinya otoritas kereta api tidak mengelola bisnis selain inti bisnis.

Beberapa stasiun yang memiliki lahan memungkinkan mulai dari Cikini sampai Jakarta Kota, buat saja tertib berdagang seperti pemilihan pedagang, komitmen untuk menjaga kenyamanan stasiun. Aku pikir kelas pedagang seperti pusat gerai bunga di Cikini; Gerai kerajinan parsel di Cikini bisa memberikan warna tersendiri bagi penumpang dan orang lain, bahkan wisatawan. 

Namun demikian, pemasangan pagar di stasiun Cikini sampai Jakarta Kota aku anggap berlebihan, atau tidak tepat sasaran, mesin tap kartu seharusnya bisa dibuat sejajar dekat dengan lokat karcis tanpa dibuat pagar seperti sekarang yang akan mempersempit gerak para penumpang. Minimnya mesin tap di stasiun selain diatas juga membuat kekhawatiran tersendiri dimana pasti akan terjadi antrian panjang setiap akan masuk stasiun. 

Oya, kalau pedagang bisa mengeluh dan bisa di akomodir, bagaimana dengan para petugas tiket yang notabene pihak ketiga, dengan adanya sistem tap, tenaga mereka sudah tidak di perlukan lagi?

Read Users' Comments (0)

Entahlah....

Purnama lalu aku duduk sendiri di taman menatap indahnya bulan, menahan kantuk dan ratusan nyamuk yang berkerubut. Aku kedinginan, aku kebasahan, aku kecapaian. Aku tengadah mencoba selalu tersenyum saat menatapnya. Sungguh sedingin apapun malam itu, sebasah apapun rumput, sengantuk dan secapai apapun malam itu, aku tetap tengadah memandang langit, berjuang berebut pesonanya dengan bintang, nyamuk, kunang-kunang, dan binatang malam lainnya.

Malam itu taman yang kusinggahi sunyi senyap, hanya beberapa orang lalu lalang berjalan menyusuri setapak sambil tepekur mengukur jalan, ada yang sibuk bertelepon, dan beberapa pasang dan kelompok remaja bersenda-gurau. Aku tepekur, berpikir untuk apa aku sampai disini dan melakukannya sendiri?

Dari ribuan malam yang sudah kulalui aku selalu berharap bahwa esok aku akan lebih baik dari sekarang, berharap menjadi seseorang yang berguna entah bagi siapapun, tetapi yang pasti bagi diri sendiri. Malam dingin itu sengaja aku memilih taman basah itu untuk melihat suatu ciptaanMu, menyadari dan mengakui keagunganMu dan memang sungguh luar biasa karuniaMu. Aku bersyukur padaMu sungguh pun aku sering berada tidak dijalanMu, sungguh nikmatMu tiada berkurang. Maka nikmat mana yang bisa kudustai?

Tuhanku, malam itu aku sungguh ingin merasa bahagia, sama seperti sekarang, sungguh aku ingin merasa nyaman dan bahagia.

Saat ini aku duduk sendiri di depan monitor komputer menulis segala macam hal yang ada di pikiran yang seringkali tidak bisa di ungkapkan dengan kalimat di sini. Entah bagaimana saat suara Ibu menelpon pun aku sungguh tidak bersemangat. Aku sendu.

Ada beragam cerita yang kulewatkan, ada beragam peristiwa dan hal yang tidak sempat kupikirkan. Aku lelah. Jiwa dan raga. Aku seperti robot berjalan lurus yang menemukan jalanan belok kanan kemudian mengikuti, lurus kemudian lurus lagi, begitu seterusnya.

Entahlah....

Read Users' Comments (0)

Menangis

Semalam saat menonton "dead poets society", aku menangis, menangis saat ikut merasakan kehilangan orang terdekat. Menangis buat aku sendiri menentramkan, lega rasanya setelah menangis. Terkadang saat sepi mendera, ingin rasanya menangis, tetapi memang, menangis tidak bisa diniatkan. Saat malam sepi, curhat kepada yang kuasa, ingin rasa menangis, apa daya tak bisa. 

Aku ingat saat bapakku mangkat saja aku tidak menangis. Entah kenapa terlalu susah mengeluarkan air mata, saat semua orang terdekatku histeris, aku hanya kelu, air mata kering rasanya. 

Lain halnya saat menonton sebuah drama, saat konsentrasi mengikuti jalannya cerita, air mata biasanya ikut leleh. Jangankan sebuah drama, membaca novel saja seringkali meninggalkan jejak air mata.  

Entahlah.

Read Users' Comments (0)