Bina, bukan bina-sakan

Melihat spanduk yang terpampang di hampir setiap stasiun jalur Bogor-Jakarta Kota sungguh menyisakan lautan pilu kehidupan, isinya kurang lebih sama: "kami ini perlu di bina, bukan di bina-sakan" dan "kereta api menuju kapitalisme". 

Dari isi spanduk tersebut jelas sekali yang membuat pasti dari para gabungan pedagang di sekitar stasiun, pedagang yang berjumlah ribuan yang sehari-hari menggantungkan hidupnya di peron stasiun kereta api. 

Munculnya spanduk tersebut bermula dari langkah awal kereta api, dimana dalam hal ini anak usahanya PT. KAI Commuter Jabodetabek yang sedang dalam tahap modernisasi menuju pelayanan yang lebih baik. Kartu Langganan diberi sebutan baru dengan nama Commet dan bisa di tap di setiap stasiun-meski mesin tap-nya minim. 

Dalam cetak biru sampai tahun 2019, di rencanakan semua stasiun akan memakai sistem tap, perusahaan akan menggandeng beberapa bank nasional untuk menyediakan kartu beserta pembelian/pengisian nominal, yang kurang lebih sama seperi ezlink di Singapore dan octopus di HK. Janganlah kita melihat ke-dua negara tersebut dimana kartu yang sudah disebutkan bisa di pakai di semua moda transportasi kecuali taksi, bahkan untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari di minimarket.

Masih dalam cetak biru tersebut, rangkaian kereta akan diperbanyak sehingga jarak antar kereta diperpendek menjadi 3-5 menit, tidak ada lagi kereta jenis ekonomi, dan daya listrik yang digunakan untuk mengakomodir semua rangkaian kereta tersedia melimpah tanpa lagi ada gangguan sinyal atau kurangnya daya alir listrik.

Saat ini stasiun identik dengan kumuh, kotor, dan hal tidak nyaman lainnya. Hal ini sebagai akumulasi dari berbagai pihak. Pertama jelas dari otoritas kereta api yang tidak tegas, dengan mudah memberi ijin berjualan dan menyewakan kios yang membuat sempit ruang tunggu; minimnya kualitas sumber daya baik manusia maupun pendukung. Kedua dengan mudahnya ijin dan tidak tegasnya otoritas kereta api, hal ini menyebabkan para pedagang dengan semaunya menggelar dan menjajakan barang yang dijual. Ketiga penumpang dan calon penumpang yang masih belum sadar diri untuk tertib. Ketiga hal tersebut yang menyebabkan keadaan menjadi seperti sekarang ini. 

Atas dasar itu PT KAI Commuter Line berencana mengelola dan membentuk wajah barunya, dimana pasti salah satunya penertiban pedagang dan naiknya sewa tempat yang berujung pada spanduk yang tidak enak dibaca.

Aku sendiri menilai lahan stasiun yang sudah sempit itu biarlah untuk tempat penumpang menunggu kereta, akses masuk dibatasi, intinya dalam stasiun bebas dari pedagang asongan dan nyaman. Apakah dengan demikian aku menjadi kapitalis? menurutku tidak, karena toh dengan demikian yang seharusnya demikian menjadi demikian. Lantas bagaimana dengan pedagang yang sudah ada sekarang? Dengan sosialisasi yang bertahap dan tidak langsung memukul mundur mereka aku pikir mereka bisa mengerti, opsi berdagang di tempat lain, atau di sekitar stasiun tetapi tidak masuk ke dalam peron maupun lobi cukup masuk akal, intinya otoritas kereta api tidak mengelola bisnis selain inti bisnis.

Beberapa stasiun yang memiliki lahan memungkinkan mulai dari Cikini sampai Jakarta Kota, buat saja tertib berdagang seperti pemilihan pedagang, komitmen untuk menjaga kenyamanan stasiun. Aku pikir kelas pedagang seperti pusat gerai bunga di Cikini; Gerai kerajinan parsel di Cikini bisa memberikan warna tersendiri bagi penumpang dan orang lain, bahkan wisatawan. 

Namun demikian, pemasangan pagar di stasiun Cikini sampai Jakarta Kota aku anggap berlebihan, atau tidak tepat sasaran, mesin tap kartu seharusnya bisa dibuat sejajar dekat dengan lokat karcis tanpa dibuat pagar seperti sekarang yang akan mempersempit gerak para penumpang. Minimnya mesin tap di stasiun selain diatas juga membuat kekhawatiran tersendiri dimana pasti akan terjadi antrian panjang setiap akan masuk stasiun. 

Oya, kalau pedagang bisa mengeluh dan bisa di akomodir, bagaimana dengan para petugas tiket yang notabene pihak ketiga, dengan adanya sistem tap, tenaga mereka sudah tidak di perlukan lagi?

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Bina, bukan bina-sakan"