Di balik perjalanan ke Pulau Pinang

Mom, I wanna take your hand
Liburan Idul Adha kali ini saya tetapkan untuk berlari ke George Town, ibukota Penang, Malaysia. Bangun pukul 5.40 a.m dan belum satu pun persiapan saya lakukan. Segera mandi dan menjejalkan beberapa potong pakaian, dan segera tancap gas. 

Rasanya sesak sekali dada ini saat melihat kerumunan orang berbaju rapi berkoko dan mukena menuju masjid dan lapangan untuk menunaikan sholat ied, sedang saya memakai celana pendek dan berkaos oblong memanggul tas punggung menunggu sebuah angkot. Saya sangat khawatir melihat jam pesawat yang berada di angka 8.05 a.m sedangkan sampai jam 6.18 a.m saya belum mendapatkan sebuah kendaraan pun untuk mengantar ke bandara. Saat sebuah ojek menawarkan jasanya segera saya naik dan menyegerakan untuk mencari sebuah taksi. Tepat pukul 6.30 a.m saya mendapat sebuah taksi dan segera saya pesan untuk mengejar pesawat, sopir taksi mengiyakan dan meminta saya untuk berpegangan kepada dudukan yang ada.

Saat masuk ke dalam tol segera bunyi batas ambang kecepatan mengalun dan melihat kosongnya jalanan membuat saya sedikit lega. Sampai lobi bandara jam menunjukan angka 7.17 a.m dan saya bersorai akan jasa taksi ini. Sebelumnya saya berpikir bahwa kalau sampai tidak terkejar pesawat itu berarti saya tidak ada ridho. Uang tambahan segera keluar padahal saya merencanakan keluar uang hanya IDR 500.000 - 600.000. 

Secara umum liburan kali ini berjalan baik, dapat penginapan murah, dapat makanan enak, dapat teman ngobrol, dapat suasana baru, dapat pemandangan berbeda sampai kepada kejadian di bandara pagi ini yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengutuk diri sendiri. Ini bencana finansial dan sebelumnya tidak saya perkirakan. Sungguh.

Saya sendiri berharap perjalanan kali ini memberi waktu untuk berpikir tentang keluarga, tentang ibu saya yang harus saya tuntun, kalau saya jatuh dan menangis, siapa yang akan berada di sisi beliau?

Saat melihat serombongan pejalan asal Indonesia yang dipandu oleh pemimpin dari sebuah biro perjalanan saya sedikit terhibur, bagaimana mereka berbincang dan sangat berucap terima kasih atas bantuan travel, kalau tidak pasti mereka akan kebingungan dan keluar banyak uang. Saya sungguh tergelitik atas pernyataan tersebut melihat tampang mereka adalah orang berpendidikan dan memiliki cukup dana. Bagaimana merek bisa berpikir seperti itu? Mereka adalah serombongan mas-mas bukan emak-emak rempong.

Dari perjalanan ini saya dapat banyak jalan keluar setelah berpikir, mudah-mudahan bisa di jalankan dan berkomitmen seperti tujuan awal.



Read Users' Comments (0)

Serbaneka pejalan asia

Dari beberapa kali melakukan perjalanan saya mendapati perbedaan signifikan antara pejalan yang berasal dari asia dan non-asia. 

Pejalan asia juga bisa di bedakan berdasarkan negara atau area. Pejalan dari Jepang biasanya terdiri dari rombongan oma opa yang kaya raya dan tinggal nunggu dikubur, walau demikian gaya mereka sangat elegan dengan topi lebar bagi omanya dan pakaian berwarna pastel, sedang bagi sang opa akan memakai kemeja rapi lengan pendek dan di masukan ke celana panjangnya. Mereka akan bergerombol sesekali keluar rombongan dan mengomentari hal yang menarik menurutnya. 

Lain halnya dengan pejalan dari dataran china, dan semua yang berbahasa mandarin, cantonese atau hokkien. Mereka akan bergerombol dan penuh tawa canda dan mendominasi semua obrolan sepanjang perjalanan. Usia dibawah empat puluh dan kadang suka meributkan arah dengan lainnya. Mereka akan sangat memperhatikan penampilan mulai dari rambut sampai kaki dengan gaya terbaru. 

Bagi pejalan dari Timur Tengah yang seiring naiknya kemakmuran mereka jumlah pejalan sepertinya naik tajam. Dengan seluruh anggota keluarga ikut serta, anak-anak layaknya anak yang lain bersepatu dan baju warna warni. Sang nyonya akan memakai cadar dengan setelan baju di dalamnya sesekali terlihat. Bagi tuannya akan memakai celana olahraga pendek, sepatu keds dan berkacamata hitam cling. Mereka memperlihatkan bagaimana uang bisa melakukan segalanya, menginap di hotel berbintang dengan mobil yang akan mengantar kemana saja dan tentunya berpuluh kopor ekstra besar.

Bagi pejalan asal India, bau tubuhnya yang aduhai tertolong dengan wanginya parfum semerbak bak bunga di taman. Tidak perduli lelaki perempuan, semua wangi menusuk. Bagi perempuan yang kebanyakan sudah emak-emak akan mengenakan pakaian sari dan lelakinya berpakaian sangat rapi licin tersetrika bersepatu kulit glossy. Mereka tidak peduli tempat tujuan, yang penting celana rapi, pakaian warna cerah lengan panjang akan masuk ke celana dan selalu ngomong dengan menggoyang goyang kepala. 

Bagi pejalan Indonesia yang masih di dominasi oleh warga keturunan, mereka akan berpura-pura bukan orang Indonesia apabila didapati di areanya terdapat WNI, mereka akan menggunakan hokkien walaupun tidak bisa dibohongi kadang mereka terlontar elu gue dan kantong kresek. Mereka akan bangga menenteng BB dan begitu sampai di bandara tujuan akan sibuk menelepon keluarga di tanah air. Pejalan dari tanah air biasanya gegar budaya dengan langsung berpakaian super pendek baik itu celana atau rok, dan berkaos tanpa lengan bagi cowoknya. Dandanan mereka layaknya bintang korea, bedanya BB dan elu gue tetap ada di jatidirinya. Dalam perjalanan pulang pun mereka akan membanding bandingkan tempat yang dikunjungi dengan keadaan di Indonesia yang kebanyakan adalah mal dan pamer berapa banyaknya kopor yang dihasilkan.

Bagi saya sendiri tidak ada perbedaan signifikan dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia, berkaos celana panjang atau pendek dan berbackpack.

Read Users' Comments (0)

Bersantailah dan kau rugi bandar

Lounge Bayan Lepas Int'l Airport
Dengan lesu aku duduk di lounge Bayan Lepas Penang International Airport, akibat kecerobohanku melayang tiket yang sudah ditangan dan aku mengeluarkan uang lagi senilai MYR 900, mau teriak nggak bisa, mau ngeluh juga salah sendiri.

Kejadiannya berawal pada pagi hari saat bangun pagi waktu menunjuk angka 8.35 a.m dan aku masih punya paling tidak dua jam untuk persiapan sebelum seharusnya pesawat membawaku ke KL jam 11 a.m. Mandi dibawah pancuran dan memutuskan untuk sarapan di lounge hostel sambil santai sejenak. Disinilah letak kecerobohanku, tidak seharusnya aku bersantai, aku harus mengejar bus ke bandara, pikirku pulau pinang ini tidak macet dan bus mudah di dapatkan. Tepat jam 10 a.m aku pergi meninggalkan hostel dengan sebelumnya menanyakan arah dan rute bandara.

Bus ke bandara ternyata susah di dapat, aku jalan dengan kecepatan yang bisa maksimal ku dapatkan, apa daya aku sudah mengarah ke kiri dimana menjauhi arah bandara. Baru jam 10.18 a.m aku dapat bus, dengan terus berdoa aku duduk di kursi bus dan mendapati serombongan turis Taiwan yang sudah dua hari menemani perjalananku disini, dan itu semua tanpa sengaja. Ternyata letak George Town ke Bayan Lepas Penang Int'l Airport cukup memakan waktu, jam 11.15 a.m aku baru sampai di halte bandara. Aku berlari dan sampai di pintu mendapati pesawat tertulis DEPART!, langsung lemas semua sendi. Aku kembali berlari menuju ke kantor perwakilan pesawat yang akan membawaku dan sia sia karena hari ini semua kursi penuh. Aku menuju ke penjualan tiket maskapai lain, mulai dari low cost sampai premium dengan hasil nihil. Dengan gontai aku kembali menuju ke tujuan awal dan setelah panjang lebar mencari rute terbaik akhirnya aku harus rela merogoh kocek MYR 902, dengan kurs Rp 3.700 rasanya bikin sakit hati, tiket seharga itu seharusnya bisa membawaku ke Seoul, Shanghai, Hong Kong atau Cheng Du. 

Aku masih punya delapan jam sampai pesawat membawaku kembali ke Jakarta, tapi dengan pengalaman tadi aku jadi gontai dan tidak bersemangat untuk keluar dari bandara mungil dan kurang hiburan ini. Namun apakah yakin dengan pilihanku dengan tetap tinggal di bandara ini? entahlah, tak banyak kegiatan yang bisa kulakukan.

Mudah-mudahan dengan pengalaman ini bisa membuatku lebih menghargai waktu, dan waktu itu mahal harganya.
 

Read Users' Comments (0)

Cinta lama

Bioma sabana
Dengan berkendara angin, hujan datang sore ini dengan gempita. Ia jatuh menjejak tanah dan menyuarkan aroma yang akhir-akhir ini menjadi kesukaanku. Bau tanah basah menjelang senja. Hujan ini yang selalu ia impikan, hujan yang katanya pembawa suasana, hujan yang seperti namanya dalam filosofi china memberikan berkah dan kedamaian.

Dalam ruang sempit kamarku, dua hari ini aku tepekur bimbang. Hati yang selama ini kebas tiba-tiba bergejolak bimbang tak tentu. Aku jatuh pada cinta lama. Cinta yang dulu susah payah kubenamkan dalam relung paling dalam hingga sanubari pun tak mengenalinya. Cinta yang pernah ku agungkan sesaat. Kini datang lagi. 

Bukan tiba-tiba dan tanpa rencana. Aku memulai. Aku mengambilnya dari lubuk yang paling dalam, berharap ia masih sama, berharap ia tetap pemilik cintaku. 

Ia datang. Serupa tapi tak sama. Bagai pandir dengan keledainya, aku berjalan diantara jalan setapak sabana yang kosong. Bagaimana bisa seiring berjalannya waktu mengharapkan sesuatu tak berubah, bahkan sabana ini pun semakin luas. Hanya sumpah serapah kosong tak bermakna keluar, betapa bodohnya aku. 

Bukan tanpa alasan aku mengambilnya kembali. Bukan tanpa maksud aku merasakannya kembali. Aku beralasan. Aku bermaksud atas semua ini.

Aku ingat kalimat pertamamu saat menapaki jalan ini kembali, "Setahun yang lalu aku disini". 

Cinta lama, berharap padamu akan waktuku, akan kurajut kembali apa yang telah tiada, akan aku benamkan semua bara, akan aku agungkan senandung melodi nan syahdu agar dirimu selalu damai. Akan aku tunggu dirimu pada saatnya. Saat tepat engkau siap kembali merajut asa. Bersamaku.

Read Users' Comments (0)

Aku bisa mati menunggu di sini

Bulan sabit dalam temaram senja
Bulan sabit dengan anggun menampakkan wajahnya setelah kabut tipis malam sisa hujan menghilang. Dalam kekalutan aku susuri jalanan basah malam ini. Lidahku kelu, tak sepatah kata pun terucap sejak semalam, aku ingin bicara, sungguh. 

Roda liar terus terus berputar dalam ramainya suasana, angin malam tampaknya tak sanggup menelusuk hingga relung hati, bahkan luapan emosi sang biduan dalam panggung seni di ujung jalan pun terasa hambar. 

Ototku lemas, jiwaku muram, ragaku senyap. 

Wahai pemilik cinta, tak tahukah sukmamu telah mencuri sukmaku, jiwaku yang pupus akhirnya bertunas, dan hatiku bak gergaji yang tak pernah berhenti bergetar. 

Duhai engkau pemilik cinta, tak tahukah kalau setiap malam aku susah walaupun hanya sekedar memejam mata? pelupuk mataku selalu melihat bayangan kecil dirimu tersenyum, aku tak mau memejam mata dan luput dari bayanganmu. 

Wahai engkau pemilik cinta, bicaralah, jangan engkau diam bak bulan sabit di atas sana. Aku bisa mati menunggu di sini.

#untuk T.E yang sedang diam

Read Users' Comments (0)

Malaka: Sebuah warisan sejarah

Ketika menyebut nama Malaka otomatis otak kita berputar dan menyebut beberapa kata yang terhubung dengannya. Pelabuhan, sejarah, nama kota, Malaysia, Tan Malaka? dan lain sebagainya. Malaka sendiri apabila kita melihat ke dalam sejarahnya merupakan desa nelayan yang ditemukan oleh seorang pangeran dari Sumatera. Oleh pangeran tersebut, Malaka dibuka dan dibangun menjadi pelabuhan penghubung antara China dan India. Dan pada masanya, bersama dengan Pulau Pinang (Penang) dan Tumasik (Singapore), Malaka menjadi jalur perdagangan yang sangat penting. Letaknya yang sangat strategis sejak awal menjadikannya tempat bertumpah darah. Setelah era Majapahit, kolonialisme Portugis, Belanda dan Inggris saling bergantian dan saling memberikan cirinya masing-masing.

The Clock Tower of Melaka
Sejak tahun 2008 Malaka masuk ke dalam UNESCO's World Heritage karena berhasil melestarikan bangunan-bangunan jaman kolonial dan tetap berdiri dan tertata apik sampai saat ini.

Berkunjung ke Malaka tidak memerlukan waktu lama, one-day-trip sudah cukup mengingat dari ujung ke ujung bisa di lakukan dengan berjalan kaki, namun demikian becak berwarna-warni juga siap menemani apabila kita malas berjalan kaki (seperti de javu). Bangunan di Melaka sangat eye-catching karena berwarna serupa merah marun dan mencolok. 

Bagi pecinta sejarah, Malaka merupakan salah satu yang wajib kunjung, semua bangunan terkondisi dan tertata dengan baik, dan jauh dari kesan kumuh. Bangunan-bangunan tersebut saat ini dijadikan museum, tempat ibadah, kedai makan, penginapan, dan sebagainya, namun demikian bentuk bangunan tidak ada yang berubah.

Flor de la Mar Replica as Maritime Museum
Titik paling menarik disini adalah semacam plaza atau alun-alun dimana terdapat Clock Tower berhiaskan air mancur dan dikelilingi oleh gereja yang masih di fungsikan dengan baik. Akan tetapi titik ini bukan awal dari perjalanan sehari menjelajahi jaman kolonialisme di era sekarang. Titik awal yang bisa di pakai adalah persimpangan Discovery dimana di sebelah kanan terdapat kanal yang langsung menuju ke Selat Malaka, apabila kita terus menyusuri kanal ini, kita akan tahu betapa pentingnya kanal ini bagi Malaka. Karena selain sebagai jalannya air dan pencegah banjir, kanal ini juga di fungsikan sebagai jalan bagi wisata berkeliling menggunakan kapal yang akan singgah di tiap halte yang ada. 

Setelah melewati jalanan berhias bangunan bergaya art-deco di kanan dan kiri, kita akan langsung menuju plaza tersebut. Flyer dan panduan yang disediakan secara cuma-cuma akan menggiring kita menaiki sebuah bukit berisi aneka museum dan reruntuhan gereja yang sangat terkenal yaitu St. Paul. Dari reruntuhan gereja ini kita bisa memandang dan melihat situasi Selat Malaka dan kota Malaka itu sendiri. Tidak ada lokasi yang luput disini karena setiap inchi tanah sepertinya sudah dikemas apik dan sangat menjual, bahkan untuk sebuah kuburan pun. Kita seharusnya iri dengan pengemasan ini.

Reruntuhan St. Paul
Setelah lelah berkeliling, aneka makanan siap mengisi perut di foodcourt yang terletak di bawah bukit. Aneka hidangan mulai dari melayu, arab, tradisional sampai ke western internasional semua ada. Selain itu kita bisa melakukan sholat di mushola yang pada jaman dahulu merupakan cikal bakal berkembangnya Islam disana.

Saya sendiri paling berkesan dengan replika kapal Flor de la Mar yang dijadikan sebagai Museum Maritim. Melihat dari kejauhan saja sudah membayangkan cerita tersendiri, apalagi saat memasuki bagian kapalnya, kita akan diajak berkeliling mulai dari ujung kapal ke bagian lainnya dimana disana diceritakan sejarah bagian per bagian lengkap dengan mitos, legenda, fakta dan pengejawantahannya pada masa kini. Sungguh, kita berada di dalam replika kapal yang cukup di kenal pada masanya.

Bagi pecinta rempah, Malaka juga menyediakan toko-toko yang menjual aneka macam rempah yang bahkan di Indonesia saya belum pernah melihat ada tempat yang selengkap ini. Bisa jadi ini sebagai penekan dan penanda bahwa Malaka memiliki peranan penting dalam perdagangan rempah-rempah.

Malaka, satu lagi contoh bagi Indonesia bagaimana mengelola bangunan sejarah dan mengemasnya menjadi jualan yang ciamik.

Read Users' Comments (0)

Yehliu Geopark: Taman kapur beraneka rupa

Dinginnya pagi di bulan desember tak menyurutkan niat untuk pergi menikmati secuil keindahan pulau formosa. Kali ini kami pergi ke Yehliu Geopark, dimana batuan kapur membentuk suatu gugusan dan bentuk lain seperti mushroom, queen's head, sea candles dan sebagainya. Batuan kapur ini terbentuk sebagai akibat erosi samudera pasifik yang berarus deras dan mematikan, dan pergerakan lempeng bumi dimana pulau formosa sendiri masuk ke dalam cincin api. Sayangnya, banyak bentuk-bentuk yang cantik ini akan terus tergerus erosi dan terus bergeraknya lempengan bumi sehingga beberapa tahun ke depan dikhawatirkan akan memiliki bentuk yang lain.

Yehliu sendiri berasal dari bahasa Pinpu, bahasa aborigin Taiwan, dan bahasa Spanyol "Punto Diablos" yang berarti Tanjung Setan. Namun demikian ada suatu cerita kenapa tempat tersebut dinamakan Yehliu, pada jaman dahulu warga sekitar merupakan nelayan yang hidup di laut, mungkin sama dengan orang Bajo di Indonesia dan mendapatkan beras dari penduduk pulau. Uniknya pengambilan beras dilakukan dengan menggunakan bilah bambu yang sudah dilubangi bagian ujungnya, para pedagang pada akhirnya menyebut proses ini sebagai "beras yang di curi oleh suku asing" dimana "suku asing" berarti Yeh, dan "dicuri" berarti Liu dalam bahasa Taiwan.

Mushroom Rock
Perjalanan dari tempat kami menginap di Taoyuan menuju lokasi berhias tebing dan jurang yang saling bergantian dengan hutan yang tidak rapat. Perjalanan sekitar satu setengah jam tak terasa dengan jalanan mulus dan sikap para pengemudi yang luar biasa tertib, bahkan saat terjadi kemacetan pun tidak ada yang berusaha mendahului. Setelah melewati pinggiran Taipei kami keluar dan melewati Keelung (Jilong/Chilung) dimana terdapat pelabuhan ekspor terbesar ke-dua di Taiwan.

Untuk masuk ke Yehliu Geopark, kami membeli karcis seharga NT50 (New Taiwan Dollar) dan buka mulai dari jam 8 pagi sampai dengan jam 5 sore. Lokasi ini secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama yaitu lokasi dimana mushroom rocks berada. Di lokasi ini kita bisa melihat proses alam batuan kapur ini terbentuk menjadi sesuatu, dari yang hanya batuan berlubang kecil, menjadi lebih berbentuk sesuatu hingga sampai menyerupai jamur.

The Queen's Head
Area kedua sebenarnya mirip dengan yang pertama, hanya saja disini kita bisa melihat bentuk batuan kapur ini yang tadinya menyerupai jamur berubah menjadi bentuk aneh lainnya, dan yang sangat terkenal adalah Queen's Head. Tidak mudah untuk mengabadikan bentuk ini, hampir semua orang berebut ingin berfoto disana, untung saja jembatan kayu yang kami lewati mampu menahan banyaknya kumpulan orang yang rela antre hingga hitungan menit untuk mengabadikan momen tersebut.

Area ketiga adalah area paling ujung dari komplek ini dan merupakan area paling luas dimana kita dipandu menggunakan jalanan kayu dari satu titik ke titik lainnya. Disini kita bisa melihat proses erosi laut karena letak tanah jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya.

Komplek ini sangat dekat dengan pantai curam berbatu yang seringkali ombak besar menghantam, di beberapa titik sangat licin sehingga perlu kehati-hatian dari pengunjung supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pernah ada salah satu anak sekolah yang hilang di telan ombak saat mengadaan wisata sekolah dan jasadnya tidak ditemukan sampai sekarang. Orang tuanya kemudian membangun sebuah tugu peringatan di sini untuk mengenangnya dan sebagai peringatan bagi kita semua.

Yehliu Geopark sangat dikenal bagi para pecinta geologi dan wisatawan baik asing maupun lokal. Melihat bentuknya yang sangat tidak biasa pasti memberikan kesan yang dalam bagi kita setelah berkunjung kesana dan mengucap syukur akan keagungan Yang Maha Esa.

Read Users' Comments (0)

Catatan pinggir untuk AS

Malam ini dalam dinginnya air conditioner aku duduk sendiri dalam ruangan yang selalu aku banggakan. Aku menatap nanar layar monitor. Dalam jemari yang gemetar kucoba ungkapkan isi hatiku disini saat ini. Telapak kakiku masih rapat. Pikiranku kacau tak karuan. Aku tadi menangis sesenggukan tak tahu kemana harus bersandar. Semua orang bertanya. Aku tak punya jawaban. Satu-dua orang menatap iba, sisanya prasangka.

Malam ini seharusnya aku sedang tersenyum riang menatap ulah Bridget di cakram atau melihat anak-anak riang gembira memasak dalam serial Junior Masterchef: Australia. Namun aku terkurung dalam ruangan tanpa bisa merasakan emosi lain untuk menikmati suasana. Aku pengap dalam kedinginan. Aku lapar dalam ketidaklaparan. Aku haus dalam ketidakhausan. 

Malam ini aku kembali menjadi seorang yang luluh lantak akibat sebuah keegoisan semata. Aku ini siapa? 
Dalam rentangan 365, sosok yang selama ini memesona seketika jatuh ke dalam jurang yang dalam. Aku disini masih menghamba, mengharap pada fananya dunia akan sebuah keniscayaan bahwa semua itu tiada benar adanya. Dadaku sesak, hatiku pilu, mulutku kelu.

Saat ini, aku hanya mengharap sebuah ranjang empuk dan sebuah bantal untuk kembali. Air mata di pelupuk pun sudah kering rasanya. Dan lagi, tubuhku gemetar, kakiku rapat.

Hari ini, jumat yang selalu orang rindukan dan selalu maniskan menjadi T.G.I.F! Sore ini, saat seharusnya energi terkumpul untuk beban selain pekerjaan, runtuh seketika oleh rentetan berita, pesan singkat, pesan layar, dan dering telepon. Bagaimana mereka bersepakat dalam waktu yang bersamaan? Dengar! aku tidak punya jawaban.

Tangis pilu kembali tumpah tatkala seorang perempuan diujung telepon mengharap sebuah jawaban, bagaimana aku harus menjawab? Dibelakangnya tawa riang anak kecil bernyanyi, sungguh peristiwa ini tak terbayangkan terjadi tatkala seorang anak yang tidak berdosa dipaksa kehilangan orang yang dicintainya, walaupun untuk sementara. Aku limbung.

Sejenak ku hirup udara. Aku masih disini. Aku masih memiliki kepercayaan itu. Aku masih setia. Dan aku selalu berdoa yang terbaik untukmu.

Read Users' Comments (0)

Hujan sore ini

Dalam keheningan kamar sayup-sayup kudengar tetesan air hujan jatuh menapak tanah. Cuaca yang panas tak berangin tiba-tiba berubah, seketika bau tanah menyeruak menusuk hidung memberi nuansa melankolis tersendiri. 

Sore ini aku masih duduk di depan layar laptop tanpa bergeming. Baru saja dalam hitungan menit sebuah pesan masuk dari nomor tak di kenal membuka sebuah percakapan dan kenangan lalu. Tanpa menyebut identitas, seketika mengalir sebuah percakapan pendek. Dia hadir kembali dari masa lalu. Entah mungkin dia sadar yang telah ia lakukan atau memang sebab lain, tiba-tiba saja terputus tanpa ada lanjutan kata.

Aku terlalu malu untuk menanyakan siapakah sebenarnya dia, egoku terlalu besar. Sekedar membuat pesan baru untuk menegaskan pesan sebelumnya saja tidak mau. Aku, disini, ternyata masih menyimpan kenangan itu. Lebih dari itu, ego yang ada di diriku tidak luntur barang sedikit pun. 

Di temaram senja dan alunan merdu nyanyian alam berbentuk hujan, aku masih saja bimbang. Aku ragu. Aku malu. Aku... aku.... aku... aku tidak mampu membuat kenangan lama itu hadir kembali. Bukannya tidak mau, tetapi aku sadar aku tidak sanggup untuk menerima kembali masa lalu, efek dan akibatnya padaku saat ini.

Bersama dengan hilangnya deras hujan, aku memandang lekat jejeran novel di papan kayu kamarku. Melankolis sore ini laiknya sebuah novel dimana lakonnya aku sendiri yang berhak memutuskan kemana aku harus kembali melangkah.

Read Users' Comments (0)

Minggu Pagi di Victoria Park*)

Causeway Bay Area
Bagaimana menjadi pekerja migran di Hong Kong? "Senin sampai sabtu kita jadi babu, minggu kita jadi Ratu Sehari" demikian salah seorang tenaga migran Indonesia berceloteh dengan riangnya sambil menikmati sambel yang sepertinya cukup pedas sampai membuat buliran keringat di muka cemongnya. Minggu ini bertepatan dengan Idul Adha, Victoria Park berubah menjadi lautan warna putih mbak-mbak menunaikan sholat Ied. 

Bagi pekerja migran Indonesia, Victoria Park merupakan area wajib kunjung di hari libur yang kebanyakan jatuh pada hari minggu. Sama seperti Statue Square di Central bagi pekerja migran Philippina. Setiap hari minggu mereka akan berkumpul, sesuai dengan daerah asalnya, kenalannya, atau kerabatnya. Mereka sering membawa masakan sendiri dari rumah yang merupakan masakan tanah air. Apalagi kalau salah satu pekerja migran tersebut habis pulang dari tanah air membawa makanan khas, yang ada jadi arena rebutan. Kalaupun mereka tidak masak masakan tanah air, di jalanan sepanjang Victoria Park akan sangat mudah di jumpai kedai makanan yang menyediakan masakan Indonesia. 

Area Victoria Park di hari minggu berubah layaknya kawasan Monas. Mbak-mbak berkumpul sambil menikmati hidangan yang mereka bawa, celotehan ringan dan riang keluar dari mulut mereka, saling teriak senang dan tertawa. Hari minggu itu juga menjadi arena bagi mereka yang baru mendapatkan gaji untuk saling mentraktir, mengadakan pesta kecil serta membelikan hadiah bagi yang berulang tahun, membeli gadget terbaru dan saling memamerkannya. Tak jarang kita dengar celotehan khas sambil tertawa atau menangis saat mereka menelepon kerabat di tanah air. 
Indonesian Domestic Helpers

Hari minggu itu saya janjian dengan teman-teman sekampung, saat bertemu bungah rasanya, ketemu dengan teman sewaktu sekolah dahulu namun dengan kondisi yang berbeda. Hari itu mereka di undang untuk berkumpul di rumah salah satu teman untuk merayakan Idul Adha, namun dengan berat hati saya menolak dengan alasan sempitnya waktu. 

Bersama dengan Eni dan Widhi, saya kemudian di ajak makan di kedai yang menyediakan Korean Cuisine. Sebelumnya saya di ajak berkeliling taman dari sudut ke sudut, kebetulan ada bazzar tanah air juga yang menyediakan aneka hal yang berhubungan dengan tanah air. Disini juga saya di tunjukkan lokasi berkumpulnya para Pasangan Lesbian yang luar biasa banyaknya.

Sebagai informasi, Pasangan Lesbian ini biasanya muncul dengan gaya a la Harajuku, bagi yang "pria" akan bergaya dengan rambut pendek semir pirang atau warna ngejreng lainnya, celana jins belel dan sepatu keds dengan jalan layaknya lelaki, bahu diangkat dan langkah kaki yang panjang. Sedangkan bagi "wanita" tidak jauh berbeda dengan perempuan pada umumnya hanya saja mereka memakai baju dominan hitam dan dandanan gothic. Mereka dengan santai akan saling rangkul sambil berjalan atau bahkan berciuman di bawah pohon.

Informasi lain mengatakan bahwa banyak dari mereka sudah menikah dan dirayakan dengan mewah juga. Kebebasan Hong Kong sepertinya memberikan angin segar bagi mereka. Bahkan ada yang bilang, disini di Hong Kong bisa di bagi menjadi tiga, yang pertama adalah Pasangan Lesbian, yang kedua pacaran dengan orang Pakistan, dan yang ketiga tetap ndeso karena tidak laku. Memang semua itu adalah sebuah pilihan. Benar tidaknya siapa yang tahu. Menjadi pekerja migran di Hong Kong memang mendapat jaminan penuh dari pemerintahnya.

Widhi, Saya, dan Eni di Minggu Pagi di Victoria Park
Setelah selesai berkeliling taman dan melewati ribuan pekerja migran yang saling berdesak-desakan di jalanan sekitar Causeway Bay, sampai juga kami di sebuah kedai makan yang menyediakan makanan korea. Bagi Eni dan Widhi, dan tentu saja pekerja migran lainnya, hari minggu atau hari libur lainnya mereka habiskan dengan menyenangkan diri sendiri, seperti yang dibilang di atas, menjadi Ratu Sehari. Mereka luangkan waktunya sehari penuh dengan berkumpul bersama bertemu dengan yang lainnya, makan di tempat yang tidak biasa, menghabiskan waktu ke salon, membeli pernak-pernik di pasar sampai kepada berwisata layaknya turis. 

Mendengarkan cerita suka duka mereka rasanya saya harus bersyukur. Bagaimana pun hidup di negeri sendiri lebih menyenangkan. Sama seperti teman-teman seperjuangan saya yang penempatan di luar jawa, walaupun alamnya elok, lingkungannya berbeda, namun tidaklah enak kalau sampai di habiskan bertahun-tahun.

*) Judul layaknya film Lola Amaria

Read Users' Comments (0)

Temaram senja di Gili Trawangan

Temaram senja ditemani Gunung Agung
Dalam hening aku kayuh kereta angin dengan kecepatan normal, aku terseok kesana kemari, medan yang kulalui tidaklah mudah, jalur berpasir lebih banyak daripada tanah. Suasana sore ini sesungguhnya memberikan kesan bahwa hidup tidaklah hanya sebuah kubikel, menelepon klien, menulis surat, merekam dan terpaksa tersenyum manis.

Disini, di ujung barat Nusa Tenggara, kutemukan sebuah kebahagiaan baru, titik keseimbangan baru dimana hamparan pasir putih jelas lebih nyaman daripada sebuah kubikel, dimana semilir angin jelas lebih menyegarkan dari air conditioner, dimana warna jingga senja lebih hidup daripada sebuah stabilo.

Senja di Gili Trawangan ku lalui dengan duduk diantara tiga balok kayu rapuh. Aku duduk menatap lurus ke arah mentari yang semakin condong. Sesekali kulirik Gunung Agung di pulau Bali yang berdiri tegah dengan gagahnya. Beberapa pemancing lokal masih asyik dengan kailnya mencoba peruntungannya. Anak-anak dengan tekun mencari kerang, ikan kecil dan udang yang terperangkap di bebatuan. 

Agak lama aku habiskan waktuku duduk diatas balok ini. Aku renungkan beberapa hal dalam kehidupanku. Biasanya aku hanya terlelap dalam rutinitas monoton dari pagi sampai pagi lagi tanpa ada esensi yang benar-benar membekas. Disini aku berkesempatan untuk mengevaluasi diri, apa dan bagaimana yang sudah maupun yang akan terjadi dan lakukan. Terkesan cemen memang, masa iya di tempat sunyi seperti ini kita bisa tepekur dan memikirkan masa depan? 

Pemancing lokal dan Mentari jingga
Nyatanya, di tempat tanpa beban seperti ini, aku bisa dengan mudah membuka lembaran-lembaran kehidupan yang sudah kulalui, ku telaah satu per satu, ku hitung setiap hal material yang sudah kulakukan. 

Hari ini, lebih dari setahun lalu aku berada di Gili Trawangan. Hari ini, aku berada pada puncak kegalauan, sudah lama sekali aku tidak berjalan sendirian menikmati waktu memikirkan sesuatu, entah apapun itu.

Dan malam ini, dimana segalanya seharusnya di pikirkan kembali, aku berada pada posisi, biarkan mengalir dahulu. Sungguh pun waktu sehari ada dua puluh empat jam, rasanya hanya beberapa menit aku melewatinya.

Read Users' Comments (0)

Good morning, Jules

Colors of Happiness
Semilir angin pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, berputar dan membelai wajahku, "Hey, bangun tukang tidur, sekarang Jules, sambut dan bersuka citalah".

Masih malas untuk beranjak, aku biarkan tubuhku bermain dengan lembutnya seprai, mencoba beragam gaya tidur-tidur ayam sampai pada titik dimana akhirnya sebuah kesadaran penuh muncul. Secangkir teh dan musik ringan seharusnya cocok untuk suasana seperti ini, kicauan burung di luar semakin menambah suasana riang gembira. Kubuka kantung teh, sejenak menghirup aroma wanginya dan menyeduh air. Padanan yang pas.

Alunan musik segera menyebar ke seluruh ruangan saat dentingan piano Jim Brickman memulai dengan indahnya. Sahabatku, sang pecinta dentingan piano berujar, "Tak ada yang seindah pagi hari selain di temani alunan piano dan secangkir teh". Well, dalih kesendirian dalam kalimat tersebut sepertinya tidak mengganggu semua proses ritual bagaimana pagi hari dilewatkan.

Dalam balutan brief dan oblong kubuka laptop dan memulai membuka kabar pagi hari. Pagi hari yang cantik ini seharusnya berisi berita yang menyenangkan. Namun demikian, hidup tidaklah seindah roman picisan atau kalimat-kalimat yang keluar dari seorang motivator. Selalu ada waktu dimana saat buruk dan tidak beruntung menerpa.

Pagi ini sepertinya sangat mendukung untuk memulai sebuah kesepakatan diri, dalam hal baik tentunya. Segar dan wanginya teh melati sungguh menggugah jiwa memberi tambahan energi untuk membantu bagaimana kesepakatan berjalan dengan baik. Sebuah hari baru dalam bulan baru adalah waktu yang tepat. 

Akhirnya, kuucapkan "Selamat pagi, Jules, harimu akan kuisi dengan hal-hal yang baik dan penuh semangat".

Read Users' Comments (0)

Pasar Malam

Bianglala, magnet Pasar Malam
Dalam sebuah kegalauan aku berjalan dari stasiun kereta menuju arah pulang. Riuhnya stasiun makin bertambah saat memasuki area pasar, dengan kondisi becek dan bau sengak ditambah suara hiruk-pikuk tawar menawar semakin memberi kesan hidup. 

Dalam hitungan langkah aku sudah berada di depan lapangan luas dengan suasana berbeda, sebuah Pasar Malam. 

Seketika aku kembali ke masa lalu dimana aku adalah seorang anak desa yang lugu yang taunya hanya mainan dan kesenangan. Kala itu desa tempat aku dibesarkan kedatangan tamu. Bapakku yang masih menjabat sebagai Kepala Desa menerima rombongan tersebut saat berada di rumah. Kebiasaan saat aku kecil, aku mengintip mencuri dengar kira-kira apa yang sedang diperbincangkan, sesekali Bapak tau apa yang kulakukan, seperti saat ada tamu tersebut. Kalau sudah begitu, biasanya aku diperkenalkan kepada para tamu dan diminta duduk bersama dengan mereka, ini adalah kesempatanku untuk mencari tahu lebih dalam lagi kira-kira apa isi perbincangan itu.

Saat mereka menyampaikan maksud kedatangannya, saat itu aku langsung riang bukan kepalang, bahkan salah seorang tamu langsung menawariku tiket masuk wahana non-stop tanpa bayaran. Saat itu yang ada di otakku hanya riang, riang dan riang. Aku menyebarkan kabar kepada teman-teman bahwa akan ada Pasar Malam dan aku mendapatkan tiket gratis sampai selesai yang tentu saja membuat gumaman iri dari mereka.

Pasar Malam diselenggarakan selama sebulan penuh, hampir tiap malam aku berkesempatan untuk naik berbagai wahana. Dari penyelenggaraan itu aku tahu banyak bahwa Pasar Malam bisa berarti tangisan anak-anak, senda-gurau, kegalauan orang tua yang tidak memiliki cukup uang, mainan, benih-benih asmara, sampai kepada perkelahian antar pemuda. 

Dari banyak hal itu, yang membuat aku ingat sampai saat ini adalah saat aku merengek dan menangis sejadi-jadinya karena urung dibelikan mainan berupa pemancingan ikan. Saat itu aku berumur 7 tahun dan aku suka ikan. Saat memasuki Pasar Malam tiba-tiba aku melihat sebuah mainan yang sungguh luar biasa menarik, satu set kolam berisi ikan dan alat pancing, bisa berputar lagi. Lama sekali aku mengagumi mainan itu sampai saat jam tutup aku masih duduk di depan konter mainan. Ibu Bapakku sudah meminta aku pulang tetapi aku menolak kalau tidak membawa mainan itu. Orang tua ku menolak dengan alasan terlalu mahal, waktu itu harganya lima ribu rupiah, cukup mahal memang karena hadiah juara kelasku saja senilai itu dan saat pulang dari pasar aku bisa mendapatkan sebuah sepatu dan beli es krim. Aku menangis cukup lama dan akhirnya Bapakku mengalah membelikan aku mainan itu. Terima kasih Bapak. Sungguh segalak-galaknya Bapak, beliau selalu menuruti permintaanku.

Kembali ke Pasar Malam ini rasanya seketika kenangan itu muncul, aku luangkan waktu untuk berkeliling melihat situasi, memang kondisinya berbeda dengan jaman dahulu, tetapi warna hidupnya tetap ada. Aku malu saat mengingat peristiwa memalukan itu. Sungguh aku baru menyadari kalau semasa kecil aku juara merajuk.

Seketika ku melangkah pergi meninggalkan Pasar Malam yang semakin malam semakin ramai dikunjungi remaja.

Read Users' Comments (1)komentar

Terlena di Ubud, tersaput kabut di Penelokan

Dalam balutan kaos dan celana pendek saya mengemudi matic sewaan dari Kuta menuju Danau Batur. Perjalanan dimulai saat matahari tepat di ubun-ubun dan mengarah ke timur laut sesuai dengan peta. Jalanan Denpasar yang padat merayap menyambut saya dengan ramah, perilaku pengemudi yang lebih teratur di bandingkan Jabodetabek membuat keadaan menjadi lebih baik, tidak ada bunyi klakson apalagi teriakan memaki. Jalanan yang lurus, licin, rapi, dan teratur membawa saya di daerah Sukowati dimana saya melewati jejeran bus pariwisata, hal baik yang menanda adanya kegiatan di dalamnya yang pasti riuh, saya hanya tersenyum dan memacu matic lebih kencang dari sebelumnya, sebelum tergoda untuk singgah.

Selepas Sukowati yang riuh rendah, angin membawa saya menuju ke Ubud, perjalanan kali ini sangat menggairahkan, sepanjang jalan kita akan disapa oleh ratusan Pura, Galeri, dan kawasan persawahan maupun hutan rakyat. Sejuknya udara begitu menghipnotis saya, dan tanpa sadar rintik hujan turun ikut menyapa, mengucapkan selamat datang. Sesekali saya bersua dengan wisatawan yang memiliki caranya sendiri untuk menikmati keindahan Bali, bersepeda, bercerita, berdecak kagum, dan merenung.

Terasiring, Ubud
Ubud yang damai begitu melenakan, lansekap terasiring dari teras cafe semakin memberikan nuansa alam yang unik dan serba ada. Riuhnya pengunjung sembari menikmati hidangan begitu terinspirasi oleh eloknya perpaduan warna hijau dedaunan dan tanah kecokelatan, belum nampak pemandangan indah kuning dan hijau padi-padian, ditambah lagi objek petani lengkap dengan caping dan keranjang berisi rumput begitu menggoda pengunjung untuk mengabadikannya dengan berbagai gaya. 

Ubud memang damai, rasanya tak rela untuk pergi meninggalkannya. Bahkan kelamnya langit pun masih belum bisa membuat saya rela pergi meninggalkannya.

Saat rintik hujan semakin besar, saya pacu naik matic sewaan menuju ke sebuah lansekap lain. Saya begitu takjub dengan apa yang disajikan alam kali ini, bahkan ular pun tak mampu menyadarkan saya bagaimana begitu cantiknya lansekap ini. Bukti yang menggelitik adalah saya begitu fokus pada sebuah pertigaan, gunung cantik berwarna kehitaman dengan siluet danau di dasarnya di selimuti oleh kabut yang turun perlahan, saya sampai di kejar oleh sekelompok petugas karcis, saya tidak melihatnya.

Lansekap Penelokan
Pesona Penelokan ini sungguh tiada tara, saya teringat kampung halaman saya di Wonosobo. Tebalnya kabut semakin membuat mistis alam. Saya duduk merenung dan memandang semua pesona di depan mata. Lama saya tepekur di bibir jurang dan semakin merapatkan semua kulit. Kalau boleh menganalogikan, dalam suasana seperti saya berada disana, duduk sendiri mengevaluasi diri ditemani secangkir teh manis hangat, rasanya seakan lupa akan permasalahan dunia.

Read Users' Comments (0)

April yang terlewat

Bukan tanpa jejak aku melepasmu, bukan tanpa perasaan aku meninggalkanmu. 
Bagiku engkau sungguh berarti, tanpamu aku tiada disini.
Sungguh hadirmu selalu ku nanti, betapa berat apapun yang ku alami.
April, bukan kesempatan yang terlewat, hanya rekam jejak yang terlupa.
April, aku melaluimu tahun ini dengan sukacita, sungguh!
April, sepertigamu kulalui dengan pengalaman baru, menambah ilmu baru.
April, sepertigamu lagi kulalui dengan perasaan baru, tekad dan semangat baru sampai saat ini dan kemudian.
April, sepertigamu lagi yang terakhir kulalui dengan beragam aktifitas, mengejar kereta, menelepon dosen pembimbing, dan berjualan makanan.
April, sungguh aku melaluimu dengan sukacita!

Read Users' Comments (0)

Hong Kong: Central to the Peak

Maps of Central to Peak Tram Terminus
Ada sebuah ungkapan begini "jangan bilang pernah ke Hong Kong kalau belum sampai di the Peak", mungkin ungkapan tersebut bisa jadi merupakan gambaran bagaimana suasana the Peak yang sebenarnya.

The Peak atau Victoria Peak atau secara geografi memiliki nama Mount Austin merupakan tempat tertinggi di Hong Kong Island. Kita bisa melihat Hong Kong di bawahnya dan Kowloon di seberang lautan, dan saat senja menjelang, suasana begitu ramai, kita bisa melihat saat matahari terbenam dan bagaimana lampu-lampu gedung di Hong Kong dan Kowloon akan menyala satu per satu, sampai pada acara Symphony of Lights yang digelar setiap hari mulai pukul 8 malam. 

Mudah saja kita menuju kesana. Saat saya sedang menyusuri Rute Central, secara tidak sengaja saya melihat Peak Tram Terminus karena ternyata letaknya bersinggungan dengan rute yang ada. Setelah lelah berjalan kaki dari SoHo menuju ke lokasi Peak Tram Terminus, saya membeli tiket pulang-balik menggunakan Peak Tram. Beberapa tips perjalanan menuju ke the Peak berbunyi "saat naik ke the Peak, usahakan apabila naik menggunakan Peak Tram, turun dengan bus, kalian akan di suguhi pemandangan yang benar-benar luar biasa", namun saya mengesampingkan hal tersebut, saya membeli tiket terusan dengan alasan praktis, saya akan sampai malam di the Peak dan malas lagi untuk mencari rute pulang.

Bruce Lee @Madame Tussaud
Seperti apa sih rasanya naik Tram? Apa beda Tram yang di jalur rata dengan Peak Tram? Tram yang saya naiki untuk menuju ke the Peak ini berwarna merah dengan gaya awal 1900an awalnya merupakan moda transportasi untuk membawa barang dan manusia dari dan menuju ke puncak, jadi Tram ini berusia lebih 100 tahun, luar biasa ya. 

Jalurnya mula-mula kemiringan 30 derajat dan semakin kita naik, kemiringan terus bertambah sampai mendekati 90 derajat, dengan pemandangan sebelah kiri kita adalah hutan sedangkan sebelah kanan jurang dimana kita bisa melihat laut di sekitar Kowloon dan Central. Di tengah-tengah perjalanan, tram akan benar-benar berhenti untuk memberi kita kesempatan melihat pemandangan di sebelah kanan.

Sesampainya di Terminus sajian pertama yang muncul adalah lorong yang berisi toko oleh-oleh khas, pintar sekali orang Hong Kong ini menggiring wisatawan untuk belanja. Kita benar-benar tidak bisa melewati jalan lain selain melewati lorong yang kanan kirinya melambai-lambai pernak pernik yang cantik.

Begitu naik ke level berikutnya, Musem Madam Tussaud akan memaksa kita untuk masuk, museum lilin ini ramai dengan pengunjung, terlebih lagi di area lobi dipasang patung lilin dengan fasilitas gratis seperti Bruce Lee dan Madonna. Kalau mau melihat lebih lagi, tinggal bayar tiket masuknya. Saya sendiri ogah masuk, mahal dan tidak memberikan pengalaman apapun.

The Peak famous vista over Hong Kong Island and beyond
Begitu pintu keluar gedung menuju area terrace The Peak angin langsung saja menyapa, mungkin mereka berkata "lihatlah, ini Hong Kong sekarang, modern sophisticated and traditional". Saya sampai sana masih agak sorean, saya masih sempat melihat awan-awan berarak cantik di atas dan di ufuk barat mulai berwarna kemerahan tanda senja mulai menyapa.

Area disini terdapat sejarah Hong Kong era perang opium sampai ke tangan Inggris. Dan yang tidak ketinggalan, disini terdapat ucapan cinta berwarna ungu dimana kita bisa menyematkan best wishes. Saya tentu saja melakukannya dan dengan sedikit malu minta untuk di foto kepada seseorang di sebelah saya. Semacam gembok cinta yang ada di belahan dunia lain.

Menjelang malam, kita akan sedikit terusir oleh penjaja foto yang memaksa meminta spot untuk orang yang rela membayar untuk pose yang memang ciamik. Posisinya benar-benar pas, mereka tahu benar tempatnya. Setelah lelah hanya duduk memandang kejauhan, dan ditemani oleh lampu-lampu gedung yang fantastik, saya segera bergeser menuju elevator saat orang-orang mulai berteriak, "oooh..." "aaaaahhhh" dan badan saya kemudian berbalik melihat apa yang terjadi yang ternyata merupakan pertunjukan Symphony of Lights.

Setelah 15 menit saya menonton pertunjukan itu, saya paksakan turun, di tram saya sempat tertidur dan ditertawakan karena mau terjatuh. Sesampainya di Terminus bawah, segera saja saya jalan cepat menuju stasiun MTR terdekat dan berebut kereta dengan yang lain menuju lokasi selanjutnya.

The Peak a minute before Symphony of Lights

Read Users' Comments (0)

Macau: Disaster

@Senado Square
Bayangkan sejenak saat kalian merencanakan sesuatu dengan sempurna kemudian karena sebab yang tidak bisa di lawan menjadi berantakan. Saya mengalaminya saat perjalanan ke Macau. Perjalanan ini saya rencanakan satu hari satu malam dari Hong Kong dan menyebrang pada pagi hari, apa daya, induk semang selama di Hong Kong menahan saya lebih lama dan menyarankan saya berangkat di sore hari.

Perjalanan ke Macau saya lalui dengan tidur di dalam ferry dan begitu turun di dermaga, ternyata Macau hujan deras, saya langsung panik, dengan minimnya informasi dan kurangnya transportasi publik membuat saya sedikit khawatir dan makin khawatir saat saya menunggu lebih dari dua jam antrian di Imigrasi. Puncaknya saya bingung dan mondar-mandir apakah akan menuju Venetian atau mencari penginapan terlebih dahulu, sungguh saya menyia-nyiakan waktu selama satu jam sebelum akhirnya saya memutuskan untuk mencari penginapan, hal yang kemudian saya sesali.

Macau pada saat hujan ternyata macet luar biasa, tidak beda dengan Jakarta, sampai warga lokal memilih turun dan berjalan kaki. Dalam bus saya memerhatikan mbak-mbak dengan logat medok jawa ngobrol di telepon selularnya. Saya beranikan untuk mengajak ngobrol begitu selesai, dan saya di tawarkan untuk mampir ke tempatnya sebelum nanti akan di antar ke penginapan yang saya cari, saya tolak dengan pertimbangan mbak-mbaknya genit dan saya takut di paksa tidur dengannya. Sungguh! Hal ini yang kemudian saya sesali juga beberapa jam berikutnya.

Setelah turun dari bus setelah tidak tahan macet saya berjalan menelusuri jalan demi jalan dan akhirnya menemukan Senado Square dimana banyak bangunan wisata. Saya memutuskan untuk menukarkan HKD ke Macau Picata dan kemudian saya sesali karena ternyata HKD lebih diterima daripada mata uang lokalnya, hal yang menurut saya aneh. Pantas saja mbak-mbak di penukaran uang memicingkan mata saat saya menukarkan mata uang tersebut. 

Saya telah berjalan lebih dari satu jam untuk sampai di Senado Square, dengan backpack yang melebihi berat badan saya dan hujan mengguyur, praktis saya capai lahir dan bathin, saat makan di sebuah McDonalds lebih parah lagi, saya mengajak ngobrol sepasang lesbian migran Indonesia yang sedang berlibur ke Macau dari tempat kerjanya di Hong Kong dan saya di ajak tidur, katanya sebagai selingan, dan lebih nggak tahu malunya, mereka menyebut saya pekerja migran yang kabur dari Korea dan sedang mencari kekasihnya yang menjadi waitress di Kasino Macau. Edan!!!!

Dyke issued di kalangan pekerja migran Indonesia di Hong Kong merupakan hal lumrah dan kalau ingin tahu secara gamblang, datanglah pada hari minggu pagi ke Victoria Park, maka kalian akan shock melihat mereka dengan biasa mencium kekasihnya di bangku taman. 

Kembali ke kecauan selama di Macau. Tidak berhenti pada hal di atas, saya bertanya kepada mbak-mbak penjaga Starbucks penginapan yang saya sebut dan di bantu alamat dalam aksara Pin Yin dan merekomendasikan taksi, saya keder, uang saya tipis, apa kabar kalau saya naik taksi yang setelah saya tanya kebanyakan mereka tidak menerima Picata tetapi hanya HKD, what the F%$#!

Akhirnya saya luntang lantung jalan kesana kemari, sesekali berhenti setelah menemukan spot menarik untuk mengambil gambar, ternyata battere kamera saya ngedrop, beruntung handphone saya masih nyala. Setelah lebih dari tiga jam berjalan saya menemukan tempat yang saya cari dan dengan senangnya diberi tahu oleh petugas penginapan kalau saya beruntung, langsung datang ke lokasi dan masih ada bed yang kosong. Mereka bercerita tentang minimnya penginapan murah di Macau dan sering memberikan area lobi sebagai tempat tidur cadangan para pelancong yang tidak kebagian bed. 

Saya mengobrol beberapa lama dengan ibu-ibu penjaga penginapan dan memutuskan untuk melihat Macau esok harinya dengan harapan akan cerah karena di luar hujan makin deras, ibu-ibu yang memiliki nama Fatima setelah menikah dengan orang Bangladesh tersebut sebenarnya menyarankan saya untuk malam itu juga berkeliling Macau karena Macau sangat kecil dan bisa ditempuh hanya berjalan kaki dalam beberapa jam, kalau saya melihat ke belakang saya sudah tiga jam berjalan, rasanya saya tak sanggup lagi. Saya memilih mandi dan tidur.

Saya bagun esok harinya dan mendapati protes keras dari seorang pelancong yang bilang bunyi ngorok saya yang terlampau kencang dan menganggunya sehingga ia harus ke bar untuk menghabiskan malam, oleh ibu-ibu penjaga penginapan dibilang hal tersebut wajar karena kebanyakan pelancong memang kelelahan dan sudah biasa mendengar bunyi dengkuran selama tidur. Puhhh!!!

Ternyata pagi itu masih saja hujan dan deras, harus bagaimana saya? Saya sedih karena pesawat saya jam 11 dan saat waktu menunjukan angka 9 hujan masih dengan ceria mengguyur. Akhirnya saya pamitan dan berjalan menuju tempat bis bandara. Lagi-lagi bencana datang karena sudah lebih dari setengah jam saya berjalan tidak mendapati bus, alih-alih mendapati antrian luar biasa panjang dan rapi dari penduduk lokal menuju sebuah taksi stand, saya kagum dengan  mereka, membandingkan dengan di Jakarta pasti sudah terjadi adu jotos dan mulut. 

Saya akhirnya memutuskan mencari taksi dan segera menuju bandara yang katanya berjarak 15 menit saja, apa daya hujan dan macet mendera, perjalanan lebih dari 30 menit dan saya sudah panik luar biasa, jam menunjukan angka 10 lewat, saat sampai di counter tiket saya di marahi habis-habisan oleh petugas, lain kali tidak boleh begini dan apa tidak tahu peraturan kalau harus ada satu jam sebelumnya. Jangan bandingkan dengan pelayanan ramah dan murah senyum yang kita harapkan, kebanyakan penerbangan murah di luar negeri akan memaki habis-habisan penumpang yang tidak sesuai prosedur, tidak ada sapaan ramah, alih-alih judes. Saya berlari sepanjang bandara yang tidak lebih besar dari Djuanda Surabaya dan melewati Imigrasi dengan lancar. Sesampainya di ruang tunggu ternyata pesawat delay karena cuaca, dengan menahan napas akhirnya saya berkeliling bandara sambil membeli oleh-oleh di Duty Free. 

Sungguh saya menyesal tidak bisa berkeliling Macau, suatu hari nanti saya akan kesana lagi.

Read Users' Comments (0)

Hong Kong: Rute Central

Peta Rute Central
Hong Kong bagi pejalan kaki merupakan salah satu surga, dan saya sendiri sungguh mengakuinya, selain Singapore tentunya. Perjalanan ke Hong Kong bulan Nopember 2011 kemarin selama seminggu saya habiskan kebanyakan dengan berjalan kaki.

Buku panduan saya terbitan National Geographic sungguh sangat membantu dalam memilih dan menentukan rute yang benar-benar menarik. Salah satunya untuk area Central saya dapatkan pengalaman jalan kaki yang menyenangkan. Saya memulai benar-benar sesuai panduan dari buku, no less. Perjalanan dimulai dari (1) Legislative Council building, tidak susah mencari gedung ini karena letaknya yang sungguh strategis. Di depan gedung ini terdapat taman yang diberi nama Statue Square dimana berdiri patung megah salah satu founder HSBC yang bernama Sir Thomas Jackson. Saat saya sampai disana, sebelumnya ternyata saya sudah melewati (2) HSBC headquarters dimana terdapat akses jalan di bagian bawahnya, menyebrang lewat jalur tram. Seperti gedung lainnya di Hong Kong yang sangat memanusiakan pejalan kaki dan tidak terlalu terkesan "wah" seperti gedung dan hotel di Jakarta, gedung ini dari jauh sangat mencolok dengan lambangnya. (3) I.M. Pei's Bank of China building yang berada di sebelah kirinya tidak saya perhatikan dari dekat mengingat saya harus berada pada jalur yang ada, yang pasti gedung ini sangat dan paling mencolok di antara jejeran gedung lainnya, bahkan saat kita berada di sisi Kowloon dan The Peak sekalipun, gedung ini merupakan salah satu Hong Kong's iconic skyline. 

(1) Legislative Council building & (2) HSBC headquarters


Look at (3) the Bank of China
Gedung selanjutnya yang akan kita lihat adalah (4) Court of Final Appeal yang bisa kita lewati dengan menandainya sebagai gedung kuno dengan dinding batu bata persis layaknya bagunan di Inggris. Jalan menuju gedung ini menanjak dengan kemiringan hampir 45 derajat dimana selanjutnya kita akan menemukan sebuah taman dimana disitu terletak (5) St. John's Cathedral, saat saya kesana disana sedang dilaksanakan acara pernikahan, dan tahukan kalian kalau gereja ini merupakan gereja anglikan tertua di asia? Di taman ini saya melihat acara pernikahan yang glamour, saya duduk di bangku taman sambil istirahat setelah jalan menanjak dan kemudian bertemu dengan beberapa pekerja migran asal Indonesia yang sedang off. 

Setelah istirahat sejenak dan ngobrol dengan mbak-mbak asal Ponorogo, Jawa Timur tersebut, saya melanjutkan perjalanan ke atas kemudian belok, nanjak lagi sodara-sodara, dan dalam perjalanan tersebut saya melihat gerbang menuju The Peak. Saya sudah ngiler duluan untuk naik ke sana tapi saya tahan, nanti bisa kembali setelah menyelesaikan rute ini.

Sir Thomas Jackson Statue @Statue Square
Setelah sempat bertanya beberapa kali dengan pejalan kaki disana, akhirnya ketemu juga (6) Foreign Correspondents' Club yang saya sendiri belum mengerti apa sebenarnya isi gedung ini. Jadi setelah mencari tahu, gedung ini semacam gedung yang berisi jejak rekam dan arsip Hong Kong dan China pada masa lalu. Langkah selanjutnya kita akan bertemu dengan gedung (7) Fringe Club, gedung yang berada di ujung Western District ini berisi hal-hal berbau seni kontemporer peninggalan Inggris dan bergaya Victorian. Saya sebenarnya tahu kalau gedung ini berada di ujung Western District dua hari kemudian saat saya menelusuri Rute Tram Hong Kong - Tsim Tsa Tsui bersama dua orang tetangga kampung saya yang sedang menjadi pekerja migran di sana, sama seperti foto diatas dimana saya dengan Seza, sedang menunjuk gedung Bank of China. 

Bodohnya saya memang, sepanjang jalan yang saya telusuri ini merupakan kawasan Soho yang sangat terkenal, atau Western District. Sungguh, saya tidak ngeh sama sekali. Gedung yang akan kita tandai selanjutnya yaitu berturut-turut (8) A colonaded courthouse yang lebih kecil bentuknya sehingga harus benar-benar teliti saat mencarinya. The (9) Central Police Station, saya jadi ingat film-film era Mafia Hong Kong saat melewatinya. Dan selanjutnya, inilah tempat dimana saya tidak bisa menemukannya, dengan sebutan (10) Good Spring Herbal Pharmacy, dan saya pasrah setelah beberapa kali bertanya dan tidak ada jawaban yang memadai.

Jalur Tram depan HSBC Quarters
Jalur ini sepenuhnya membuka mata saya, bayangkan sebuah kota yang sangat memanusiakan manusia, jalur pedestarian lebar, pepohonan dan taman di salah satu sisinya dan gedung yang dilewatinya memberi akses penuh kepada pejalan kaki, tidak menaruh curiga dan memberikan kesan out of reach seperti yang saya temukan di Jakarta. Hong Kong, Central District sungguh merupakan contoh baik dengan penataan dan perawatan bagunan kuno yang masih megah dan terawat baik.

Read Users' Comments (0)